1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialAsia

Sejumlah Kesalahpahaman tentang Israel dan Yahudi

Sumanto al Qurtuby
Sumanto al Qurtuby
9 Agustus 2022

Bukan hanya negara-negara dan bangsa Arab saja yang sering disalahpahami, negara Israel dan bangsa Yahudi juga sering disalahpahami. Ikuti opini Sumanto al Qurtuby.

Foto: HAZEM BADER/AFP

Kesalahpahaman akibat ketidakpahaman ini kemudian menimbulkan sejumlah stigma negatif, persepsi buruk, dan penilaian yang tidak akurat atas negara Israel maupun bangsa Yahudi, sama tidak akuratnya terhadap penilaian atas negara-negara Arab dan bangsa Arab.

Kesalahpahaman pertama adalah menganggap bahwa pendudukIsrael itu semua bangsa Yahudi. Padahal faktanya tidak. Menurut data dari Israel Central Bureau of Statistics, ada hampir 9 juta warga Israel. Meskipun warga Yahudi adalah mayoritas di negara Israel (sekitar 70%) yang membuat negara ini menjadi satu-satunya negara di dunia yang berpenduduk mayoritas Yahudi, tetapi ada sejumlah suku-bangsa lain yang mendiami kawasan ini.

Sumanto al QurtubyFoto: S. al Qurtuby

Misalnya, tercatat ada lebih dari 20% warga Israel adalah Arab, termasuk masyarakat Arab Yerusalem Timur dan komunitas Arab Badui Naqab. Badui Naqab (Negev Bedouins) adalah masyarakat Arab Badui pastoral-nomadik yang dalam sejarahnya mengikuti pola hidup berpindah-pindah sampai kelak di zaman Turki Usmani di abad ke-19, kelompok ini mengalami proses "sedentarisasi” dan tinggal menetap di kawasan Naqab (Negev), Israel. Konon ada sekitar 200 ribuan komunitas Arab Badui Naqab ini dan mayoritas mengikuti tradisi Islam Sunni sama seperti mayoritas masyarakat Arab lain di Israel.

Kelompok lain yang cukup besar di Israel adalah Druze (hampir 2%), kemudian disusul suku-bangsa Aram, Armenia, Assyria, Circassia, Samarita, dan Maronite. Data penduduk ini belum termasuk para "imigran gelap” dari sejumlah negara di Afrika.

Jadi, seperti laiknya negara pada umumnya, penduduk Israel juga sangat majemuk.Sebagaimana warga Yahudi, warga Israel non-Yahudi (khususnya Arab dan Druze) juga menduduki berbagai posisi baik di pemerintahan, parlemen, keamanan (tentara/polisi), bisnis, dan berbagai sektor publik lain. Oleh karena itu, setiap kali Israel terlibat konflik dan perseteruan dengan Palestina, bukan hanya Yahudi saja yang terlibat kekerasan ini tetapi juga Druze dan Arab Israel.

Kesalahpahaman berikutnya adalah menganggap Yahudi adalah satu-satunya agama di Israel. Kekeliruan ini karena dibangun dari asumsi yang keliru, yakni anggapan bahwa semua warga Israel adalah Yahudi. Karena suku-bangsa Israel sangat beragam, maka otomatis agama pun sangat beragam. Yudaisme (agama Yahudi) tentu saja menempati posisi mayoritas di sini, tetapi Islam juga cukup kuat (sekitar 18%), kemudian disusul Kristen (2%), Druzeisme (1,6%) dan lainnya, termasuk Hindu dan Buddha.

Komunitas Baha'i juga cukup banyak di Israel. Bahkan Universal House of Justice (Bait al-Adl A'dham), sebuah "lembaga legislatif” yang konon terdiri atas sembilan tokoh agama Baha'i dan memegang otoritas tertinggi yang mengatur seluruh komunitas Baha'i di dunia, terletak di Haifa, Israel. Di Israel pula terletak makam Sayyid Ali Muhammad Syirazi (populer dengan sebutan Bab), pendiri Babisme dan salah satu tokoh utama komunitas Baha'i dan Azali.

Keliru menilai

Bukan hanya tentang Israel, banyak orang juga keliru menilai bangsa Yahudi itu sendiri. Hampir bisa dipastikan kalau mayoritas publik menganggap "orang Yahudi memeluk agama Yahudi”. Padahal, faktanya tidak demikian. Sebagai sebuah suku-bangsa, seperti umumnya suku-bangsa lain di dunia ini, Yahudi juga sangat beragam dalam mengekspresikan keagamaan dan spiritualitas. Jelasnya, tidak semua orang Yahudi itu beragama atau memeluk "agama Yahudi” atau Yudaisme (Judaism). Banyak orang Yahudi yang memeluk agama non-Yudaisme atau bahkan tidak beragama (menjadi pengikut sekularisme, agnotisisme, atau scientology). Banyak orang Yahudi yang memilih beragama Kristen dari berbagai denominasi. Bahkan ada pula yang memeluk agama Islam yang populer dengan sebutan "Jews for Allah” dan membaca Al-Qur'an dalam Bahasa Ibrani.

Kekeliruan berikutnya atas bangsa Yahudi adalah menganggap Yahudi sebagai komunitas yang monolitik dan seragam. Padahal, faktanya jelas tidak demikian. Menurut data dari Berman Jewish DataBank, ada sekitar 14 juta jiwa umat Yahudi di-seantero jagat raya. Dari jumlah ini, sekitar 44% tinggal di Israel, 40% di Amerika Serikat, dan sisanya tersebar di berbagai negara. Di Indonesia dulu terdapat ratusan umat Yahudi hingga mereka mampu membuat sinagog di Surabaya dan Manado. Tapi kini hanya tinggal segelintir saja. Itu pun pada umumnya mereka tidak berani mengidentifikasi diri ke-Yahudi-an mereka di hadapan publik.

Ada sejumlah kelompok Yahudi yang masing-masing memiliki ekspresi ritual-keagamaan, keberagamaan, kebudayaan, dan bahkan sosial-kepolitikan yang unik, khas, dan berlainan. Bahkan ada sejumlah kelompok Yahudi (seperti sekte Heredi) yang mempraktikkan keberagamaan seperti kelompok Muslim Arab konservatif dengan mengenakan abaya dan cadar (burqa/niqab) bagi kaum perempuannya.

Sebut saja Yahudi Mizrahi (Mizrahim atau al-Masyriqiyyun) atau "Yahudi Oriental”, yakni kelompok Yahudi yang nenek-moyangnya dari Timur Tengah. Banyak dari mereka yang menggunakan Bahasa Arab sebagai bahasa komunikasi. Kemudian Yahudi Ashkenazi (Ashkenazim), yaitu kelompok Yahudi diaspora sejak milenia pertama di zaman Imperium Roma. Mereka umumnya menggunakan Bahasa Yiddish (Bagian dari Bahasa Jerman yang mengadopsi beeberapa dialek). Bahasa Ibrani hanya digunakan untuk acara-acara ritual keagamaan sebagai "bahasa suci”. Kemudian Yahudi Sephardi (Sephardim) yang asal-usulnya dari Semenanjung Iberia, khususnya Spanyol. Lalu, Yahudi Yaman (al-Yahud al-Yaman). Meskipun namanya "Yahudi Yaman” mereka bukan hanya tinggal di Yaman saja tetapi juga di Amerika dan kawasan lain di Timur Tengah. Ada pula Yahudi Ethiopia atau dikenal dengan sebutan Beta Israel yang asal-usulnya dari Kerajaan Aksum dan Imperium Ethiopia.

Baca juga:

Bagaimana Hitler dan Nazi Menggunakan Isu Islam Untuk Politik Anti Yahudi

"Kami Sebagai Yahudi Juga Mengecam Perilaku Israel"

Umat Yahudi mendukung Zionisme?

Kekeliruan selanjutnya adalah menganggap semua umat Yahudi mendukung Zionisme. Dengan kata lain Yahudi adalah Zionis sekaligus. Ini jelas kekeliruan yang sangat fatal. Zionisme adalah sebuah gerakan nasionalis-politik yang digerakkan oleh sejumlah tokoh Yahudi yang mendukung gagasan pendirian kembali kawasan atau negara khusus untuk masyarakat Yahudi di "Tanah Israel” (yaitu Palestina). Gerakan nasionalis Yahudi di era modern muncul di akhir abad ke-19 sebagai reaksi atas gerakan anti-Semitisme di Eropa.

Bahwa ada banyak kaum Yahudi yang mendukung Zionisme dan aneksasi atas Palestina memang benar. Tetapi banyak pula yang menentangnya. Kelompok Yahudi Heredi adalah salah satu kelompok Yahudi yang paling getol melawan Zionisme. Perlu juga dicatat bahwa pendukung Zionisme, seperti penentangnya, bukan hanya dari kalangan Yahudi saja. 

Dari paparan singkat di atas maka kita perlu bedakan mana Yahudi dan mana Zionis, mana Yahudi sebagai sebuah suku-bangsa danmana Yahudi sebagai sebuah kelompok agama, dan seterusnya. Pembacaan yang detail dan teliti atas komunitas Yahudi (dan komunitas mana saja di jagat raya ini) bisa meminimalisir kesalahpahaman dan ketidaktahuan yang sering kali menjadi sumber konflik, ketegangan, perpecahan, perseteruan, permusuhan, kekerasan, dan malapetaka kemanusiaan. Selanjutnya, pembacaan yang detail dan teliti atas sebuah komunitas, bisa menciptakan kesalingpahaman yang bisa menjadi jembatan membangun perdamaian dan toleransi antar-kemanusiaan. Semoga bermanfaat.  

Penulis: Sumanto Al Qurtuby (ap/hp)

Dosen Antropologi Budaya dan Direktur Scientific Research in Social Sciences, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, serta Senior Scholar di National University of Singapore. Ia memperoleh gelar doktor dari Boston University dan pernah mendapat visiting fellowship dari University of Oxford, University of Notre Dame, dan Kyoto University. Ia telah menulis ratusan artikel ilmiah dan puluhan buku, antara lain Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London & New York: Routledge, 2016)

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait