Sejak 10 tahun dunia memburu Joseph Kony. Namun sejauh ini "jagal Uganda" itu berhasil lolos dari setiap operasi militer. Proses pengadilan terhadap salah satu orang terdekatnya diharapkan bisa membawa titik terang.
Iklan
Kemanapun ia pergi, Joseph Kony meninggalkan jejak kebiadaban. Bocah tanpa hidung atau bibir. Remaja di batas kegilaan usai dipaksa memperkosa ibu sendiri. Atau perempuan bekas budak seks yang membesarkan anak tanpa jelas siapa sang ayah.
Sejak 10 tahun dunia memburu sosok yang dikenal sebagai "jagal Uganda" itu. Sejauh ini tanpa hasil. Ia dan Laskar Tuhan yang didirikannya diyakini pernah menculik 70.000 anak-anak buat dijadikan budak atau serdadu.
Sebanyak 100.000 nyawa melayang akibat pemberontakan yang berkecamuk di utara Uganda. Sementara dua juta warga sipil terpaksa angkat kaki dari kampung halamannya sendiri. Sebagian besar membawa trauma perang tak berkesudahan.
Senin (21/12/15) Mahkamah Internasional di Den Haag mulai mengadili salah satu orang kepercayaan Kony, Dominic Ongwen. Ia didakwa terlibat dalam kejahatan perang dan pelanggaran berat Hak Azasi Manusia.
Kisah hidup Ongwen mencerminkan sepak terjang Lord Resistance Army (LRA). Saat berusia 10 tahun ia diculik oleh gerilayawan LRA dan dipaksa menjadi serdadu. Pria kelahiran 1975 ini boleh jadi berbagi kegilaan yang sama seperti Kony. Karena karirnya melesat cepat dari bocah penakut menjadi jagal yang membunuh, memerkosa dan menculik atas nama Kony.
Kiprah Ongwen berakhir ketika ia ditangkap sekelompok serdadu AS yang diterjunkan ke wilayah perbatasan di dekat Republik Afrika Tengah. Darinya Mahkamah Internasional berharap bisa mengetahui struktur di dalam LRA buat memudahkan perburuan Joseph Kony.
Di matanya sendiri Kony adalah seorang nabi yang mendapat perintah dari "roh suci" untuk mendirikan LRA. Milisi yang didirikan tahun 1986 itu ingin mendirikan negara Kristen di Uganda dengan Alkitab sebagai dasar negara. Sejak 2005 ia masuk dalam daftar buron Mahkamah Internasional.
"Kami berjuang demi kemerdekaan Uganda," ujarnya dalam sebuah wawancara. "Dan saya bukan seorang teroris."
Pakar keamanan meyakini, Kony bersembunyi di wilayah Republik Afrika Tengah, Republik Demokratik Kongo, Sudan dan Sudan Selatan. "Seperti mencari jarum di antara jerami," ujar Kristof Titeca, seorang pakar LRA di Universitas Antwerpen.
Saat ini Kony dilindungi oleh hutan lebat yang membentang seluas puluhan ribu kilometer persegi dan kemungkinan, duga Titeca, juga oleh militer Sudan. LRA sendiri "sedang berada dalam kondisi terlemah dalam sejarah," ujarnya. Sejak 2010 kelompok yang kini diduga berkekuatan 200 gerilayawan itu sudah jarang terlibat dalam penculikan atau pembunuhan warga sipil.
100 Hari Neraka Ruanda
Lebih dari dua puluh tahun silam dunia dikejutkan dengan pembersihan etnis di Ruanda. Dalam seratus hari hingga satu juta orang meregang nyawa lewat peluru, tombak dan parang.
Foto: Timothy Kisambira
Awal Tragedi
Pada April 6, 1994, sekelompok orang tak dikenal menembak jatuh pesawat yang mengangkut Presiden Ruanda, Juvenal Habyarimana ketika akan mendarat di bandara Kigali. Sang presiden dan rekan sejabatnya asal Burundi, Cyprien Ntaryamira, keduanya berasal dari suku Hutu, tewas seketika. Saat itu kabar tersiar, militan suku Tutsi yang bertanggungjawab. Keesokan harinya pesta pembunuhan pun dimulai.
Foto: AP
Pembunuhan Berencana
Militan suku Hutu tidak cuma membantai minoritas Tutsi, melainkan juga kelompok Hutu yang menghalangi pembunuhan. Mereka datang dengan persiapan matang dan pertama-tama membidik aktivis HAM, wartawan dan politisi. Salah satu korban adalah Perdana Menteri Agathe Uwiringiymana.
Foto: picture-alliance/dpa
Peringatan yang Tak Digubris
Pada Januari 1994, Romeo Dallaire, Komandan United Nations Assistance for Rwanda (UNAMIR) sudah bersiap menangani kabar burung soal "pembersihan Tutsi" yang beredar. Tapi surat peringatannya yang ia kirim ke PBB tanggal 11 Januari dan dikenal dengan sebutan "Genocide Fax" itu tak digubris.
Foto: A.Joe/AFP/GettyImages
Media Kebencian
Stasiun radio Mille Collines dan Kangura, majalah mingguan di Ruanda, ikut menyulut kebencian etnis dengan pemberitaannya. Tahun 1990 Kangura memublikasikan laporan bernada rasialis berjudul "Sepuluh Perintah Hutu." Mille Collines yang sebenarnya dikenal dengan siaran musik pop dan olahraga, malah menganjurkan warga sipil Hutu memburu dan membunuh Tutsi.
Foto: IIPM/Daniel Seiffert
Berlindung di Hotel
Adalah Paul Rusesabagina, pahlawan kemanusiaan yang mempertaruhkan nyawa dengan menyembunyikan 1000 warga suku Tutsi di Hotel Des Mille Collines, Kigali. Ia menggantikan seorang manajer asal Belgia yang mengungsi setelah pembantaian berkecamuk. Dengan menyogok uang dan alkohol dalam jumlah besar, ia mencegah milisi Hutu membantai pengungsi yang berlindung di hotelnya.
Foto: Gianluigi Guercia/AFP/GettyImages
Darah di Rumah Ibadah
Kesucian tidak lagi menjadi bagian dari rumah ibadah selama pembantaian di Ruanda. Lebih dari 4000 laki-laki, perempuan dan anak-anak menemui ajal lewat kampak, pisau dan parang di gereja Ntarama. Kini gereja ini adalah satu dari sekian banyak tugu peringatan genosida. Tengkorak dan tulang manusia serta bekas tembakan yang memenuhi tembok mengingatkan apa yang terjadi 20 tahun silam.
Foto: epd
Peran Perancis
Pemerintah Perancis tetap berhubungan baik dengan rejim Hutu di Ruanda. Ketika militer Perancis mengintervensi bulan Juni, rejim di Kigali membiarkan milisi dan ekstremis Hutu untuk melarikan diri ke Republik Demokrasi Kongo dengan membawa persenjataan lengkap. Hingga kini kelompok bersenjata itu masih mengobarkan ancaman terhadap warga Ruanda.
Foto: P.Guyot/AFP/GettyImages
Gelombang Pengungsi
Selama pembantaian, jutaan suku Tutsi dan Hutu di Ruanda melarikan diri ke Tanzania, Zaire dan Uganda. Di Zaire saja gelombang pengungsi mencapai angka dua juta orang. Di antara yang mengungsi adalah bekas anggota militer dan milisi bersenjata yang ikut membantai suku Tutsi. Mereka kemudian membiayai kelompok pemberontak Democratic Forces Liberation of Rwanda (FDLR) di Kongo.
Foto: picture-alliance/dpa
Pembebasan oleh Pemberontak
Pada 4 Juli 1994, pemberontak Tutsi dari Rwandan Patriotic Front (RPF) mulai berpatroli di sekitar kota Kigali. Saat itu mereka telah membebaskan hampir seluruh negeri dari tangan ekstrimis Hutu yang melarikan diri ke Zaire dan mengakhiri pembersihan etnis terhadap suku Tutsi. Namun begitu kelompok aktivis HAM juga menuding pemberontak ikut melakukan kejahatan kemanusiaan.
Foto: Alexander Joe/AFP/GettyImages
Berakhirnya Genosida
Pemimpin RPF, Mayor Jendral Paul Kagame mengumumkan berakhirnya perang melawan tentara pemerintah. Serdadu pemberontak saat itu sudah menguasai ibukota dan kota-kota terbesar. Paul Kagame kemudian terpilih menjadi presiden Ruanda dalam pemilu tahun 2000.
Foto: Alexander Joe/AFP/GettyImages
Luka yang Tak Kunjung Sirna
Genosida Ruanda berlangsung selama hampir tiga bulan. Para korban kebanyakan dibunuh dengan parang. Tetangga membantai tetangga. Bahkan bayi dan kaum lansia pun ikut meregang nyawa. Jalan-jalan dipenuhi mayat dan anggota tubuh manusia. Hingga kini pembantaian Tutsi masih menjadi trauma nasional yang belum akan pulih dalam waktu dekat.