1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Penegakan Hukum

Menanti Keadilan untuk Munir

6 September 2020

Aktivis hak asasi manusia, Munir Said Thalib tidak pernah menyangka perjalanan menuju Belanda akan menjadi sebuah tragedi. Ia tewas diracun. Kini belasan tahun berlalu, keadilan untuknya masih belum terwujud.

Munir Said Thalib indonesischer Menschenrechtsaktivist
Aktivis hak asasi manusia, Munir Said ThalibFoto: AFP/Getty Images/H. Montgomery

Memasuki tahun ke-16, misteri kasus meninggalnya pejuang Hak Asasi Manusia (HAM) Munir Said Thalib pada 7 September 2004, hingga saat ini masih diselimuti kegelapan. Segala upaya yang dilakukan untuk mengungkap keadilan dan kepastian hukum terhadap kasus Munir seakan menemui jalan buntu.

Bagaimana tidak buntu? Pada pertengahan Februari 2016, Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) mengklaim tidak memiliki, menguasai, dan mengetahui keberadaan dokumen laporan akhir Tim Pencari Fakta (TPF) kasus meninggalnya Munir. Singkat kata, dokumen hasil penyelidikan TPF yang tidak pernah dibuka ke publik tersebut tiba-tiba hilang.

Pada Oktober 2016, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menggugat Kemensetneg. Hasilnya, majelis hakim memerintahkan lembaga negara itu segera mengumumkan dokumen TPF. Namun alih-alih memberikan informasi dan dokumen, pemerintahan Joko Widodo malah melakukan banding melalui PTUN.

Putusan PTUN Jakarta menyatakan dokumen laporan akhir TPF yang berisi empat lapis pelaku yang terlibat dalam pembunuhan Munir itu tidak dikuasai pemerintah, sehingga tidak ada kewajiban untuk mengumumkannya kepada publik. Kasasi yang diajukan koalisi terhadap putusan itu kandas dan MA memperkuat putusan PTUN Jakarta tersebut.

Fatia Maulidiyanti, Koordinator KontraSFoto: Privat

Kepada DW, Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti mengungkapkan tidak ada upaya dari negara dalam menegakkan keadilan bagi pelanggaran hak asasi manusia.

“Sebenarnya dengan hilangnya dokumen TPF (yang juga berisi rekomendasi untuk membentuk tim investigasi independen) itu juga sudah menunjukkan bahwa negara tidak pernah menganggap penegakan HAM merupakan sebuah hal yang prioritas dan juga perlu dijunjung tinggi di negara ini,” ucap Fatia.

Waktu terus berjalan dan rezim pun berganti, koalisi masyarakat sipil penggiat hak asasi manusia hingga saat ini masih terus mendesak pemerintahan Joko Widodo untuk segera menemukan dokumen ‘hilang’ itu, mengungkapkannya kepada publik, dan menindaklanjuti semua hasil laporan tersebut.

Mantan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Natalius Pigai mengingat kembali kasus pembunuhan terhadap aktivis Munir.

Natalius Pigai, Mantan Komisioner Komnas HAMFoto: Privat

“Di dalam perjalanannya, kematian Munir dieksploitasi betul oleh Pak Jokowi pada 2014 bahwa seakan-akan dia (Jokowi) berasal dari kaum yang menderita, orang yang berasal dari civil society yang memberi harapan kepastian penyelesaian kejahatan terhadap kasus Munir. Pada saat itu Jokowi kapitalisasi kasus HAM dan kemudian terpilih menjadi presiden. Tetapi sampai sekarang sudah enam tahun berlalu, jangankan penyelesaian terhadap kasus Munir atau kasus pelanggaran HAM, proses saja sama sekali tidak ada,” kata Natalius kepada DW.

16 tahun berlalu, apa kabar dokumen TPF yang hilang?

Perintah Presiden Joko Widodo kepada Jaksa Agung Muhammad Prasetyo pada Oktober 2016, untuk mencari dokumen TPF yang hilang pun tidak membuahkan hasil alias nihil. Sikap ini lantas dinilai sejumlah pihak sebagai keengganan pemerintah dalam mengungkap aktor intelektual di balik pembunuhan Munir.

Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Foto: Privat

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyesalkan tidak adanya perkembangan berarti dalam kasus peracunan terhadap aktivis kelahiran Malang, Jawa Timur itu.

“Belum ada sama sekali perkembangan yang positif untuk kasus peracunan terhadap Munir Said Thalib, meskipun sudah 16 tahun berlalu,” kata Usman yang juga merupakan Mantan Sekretaris TPF untuk kasus Munir.

“Kami sudah berusaha untuk mendorong adanya investigasi yang baru dan independen terhadap kasus peracunan Munir, namun demikian tidak ada satu pun kemajuan yang bisa kita lihat dari investigasi di kepolisian maupun juga wacana yang pernah dimunculkan oleh kejaksaan tentang peninjauan kembali kasus Munir ini ke Mahkamah Agung,” tambahnya.

Dua windu berlalu tanpa adanya kepastian hukum, membuat pemerintah dianggap gagal mengamankan dan menyimpan dokumen super penting yang berisi hasil temuan dari pencarian fakta selama tiga sampai enam bulan setelah kematian Munir tersebut.

“Bagi kami, rakyat, keluarga korban dan aktivis human rights, kasus Munir menjadi salah satu noda hitam bangsa. Persoalan yang sangat serius dan ketidakadilan dalam penegakan hukum serta kepastian hukum bagi keluarga korban dan para humanitarian, tetapi lebih dari pada itu kasus Munir bagi pemerintah bukan merupakan kasus yang urgent,” tegas Natalius Pigai.

KontraS menilai almarhum Munir sebagai simbol bagaimana sebenarnya perjuangan pergerakan hak asasi manusia di Indonesia ini sama sekali tidak dihargai, dikarenakan tidak adanya tindakan apa pun dari negara dan juga tidak ada langkah-langkah dari negara yang terbaru setelah menyatakan bahwa dokumen TPF itu hilang.

No action, talk only

Enam tahun pemerintahan Jokowi dan upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu tidak berjalan beriringan atau bahkan bisa dibilang jalan di tempat.

“Saya sulit untuk mengatakan berjalan (penuntasan pelanggaran HAM). Saya tidak melihat ada tanda-tanda bahwa pengusutan kasus pembunuhan Munir atau usaha untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu itu dijalankan saat ini misalnya, itu tidak ada. Bahkan untuk kasus yang sudah direkomendasikan oleh DPR perihal pembentukan Pengadilan Ham Ad Hoc untuk penculikan aktivis atau penghilangan aktivis itu sama sekali tidak ada kemajuan,” papar Usman.

Fatia menambahkan, “kita tahu bahwa sampai hari ini masih berjalan dengan stagnan.”

“Bahkan jika ada wacana terkait penyelesaian kasus pelanggaran HAM, itu pun tidak sesuai dengan mandat yang berlaku pada UU nomor 26 tahun 2000 dan UU nomor 39 tahun 1999. Sebenarnya pola yang berulang ini masih terus terjadi karena memang kasus pelanggaran HAM masa lalu tidak pernah diselesaikan, sehingga hari ini makin banyak kasus pelanggaran HAM terus bergulir,” tambahnya.

Sorotan terhadap pemerintah yang lebih memprioritaskan bidang ekonomi ketimbang mengurusi persoalan HAM membuat ketajaman harapan akan penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia kian tumpul.

“Saya sangat menyayangkan, bukan saja agenda-agenda penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu dikesampingkan, tetapi juga agenda ekonomi itu telah menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia yang baru,” ucap Usman.

Hingga berita ini diturunkan, permohonan wawancara DW kepada Fadjroel Rachman selaku Juru Bicara Presiden Joko Widodo belum ditanggapi.

Kasus Munir jadi “warisan” tak terselesaikan

Seperti sebuah pekerjaan rumah yang sulit diselesaikan, dua kali presiden berganti dan delapan kali kapolri berganti juga tidak mampu mengungkap dalang pembunuhan Munir.

Sebagai pintu masuk untuk membuka kembali temuan dan fakta kasus Munir, keluarga dan koalisi masyarakat sipil hingga hari ini berjuang mendesak pemerintah untuk mengungkap dokumen rekomendasi TPF.

“Kami dari KontraS tetap berkeyakinan bahwa pelanggaran HAM; pelaku, dalang, siapa pun itu di belakang mastermind sampai dengan eksekutor yang bekerja di lapangan harus diadili demi pemenuhan hak korban, pemulihan juga harus dilaksanakan oleh negara dan tidak hanya sekedar memaafkan tetapi proses pencarian kebenaran, peradilan, dan lain sebagainya harus tetap dijalankan. Sebagai bentuk apresiasi tertinggi hingga hari ini, KontraS bersama dengan keluarga korban akan terus menyuarakan dan berkampanye soal kasus Munir. Seperti biasa akan terus menyuarakan ini, tidak hanya di sektor nasional maupun internasional,” ungkap Fatia.

Selaku kolega, kenangan Usman terhadap Munir tidak memudar. Tragedi ini akan selalu membekas. Harapan bahwa kasus Munir menjadi kasus terakhir diyakini bukan hanya sekedar mimpi.

“(Yang dilakukan saat ini) merawat ingatan masyarakat, merawat semacam memori tentang pernah adanya sebuah peracunan atau sebuah kejahatan meracuni aktivis di atas pesawat yang dialami oleh Munir,” ujar Usman Hamid. (ha/vlz)

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait