1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

10 tahun Bom Bali: Satu Dekade Evolusi Teror

Andy Budiman11 Oktober 2012

Sepuluh tahun pasca Bom Bali I, kelompok teroris di Indonesia terus melakukan evolusi menghadapi kejaran polisi.

Foto: AFP/Getty Images

Sepuluh tahun lalu, aksi bom bunuh diri menghancurkan dua buah kafe di Kuta Bali, wilayah wisata terkenal yang banyak dikunjungi wisatawan dunia. Lebih dari 200 orang tewas, kebanyakan wisatawan asing.

Sejak itu, polisi Indonesia melakukan pengejaran besar-besaran. Satu dekade setelah bom Bali, wajah gerakan terorisme banyak berubah. Sebagian besar tokoh lama yang terlibat telah ditangkap, dihukum mati, atau tewas di tangan polisi dalam penggerebekan. Tapi bukan berarti ancaman sudah lewat.

Polisi memburu tersangka terorisFoto: AFP/Getty Images

Perpecahan dan Integrasi

Laporan International Crisis Group ICG yang diterbitkan bulan Juli lalu mensinyalir adanya pergeseran diantara kelompok jihadi. Mereka kini beroperasi di dua level: teror dan dakwah Negara Islam.

"Kelompok seperti Jamaah Islamiyah kini fokus pada upaya membangun basis massa, lewat isu-isu yang dekat dengan sasaran dakwah mereka," demikian laporan ICG. Organisasi Jamaah Islamiyah selama ini disebut terlibat dalam beberapa kasus teror seperi Bom Bali, bom Kedutaan Australia serta bom di hotel J.W. Marriott Jakarta.

Perubahan orientasi terjadi karena Jamaah Islamiyah merasa bahwa ide penegakan Negara Islam tak akan bisa dicapai tanpa dukungan publik. Karena itulah mereka ingin membangun basis massa yang lebih besar lewat cara dakwah. Antara lain dengan menyediakan penerjemah dan distributor untuk berbagai materi jihad berbahasa Arab atau Inggris yang didapat dari internet dan kemudian menyebarkannya.

“Kelompok teroris di Indonesia tidak statis. Mereka mengalami perpecahan tapi di sisi lain ada penyatuan diantara beberapa kelompok,” kata Al Chaidar seorang pengamat terorisme Indonesia kepada Deutsche Welle.

“Mereka yang tidak setuju dengan perubahan strategi Jamaah Islamiyah yang lebih menekankan pada dakwah, secara alamiah akhirnya memilih keluar dan membangun organisasi teror yang lebih kecil,” kata Al Chaidar.

Jihad Mandiri

Tidak ada lagi target besar. Para teroris kini bekerja dalam sel-sel kecil berjumlah lima sampai sepuluh orang. Mereka beroperasi secara mandiri, tidak berkomunikasi satu sama lain dan punya agenda berbeda.

“Tak akan ada lagi aksi teror kolosal dengan bom seberat ratusan kilogram “ kata peneliti masalah terorisme Solahudin kepada Deutsche Welle.

*Sebagai gantinya kelompok jihad kini melakukan aksi kecil seperti pembunuhan dengan sasaran terpilih,” kata Solahudin sambil menambahkan bahwa target utama mereka kini adalah polisi. Dua tahun terakhir serangan terhadap aparat keamanan Indonesia meningkat.

“Kini makin sulit mengidentifikasi kelompok mana saja yang akan melakukan jihad. Karena organisasi mereka semakin kecil dalam bentuk sel jihad” papar Solahudin.

Selain polisi, kelompok teror di Indonesia belakangan juga mulai menyasar kelompok Islam moderat. Pertengahan Maret 2011, sebuah paket bom dalam bentuk buku dikirim ke kantor Ulil Abshar Abdalla, tokoh Islam moderat yang banyak mengkritik terorisme dan ide negara Islam. Paket yang sama juga dikirim ke alamat rumah pejabat polisi anti teror dan sejumlah orang lainnya yang mereka anggap musuh Islam.

”Terputusnya pasokan dana dari Al Qaeda, membuat teroris di Indonesia lebih mandiri“ kata Al Chaidar sambil melanjutkan “Termasuk dalam menentukan target serangan. Itulah yang menyebabkan mereka kini memilih sasaran lokal”.

Ledakan bom 12 Oktober 2002Foto: AFP/Getty Images


Bersaing atau Saling Melengkapi?

Terpecahnya arus jihadi di Indonesia menjadi dua yakni organisasi besar yang menjalankan dakwah jihad, serta kelompok kecil yang menjalankan aksi teror ini menimbulkan pertanyaan: apakah mereka saling meniadakan atau sebaliknya melengkapi?

Menurut ICG, dua arus perjuangan jihadisme ini bisa saling melengkapi. Kelompok-kelompok besar bisa membiayai dakwah-dakwah yang dapat menarik orang-orang "potensial" untuk bergabung dalam kelompok-kelompok kecil.

Tapi Al Chaidar punya pendapat berbeda,”Kelompok besar seperti Jamaah Islamiyah justru berupaya melindungi agar anggotanya tidak direkrut kelompok kecil untuk menjalankan aksi teror.”

Perang Opini

Lembaga survey dunia Pew Research Centre tahun 2011 menunjukkan bahwa 26 persen orang Indonesia percaya kepada Osama bin Laden. Polling yang sama menunjukkan bahwa 22 persen suka dengan Al Qaeda.

Sebagai catatan: dukungan terhadap Osama bin Laden dan Al Qaeda di Indonesia, lebih tinggi dibanding negara berpenduduk muslim lain seperti Mesir, Yordania, Turki atau Lebanon.

Angka-angka tadi mengkonfirmasi survey tahun 2005, yang memperlihatkan bahwa satu dari sepuluh muslim di Indonesia setuju dengan aksi teror yang dilakukan Jamaah Islamiyah. Jajak pendapat tahun 2006 menunjukkan ada lebih dari sebelas persen, atau sekitar enambelas setengah juta orang Indonesia, yang mendukung aksi bom bunuh diri dengan sasaran sipil.

Umar Patek dinyatakan terlibat dalam serangan bom Bali 2002Foto: AP

Menurut Al Chaidar, opini publik ini terbentuk antara lain karena organisasi seperti Jamaah Islamiyah lihai dalam merekrut anggota dan menyebarkan gagasan jihad di Indonesia. “Akibatnya, cukup banyak yang merespon dalam bentuk dukungan kepada ideologi jihad,” pungkas Al Chaidar.

Dukungan publik yang tergolong besar ini adalah sebuah peringatan bagi Indonesia. Bagaimanapun: suka atau mendukung, adalah satu langkah untuk melibatkan diri dengan terorisme.