Seratus tahun lalu, Republik Turki yang baru didirikan dan Republik Weimar Jerman mulai menjalin hubungan diplomatik. Sejak itu, hubungan kedua negara mengalami berbagai masa pasang surut yang sulit.
Iklan
Presiden Federal Jerman Frank-Walter Steinmeier saat ini sedang melakukan kunjungan kenegaraan tiga hari ke Turki, yang merupakan kunjungan kenegaraan pertamanya ke negara itu sejak menjadi presiden tahun 2017. Waktu kunjungan ini bukan suatu kebetulan, karena bertepatan dengan peringatan seratus tahun terjalinnya hubungan diplomatik kedua negara.
Pada tahun 1924, baik Turki maupun Kekaisaran Jerman sedang memulai awal yang baru: kedua negara berada di pihak yang kalah setelah Perang Dunia Pertama, dan sebagai akibatnya harus menyerahkan wilayah mereka - Turki bahkan kehilangan sebuah kerajaan besar. Kedua negara juga lalu menghapuskan monarki.
Di Jerman, Republik Weimar menggantikan Kekaisaran. Namun perubahan internal di Turki jauh lebih besar lagi: pendiri Republik, Kemal Atatürk, menginginkan Turki yang sekuler dan berorientasi ke Eropa. Khilafah dan Syariah dari Kesultanan Ottoman lalu digantikan oleh sistem hukum dan pemerintahan sekuler.
Dua negara pendahulunya sudah menjalin hubungan diplomatik, militer, dan perdagangan yang erat, dan merupakan sekutu pada Perang Dunia Pertama. Beberapa bulan setelah berdirinya Republik Turki yang baru pada tahun 1923, hubungan diplomatik kembali terjalin dan sebuah perjanjian persahabatan disepakati.
Türki menjadi tempat perlindungan mereka yang dikejar rezim Nazi
Salah satu fase dalam hubungan Jerman-Turki yang sering dilupakan saat ini adalah pelarian beberapa ratus orang Jerman yang dikejar-kejar rezim Nazi ke Turki. Saat itu Turki memang berada dalam posisi netral dalam hal kebijakan luar negeri.
Iklan
"Turki di bawah Atatürk menjadi tempat perlindungan bagi banyak akademisi yang tertindas. Republik Turki (waktu itu) membutuhkan orang-orang yang berkualifikasi tinggi,” kata ahli sejarah dan pakar Turki, Rasim Marz.
Yang melarikan diri dan mendapat perlindungan di Turki saat itu antara lain politisi SPD yang kemudian menjadi walikota Berlin, Ernst Reuter. Ada juga ekonom Fritz Baade, komponisr Paul Hindemith dan banyak yang lain.
Kami Berasal dari Sini: Kehidupan Keturunan Turki-Jerman dalam Gambar
Untuk merayakan ulang tahun ke-60 kesepakatan penerimaan pekerja migran asal Turki di Jerman, museum Ruhr memamerkan foto-foto karya fotografer asal Istanbul, Ergun Cagatay.
Fotografer Ergun Cagatay dari Istanbul, pada 1990 mengambil ribuan foto warga keturunan Turki yang berdomisili di Hamburg, Köln, Werl, Berlin dan Duisburg. Ini akan dipajang dalam pameran khusus “Kami berasal dari sini: Kehidupan keturunan Turki-Jerman tahun 1990” di museum Ruhr. Pada potret dirinya dia memakai pakaian pekerja tambang di Tambang Walsum, Duisburg.
Dua pekerja tambang bepose usai bertugas di tambang Walsum, Duisburg. Dipicu kemajuan ekonomi di tahun 50-an, Jerman menghadapi kekurangan pekerja terlatih, terutama di bidang pertanian dan pertambangan. Menindak lanjuti kesepakatan penerimaan pekerja migran antara Bonn dan Ankara pada 1961, lebih dari 1 juta “pekerja tamu” dari Turki datang ke Jerman hingga penerimaan dihentikan pada 1973.
Ini foto pekerja perempuan di bagian produksi pelapis interior di pabrik mobil Ford di Köln-Niehl. “Pekerja telah dipanggil, dan mereka berdatangan,” komentar penulis Swiss, Max Frisch, kala itu. Sekarang, komunitas Turki, dimana kini sejumlah keluarga imigran memasuki generasi ke-4, membentuk etnis minoritas terbesar di Jerman dengan total populasi sekitar 2.5 juta orang.
Foto menunjukan keragaman dalam keseharian orang Turki-Jerman. Terlihat di sini adalah kedelapan anggota keluarga Hasan Hüseyin Gül di Hamburg. Pameran foto di museum Ruhr ini merupakan liputan paling komprehensif mengenai imigran Turki dari generasi pertama dan kedua “pekerja tamu.”
Saat ini, bahan makanan seperti zaitun dan keju domba dapat ditemukan dengan mudah di Jerman. Sebelumnya, “pekerja tamu” memenuhi mobil mereka dengan bahan pangan itu saat mereka balik mudik. Perlahan-lahan, mereka membangun pondasi kuliner Turki di Jerman, untuk kenikmatan pecinta kuliner. Di sini berpose Mevsim, pemilik toko buah dan sayur di Weidengasse, Köln-Eigelstein.
Anak-anak bermain balon di Sudermanplatz, kawasan Agnes, Köln. Di tembok yang menjadi latar belakang terlihat gambar pohon yang disandingkan dengan puisi dari Nazim Hikmet, penyair Turki: “Hidup! Seperti pohon yang sendiri dan bebas. Seperti hutan persaudaraan. Kerinduan ini adalah milik kita.” Hikmet sendiri hidup dalam pengasingan di Rusia, hingga dia meninggal pada 1963.
Di sekolah baca Al-Quran masjid Fath di Werl, anak-anak belajar huruf-huruf Arab agar dapat membaca Al-Quran. Itu adalah masjid dengan menara pertama yang dibuka di Jerman pada tahun 90-an. Sejak itu warga Turki di Jerman tidak perlu lagi pergi ke halaman belakang untuk shalat atau beribadah.
Cagatay, sang fotografer berbaur dengan para tamu di sebuah pesta pernikahan di Oranienplatz, Berlin-Kreuzberg. Di gedung perhelatan Burcu, para tamu menyematkan uang kepada pengantin baru, biasanya disertai dengan harapan “semoga menua dengan satu bantal.” Pengantin baru menurut tradisi Turki akan berbagi satu bantal panjang di atas ranjang pengantin.
Tradisi juga tetap dijaga di tanah air baru ini. Di pesta khitanan di Berlin Kreuzberg ini, “Masyaallah” tertulis di selempang anak sunat. Itu artinya “terpujilah” atau “yang dikehendaki tuhan.” Pameran antara lain disponsori Kementerian Luar Negeri Jerman. Selain di Essen, Hamburg dan Berlin, pameran juga akan digelar di Izmir, Istanbul, dan Ankara bekerjasama dengan Goethe Institute. (mn/as)
Tapi peristiwa penting yang memiliki dampak jangka panjang terhadap hubungan kedua negara adalah perjanjian perekrutan pekerja kasar Turki ke Republik Federal Jerman pada tahun 1961. Menurut Kementerian Luar Negeri, sekitar 876.000 pekerja didatangkan dari Turki untuk bekerja di pertambangan serta industri otomotif.
Untuk waktu yang cukup lama, para pekerja kasar dari Turki disambut sebagai "Gastarbeiter”, yang artinya "pekerja tamu”. Tapi kebanyakan dari mereka kemudian memboyong keluarganya untuk menetap di Jerman. Saat ini ada sekitar tiga juta warga keturunan Turki tinggal di Jerman. Banyak juga yang sudah menjadi warga negara Jerman dan terjun ke dunia usaha.
Pada awal kunjungannya, Presiden Jerman Frank-Walter Steinmeier memuji kontribusi para pekerja migran Turki dan mengunjungi lokasi bersejarah stasiun kereta Sirkeci di Istanbul: banyak pekerja Turki yang direkrut berangkat dari stasiun ini dengan kereta api menuju Jerman. "Mereka membantu membangun negara kita, menjadikannya kuat, dan menjadi bagian penting dalam masyarakat kita,” kata Steinmeier.
Sejak Recep Tayyip Erdogan menjadi presiden Turki, hubungan Jerman-Turki semakin memburuk. Terutama setelah Erdogan mengambil tindakan keras terhadap lawan politiknya pasca percobaan kudeta pada tahun 2016. Tapi Partai AKP pimpinan Erdogan mengalami kekalahan dalam pemilu lokal beberapa minggu lalu, pemenangnya adalah partai oposisi terbesar, CHP, yang antara lain memenangkan pemilihan walikota di Istanbul. Harapan besar partai oposisi sebagai calon presiden mereka di masa depan, adalah Walikota Istanbul Ekrem Imamoglu. Presiden Jerman Frank-Walter Steinmeier bertemu lebih dulu dengan walikota Istanbul Imamoglu, sebelum bertemu dengan Erdogan di Ankara.