Badan Pengungsi PBB melaporkan jumlah pengungsi tertinggi yang tercatat sejak pecahnya Perang Dunia II. Pengungsi dari wilayah Sahel Afrika ke Uni Eropa diprediksi bisa meningkat.
Iklan
Badan pengungsi PBB UNHCR melaporkan Kamis (16/06), lebih100 juta orang di seluruh dunia terpaksa meninggalkan rumah mereka pada tahun lalu. Ini adalah jumlah pengungsi tertinggi yang tercatat sejak Perang Dunia II.
Ukraina mengalami krisis pengungsi terbesar dan dengan pertumbuhan tercepat sejak Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) didirikan pada tahun 1951, ungkap lembaga itu dalam Laporan Tren Global.
Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi, Filippo Grandi, mengatakan tren ini akan terus berlanjut, hingga masyarakat internasional mengambil langkah untuk menyelesaikan konflik dan mencari solusi.
Krisis pangan ciptakan lebih banyak pengungsi
Perang Ukraina telah menciptakan krisis ketahanan pangan. Hal ini akan memaksa lebih banyak orang meninggalkan tanah air mereka di negara-negara miskin, kata UNHCR.
Pencari Suaka di Indonesia: Mencari Kebebasan, Malah 'Terpenjara'
Februari 2019 seorang pengungsi asal Afghanistan di Manado tewas bakar diri setelah ditolak untuk masuk ke negara tujuan imigrasi. Bagaimana kehidupan pengungsi dan pencari suaka ini di Indonesia?
Foto: Monique Rijkers
Menanti Nasib
Dari 14 ribu imigran ilegal (pengungsi dan pencari suaka) terdapat 700 anak-anak. Gadis muda ini baru berumur 14 tahun dan sudah mengungsi dari Afghanistan. Saat ini ia tinggal di tenda pengungsi di pinggir jalan di Jakarta Barat.
Foto: Monique Rijkers
Tenda Pinggir Jalan
Hampir seratus orang umumnya asal Afghanistan tidak bisa ditampung dalam rumah detensi di Kalideres, Jakarta Barat sehingga mereka terpaksa tinggal di bawah tenda biru ini di pinggir jalan. Sudah lebih dari satu tahun mereka ada di sini.
Foto: Monique Rijkers
Perempuan dan Anak Menjadi Korban
Imigran ilegal terbagi dalam dua kategori yaitu pengungsi dan pencari suaka. Kepala Rumah Detensi Kalideres Morina Harahap iba pada nasib imigran gelap yang ada di depan rumah detensi yang dipimpinnya, apalagi sebagian besar perempuan dan anak,namun mereka tidak dapat ditampung karena status tidak jelas. Status pengungsi dan pencari suaka ditentukan UNHCR berdasarkan rekam jejak imigran tersebut.
Foto: Monique Rijkers
Rumah Detensi
Di rumah detensi ini hanya ada 51 kamar tetapi jumlah penghuni 1634 orang. Umumnya sudah berada di rumah detensi ini tiga-empat tahun. Rumah detensi berfungsi menampung pelanggaran keimigrasian dan tidak dimaksudkan untuk pemenjaraan. Kebutuhan makan mereka selama tinggal di sini adalah 41 ribu rupiah untuk tiga kali makan perorang. Biaya ditanggung oleh UNHCR, badan pengungsi PBB.
Foto: Monique Rijkers
Kamar Rumah Detensi
Paling tidak seorang penghuni rumah detensi membutuhkan biaya makan selama tinggal di sini sebesar 41 ribu rupiah untuk tiga kali makan per hari. Total sekitar 1,2 juta rupiah perorang yang ditanggung oleh UNHCR, badan pengungsi PBB.
Foto: Monique Rijkers
Mirip “Kos-kosan”
Jam hampir menunjukkan pukul 11 siang namun kamar-kamar masih tertutup rapat dan tidak ada kegiatan. Menjadi imigran gelap memang menyesakkan. Umumnya ingin kebebasan sehingga memilih kabur dari negara mereka tetapi justru berada dalam “penjara” karena pelanggaran keimigrasian. Ibaratnya imigran gelap seperti penghuni kos tanpa kepastian untuk kebebasan.
Foto: Monique Rijkers
Klinik Rumah Detensi
Pemerintah memiliki 13 rumah detensi yang tersebar di Indonesia. Di Kalideres ini terdapat klinik jika penghuni sakit. Jika harus dibawa ke rumah sakit, sudah ada RS rujukan yakni di RS Pengayoman.
Foto: Monique Rijkers
Klinik Gigi
Selain klinik untuk penyakit ringan, terdapat klinik gigi di dalam rumah detensi untuk penghuni. Dokter gigi menolak untuk difoto.
Foto: Monique Rijkers
Suplai Air
Untuk memenuhi kebutuhan air penghuni rumah detensi setiap hari didatangkan air bersih sebanyak 8000 liter untuk mandi, cuci dan kakus. Menurut Kepala Rumah Detensi Kalideres Morina Harahap, setiap hari untuk membeli air keluar ongkos 400 ribu rupiah.
Foto: Monique Rijkers
Proses Wawancara Suaka
Bagi pencari suaka yang sudah lolos urusan administrasi maka diseleksi pihak negara ketiga, negara calon penerima pencari suaka. Pekan lalu ada 29 pencari suaka asal Somalia yang ditahan di rumah detensi Medan diterbangkan ke Jakarta untuk proses wawancara oleh satu kedutaan besar di Indonesia. Mereka diinapkan di sebuah hotel di Jakarta Pusat atas biaya Organisasi Pengungsi Internasional (IOM).
Foto: Monique Rijkers
Menunggu Jawaban Suaka
Pria asal Afghanistan ini sudah menghuni kamar hotel di Jakarta Pusat selama 8 bulan. Ia sedang menunggu jawaban penempatan ke negara ketiga jika ia beruntung, ia bisa menjadi imigran legal dan memulai hidup baru di negara baru. Pria ini berkata, “Negara apa saja yang mau menerima saya, saya mau. Saya tidak mau tinggal di negara perang Afghanistan,” ujarnya dalam bahasa Indonesia yang lancar.
Foto: Monique Rijkers
Masakan Kampung Halaman
Meski sudah bertahun-tahun meninggalkan kampung halaman, pencari suaka asal Afghanistan ini sedang menyiapkan adonan roti khas negerinya (pita bread). Di hotel yang disewa IOM ini, pengungsi bebas memasak dan keluar dari hotel. Mereka tidak akan melarikan diri karena mereka menunggu ditempatkan ke negara penerima suaka.
Foto: Monique Rijkers
12 foto1 | 12
"Jika Anda memiliki krisis pangan di atas semua krisis yang saya sebukan, perang, hak asasi manusia, iklim. Itu hanya akan mempercepat tren yang saya jelaskan dalam laporan ini," kata Filippo Grandi kepada wartawan awal pekan ini, yang menggambarkan angka-angka itu sebagai " mengejutkan."
Ia juga mengatakan, sumber daya kini terkonsentrasi di Ukraina, sedangkan program lain di seluruh dunia tetap kekurangan dana. "Ukraina seharusnya tidak membuat kita melupakan krisis lain," katanya, dengan menunjuk konflik di Ethiopia dan kekeringan di Tanduk Afrika.
Grandi mengatakan lebih lanju, tanggapan Uni Eropa terhadap krisis pengungsi "tidak setara." Ini bertentangan dengan kemurahan hati yang telah diterima oleh para pengungsi Ukraina, sesuatu yang ingin diberikan Grandi kepada semua orang yang mencari perlindungan.
"Sejatinya hal itu membuktikan poin penting: merespons gelombang pengungsi, kedatangan orang-orang yang putus asa di pantai atau perbatasan negara-negara kaya, bukanlan hal tidak dapat dikelola," katanya.
Iklan
Pengungsi dari wilayah Sahel
Grandi lebih jauh mengatakan, akan semakin banyak orang yang melarikan diri dari kawasan Sahel di Afrika di bagian selatangurun Sahara, untuk menghindari kenaikan bahan bakar, krisis iklim, dan kekerasan.
Orang-orang yang terpaksa mengungsi ini, bisa bergerak menuju ke utara yakni menuju Eropa untuk menghindari krisis.
Ia mengatakan, wilayah itu telah menghadapi tahun-tahun kekeringan panjang dan banjir, ketimpangan pendapatan, layanan kesehatan yang buruk, dan pemerintahan yang buruk. Krisis ketahanan pangan yang makin parah, menambah berat masalah.
"Saya sangat khawatir tentang Sahel. Dan saya pikir kita tidak cukup berbicara tentang wilayah ini yang, sebetulnya sangat dekat dengan Eropa. Dan saya pikir Eropa seharusnya jauh lebih khawatir," ungkapnya.
Laporan itu mengatakan krisis di Ukraina, Venezuela, Myanmar, Suriah dan sekitarnya telah semakin memperburuk situasi.