1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

10 Tahun Referendum Timor Leste

28 Agustus 2009

Sejak dinihari pada 30 Agustus 1999, ratusan ribu penduduk Timor Leste mendatangi lokasi pemberian suara dan memilih untuk merdeka. Pekan ini, para juru kampanye Timor Leste dan internasional berkumpul di Dili.

Lebih dari 10,000 pendukung pro-kemerdekaan berkampanye sebelum berlangsungnya referendum mengenai otonomi pada 30 Agustus 1999Foto: AP

Menjelang sepuluh tahun referendum di Timor Leste, para juru kampanye Timor Leste serta mitra-mitra internasionalnya berkumpul di Dili untuk memperingati dan mengenang peristiwa bersejarah itu, serta membahas masa depan Timor Leste. Salah satu agenda sepekan para aktivis ini adalah mengakhiri impunitas yang berlangsung terkait pelanggaran HAM berat selama masa pendudukan Indonesia.

Organisasi pemantau hak azasi manusia, Amnesty Internasional hari Rabu (26/08) mengeluarkan laporan yang menyerukan pembentukan tribunal pengadilan internasional. Dalam seruannya disebutkan, tribunal bentukan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa itu perlu menginvestigasi semua pelanggaran HAM yang terjadi di Timor Leste seputar referendum di tahun 1999 dan selama 24 tahun pendudukan Indonesia. Donna Guest, Wakil Direktur Amnesty Internasional untuk Asia Pasifik menyatakan, apabila para pelaku kejahatan HAM tersebut tidak dihukum, maka Timor Leste akan selalu menghadapi kesulitan untuk membasmi budaya impunitas.

Hal serupa dinyatakan oleh Charles Schreiner, staf LSM La'o Hamutuk dan salah seorang pendiri East Timor Action Networks, ETAN. Menurut dia impunitas tidak hanya buruk bagi Timor Leste, melainkan juga bagi Indonesia. “Banyak orang di Timor Leste dan juga Indonesia yang menilai selama kejahatan itu belum dibeberkan di pengadilan dan orang-orang yang terlibat itu dihukum atau dijatuhi sanksi, maka akan sangat susah untuk memajukan demokrasi dan hak azasi manusia di kedua negara, Indonesia dan Timor Leste. Kebanyakan warga Timor Leste menginginkan negara hukum, tapi kalau mereka mendengar bahwa lengan hukum dan peradilan tidak menggubris orang-orang yang membunuh keluarganya, maka sangat susah untuk meyakini bahwa hukum itu berlaku.“

Sejak tahun 1999 memang pernah dilakukan sejumlah prakarsa hukum, antara lain melalui Pengadilan HAM Ad-Hoc Timor Timur, yang merupakan kerjasama Indonesia dengan Panel Khusus PBB untuk Timor Leste. Namun ke-18 terdakwa yang pernah diadili pengadilan Ad-Hoc itu semuanya dibebaskan dari dakwaan. Begitu menurut Amnesty Internasional. Sementara pemerintah Timor Leste dan Indonesia memilih untuk mengabaikan keadilan bagi para korban pelanggaran HAM berat di Timor- Leste, dengan menggelar Komisi Kebenaran dan Persahabatan pada tahun 2005. Hal ini mengecewakan rakyat Timor Leste, yang menginginkan keadilan.

Menurut Charles Schreiner pandangan rakyat Timor Leste tidak sama dengan pemerintah Timor Leste, maupun Presiden Ramos Horta yang sebagai diplomat dan pemenang hadiah Nobel Perdamaian mengutamakan hubungan baik antara kedua negara. Schreiner juga mengingatkan, kejahatan yang dilakukan di masa pendudukan Indonesia merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan bukan hanya terhadap rakyat Timor Leste. Dengan begitu seluruh masyarakat dunia, khususnya PBB, memiliki tanggung jawab untuk menuntut keadilan atas kejahatan itu.

“Kita dan juga PBB tidak bisa mengharapkan bahwa negara kecil berpenduduk kurang dari 2 juta orang dan merupakan tetangga negara keempat terbesar dunia, yang pernah menduduki dan membunuh sedikitnya 100 ribu rakyatnya, akan bisa sendirian menggiring para pelaku kejahatan itu ke pengadilan”, begitu tuturnya. Indonesia menduduki Timor Leste dari tahun 1975 hingga 1999. Setelah pelaksanaan referendum, terjadi kekerasan meluas yang dimotori kelompok-kelompok milisi dengan dukungan aparat keamanan di Indonesia.

Edith Koesoemawiria
Editor: Hendra Pasuhuk