17 staf harian oposisi terbesar di Turki "Cumhuriyet" hari Senin (24/7) diajukan ke pengadilan. Mereka ditangkap Oktober lalu pasca kudeta yang gagal dengan tuduhan mendukung terorisme.
Iklan
17 staf Cumhuriyet, termasuk penulis, kartunis dan jajaran eksekutif – dihadapkan ke pengadilan di Istanbul. Acara persidangan dipenuhi oleh para pendukungnya, kata kantor berita AFP. Mereka melepaskan puluhan balon warna-warni di luar gedung pengadilan, sambil meneriakkan: "Jangan dibungkam! Media yang bebas adalah hak!"
Jika terbukti bersalah, para terdakwa menghadapi hukuman penjara hingga 43 tahun. Kalangan oposisi khawatir, pemerintahan Erdogan kini menggunakan keadaan darurat untuk mengejar dan menangkap siapa pun yang berani menentang kebijakan Presiden Erdogan.
Presiden Erdogan dalam dalam sebuah wawancara awal bulan ini bersikeras, di Turki saat ini hanya ada "dua orang yang benar-benar jurnalis" yang ditahan. Namun menurut kelompok kebebasan pers P24, ada 166 wartawan yang dijebloskan ke penjara, sebagian besar ditangkap di bawah keadaan darurat. Turki saat ini berada di urutan ke-155 dalam indeks kebebasan pers Reporters Without Borders (RSF), di bawah Belarus dan Republik Demokratik Kongo.
Harian "Cumhuriyet", artinya "Republik", didirikan tahun 1924, adalah salah satu harian tertua di Turki. Dalam beberapa tahun terakhir, harian yang pemberitaannnya kritis ini berada dalam bidikan pemerintahan Erdogan.
Mereka yang dihadapkan ke pengadilan termasuk beberapa nama besar dalam dunia jurnalisme di Turki, antara lain pemimpin redaksi Murat Sabuncu, kolumnis Kadri Gursel dankartunis Musa Kart. Juga wartawan investigasi Ahmet Sik, yang pada tahun 2011 menulis sebuah buku "Tentara Imam" yang memperlihatkan pengaruh gerakan Gulen di Turki. Sebelas dari 17 jurnalis yang diadili berada dalam tehenan, sementara enam lainnya masih bebas.
"Pengadilan ini adalah ujian bagi Turki," Aydin Engin, salah satu penulis yang dibebaskan setelah penangkapan pertamanya, namun kini diajukan ke pengadilan.
Mantan pemimpin redaksi Cumhuriyet, Can Dundar, tahun lalu sudah dijatuhi hukuman lima tahun dan 10 bulan penjara karena berita yang menuduh pemerintah mengirim senjata ke Suriah di halaman depan surat kabarnya. Dia sekarang telah meninggalkan Turki dan berada di Jerman.
Mereka yang berada dalam tahanan sudah ditahan selama 267 hari, kecuali Sik, yang ditahan selama 206 hari. Sejak penangkapan mereka, Cumhuriyet terus menerbitkan kolom-kolom para jurnalis yang dipenjara, dengan ruang kosong tanpa teks.
"Ini kasusnya adalah tentang mengkriminalkan jurnalisme, menghukum orang-orang yang berani berbicara.. Jika berhasil, maka mereka akan melakukannya berulang-ulang," kata Steven Ellis, direktur advokasi di International Press Institute, mengatakan di luar pengadilan.
Turki: Antara Kudeta Gagal dan Aksi Dukung Erdogan
Setahun setelah percobaan kudeta yang gagal di Turki, Presiden Erdogan dan pendukungnya gelar rapat akbar di Ankara demonstrasikan persatuan. Tapi tidak semua warga Turki mendukung acara tersebut.
Foto: DW/D. Cupolo
Kudeta Gagal dan Demonstrasi Kekuasaan
Kudeta gagal di Turki tahun 2016 sebabkan 250 orang tewas. Acara peringatan setahun sukses tumpas kudeta di Ankara dan Istanbul jadi demonstrasi bagi haluan masa depan negara Turki. Para pendukung presiden Erdogan berkumpul mendengarkan pidato di depan gedung Parlemen.
Foto: DW/D. Cupolo
Berbeda Pandangan
Banyak warga yang terlibat langsung melawan kudeta, untuk mendukung pemerintah yang terpilih secara demokratis, juga hadir dalam rapat akbar itu. Tapi tidak semuanya mendukung demokrasi. Seperti grup "serigala abu-abu" nama julukan partai gerakan nasionlistis ini, demonstrasikan salam partai ekstrim kanan Turki.
Foto: DW/D. Cupolo
Rela Mati demi Erdogan
Sureyya Kalayci (ki) dan putranya Sohn Ahmet (ka), menjadi aktivis yang memblokir jalanan di Ankara untuk menghentikan upaya kudeta militer setahun lalu. Saat peringatan setahun suskes tumpas kudeta, Kalayci memakai baju yang ia tulisi sendiri nyatakan kesetiaan pada Erdogan. "Cukup telefon saya, dan perintakan saya untuk mati, sayapun siap mati"
Foto: DW/Diego Cupolo
Pengawas Demokrasi
Plakat di sebuah gedung di Ankara ini bertuliskan: Kami terus memonitor demokrasi". Inilah dukungan bagi "demokrasi" pasca percobaan kudeta setahun silam. Sebagian penduklung Erdogan meyakini, bahwa pendukung imam Fetullah Gülen masih ada di dalam institusi pemerintahan, dan terus menyiapkan kudeta berikutnya.
Foto: DW/D. Cupolo
Percaya Kekuatan Nasional
Seorang demonstran mengatakan tertembak kakinya saat usaha kudeta yang gagal, dan menggeletak setahun di rumah sakit. Kini dia hadir dalam rapat akbar di Ankara, dan menyatakan siap membela negara. Ia menyebutkan, pengkhianat berusaha mempengaruhi militer lakukan kudeta. Tapi efeknya negara kini semakin kuat.
Foto: DW/D. Cupolo
Dukung Aksi Pembersihan
Demonstran yang membawa anak ini memakai ikat kepala bertuliskan "syuhada tak pernah mati. Tanah air tidak bisa dibagi". Banyak demonstran mendukung aksi pembersihan terhadap kelomopk anti Erdogan. Sejauh ini lebih 150.000 pegawai negeri dipecat dan lebih 50.000 orang ditahan di penjara. Demonstran ini menyebutkan, warga yang tidak bersalah tidak perlu takut.
Foto: DW/D. Cupolo
Demo Tandingan Pengritik Status Quo
Para pengritik situasi darurat dan represi terhadap tersangka lawan politik pemerintah gelar demo tandingan. Peserta aksi menentang kewenangan besar bagi tentara untuk melakukan tindakan apapun. Jika ada referendum, para penentang status quo akan memilih menolak dituasi darurat.
Foto: DW/D. Cupolo
Banyak Hak Sipil Dilenyapkan
Aktivis hak asasi manusia Seyma Urper menegaskan, banyak yang tidak ingin mendukung rapat akgar pendukung Erdogan. Pasca usaha kudeta, banyak pegawai negeri dipecat, dan walikota di Sirnak diganti oleh politisi pro AKP. Rakyat kehilangan banyak hak sipil. Banyak yang makin sulit menjalankan profesinya.
Foto: DW/D. Cupolo
Rindukan Kejayaan Usmaniyah
Dampak dari represi, menyebabkan Erdogan dipandang banyak pendukungnya sebagai penguasa tunggal di Turki. Ia dianggap sebagai tokoh yang bisa mengembalikan kejayaan Turki seperti di masa kekaisaran Usmaniyah yang runtuh 100 tahun lalu. Hal ini terlihat dari banner yang dibawa dengan tulisan :"Kami cucu Usmaniyah. Recep Tayyip Erdogan."
Foto: DW/D. Cupolo
Semua Mengharap Erdogan Terpilih Kembali?
Demostran pendukung Erdogan mengusung bendera bertuliskan. "Tetap kuat, rakyat mendukungmu". Tapi banyak yang diam-diam mengharapkan hal sebaliknya. Seorang sopir taksi mengatakan, jika Erdogan terpilih kembali 2019, Turki akan jadi ngara Syariah. Bagi pria ini bukan masalah, tapi bagi perempuan akan jadi masalah berat. Penulis:Diego Cupolo (as/ap)
Foto: DW/D. Cupolo
10 foto1 | 10
Filiz Kerestecioglu, anggota parlemen dari Partai Rakyat Demokratik (HDP) yang beroposisi menanggapi: "Menurut pemerintah, semua oposisi adalah teroris. Satu-satunya yang bukan teroris adalah mereka sendiri."
"Yang sedang diadili sekarang adalah jurnalisme di Turki, bukan hanya Cumhuriyet," kata sekretaris jenderal RSF Christophe Deloire.
Kelompok Kerja PBB untuk Penahanan Sewenang-wenang, dalam sebuah opini yang dikeluarkan bulan lalu, menyatakan bahwa penahanan staf Cumhuriyet dilakukan secara sewenang-wenang. Mereka menuntut agar para jurnalis segera dilepaskan dan diberi hak untuk mendapatkan ganti rugi atas penahanannya.
hp/vlz (afp, dpa, rtr)
Sejarah Kudeta Militer di Turki
Sebanyak enam kudeta dilancarkan militer terhadap pemerintah sipil sepanjang sejarah Turki. Hampir semua bermotifkan politik. Militer menganggap diri sebagai pengawal sekularisme Atatürk dan tidak jengah mengintervensi.
Foto: Reuters/O. Orsal
1960: Kudeta Demokrasi
Kepala pemerintahan pertama di Turki yang dipilih langsung oleh rakyat tidak berusia lama. Kekuasaan Adnan Menderes dan Partai Demokrat diwarnai pelanggaran HAM dan upaya untuk mengembalikan Syariat Islam ke pemerintahan Turki. Militer kemudian melancarkan upaya kudeta pertama. Setahun berselang Menderes dihukum mati oleh junta militer.
Foto: picture-alliance/AP Photo
1971: Berakhir Lewat Memorandum
Selang 11 tahun setelah kudeta terakhir, militer melayangkan memorandum yang menyebut pemerintah telah "menyeret negara dalam anarki dan kerusuhan sosial." Surat yang ditandatangani semua perwira tertinggi militer itu mengultimatum pemerintahan untuk segera membubarkan diri dan membentuk pemerintahan kesatuan.
Foto: Imago/ZUMA/Keystone
1980: Kudeta Mengakhiri Perang Proksi
Muak dengan pertikaian antara kaum kanan dan komunis kiri, panglima militer Jendral Kenan Evren melancarkan kudeta buat menyingkirkan pemerintahan sipil. Turki pada dekade 80an ikut terseret dalam arus perang dingin yang ditandai dengan konflik berdarah di level akar rumput. Hingga akhir 70an negeri dua benua itu mengalami 10 pembunuhan per hari terhadap aktivis komunis atau sayap kanan
Foto: imago/Zuma/Keystone
Darah Berbayar Duit
Kudeta 1980 membuahkan pertumbuhan ekonomi buat Turki yang nyaris bangkrut. Namun kekuasaan Jendral Evren hingga 1989 banyak diwarnai oleh penculikan dan penyiksaan terhadap oposisi dan kelompok anti pemerintah. Tahun 2014 Evren akhirnya divonis penjara seumur hidup oleh sebuah pengadilan di Ankara. Namun lantaran faktor usia, vonis tersebut cuma bersifat simbolis.
Foto: AP
1997: Intervensi Senyap
Kembali militer bereaksi ketika pemerintahan Necmettin Erbakan dinilai menanggalkan prinsip sekulerisme Ataturk. Saat itu dewan jendral, termasuk Panglima Militer Jendral Ismail Hakki Karadayi, mengultimatum pemerintah untuk melaksanakan enam butir tuntutan yang membatasi gerak kelompok Islam. Kudeta itu berhasil menjatuhkan Erbakan. Tapi para jendral yang terlibat kemudian diadili tahun 2012
Foto: Adem Altan/AFP/Getty Images
2016: Kudeta Setengah Hati
Pada Jumat malam, 15 Juli 2016, militer tiba-tiba mendeklarasikan kudeta dan mengklaim telah merebut pemerintahan dari tangan Presiden Recep Tayyip Erdogan. Saat itu Erdogan sedang berlibur di luar negeri. Militer lalu bergerak merebut tempat-tempat strategis, termasuk kantor stasiun televisi CNN Turki di Istanbul
Foto: Getty Images/G.Tan
Balas Dendam Erdogan
Lewat pesan ponsel Erdogan memerintahkan pendukungnya untuk turun ke jalan. Aparat kepolisian dan pasukan pemerintah dikerahkan buat menghalau kelompok makar. Hasilnya ratusan orang tewas dan ribuan lain luka-luka. Kudeta di Turki dinilai berlangsung tanpa perencanaan matang. Erdogan lalu memanfaatkannya buat memberangus musuh politik yang sebagian besar simpatisan kelompok Gulen