17+8 Tuntutan Rakyat: Saat Pink & Hijau Menyulam Perlawanan
4 September 2025
Di lini masa media sosial, warna pink dan hijau belakangan ini mendominasi, berseliweran sebagai simbol perlawanan publik. Dalam beberapa hari terakhir, kedua warna tersebut merepresentasikan luapan amarah dan keresahan masyarakat atas berbagai isu. Mulai dari kontroversi tunjangan DPR, kekerasan aparat, hingga tragedi meninggalnya pengemudi ojek daring yang dilindas mobil rantis Brimob.
Gerakan ini dikenal dengan nama Brave Pink Hero Green, sebuah kampanye yang lahir dari unggahan bertajuk “17+8 Tuntutan Rakyat” yang telah viral selama sepekan terakhir. Unggahan tersebut menyuarakan 17 tuntutan jangka pendek dan 8 tuntutan jangka panjang yang ditujukan kepada pemerintah, DPR, dan institusi negara lainnya.
Tuntutan tersebut pertama kali diunggah oleh sejumlah figur publik yang dikenal vokal dalam menyuarakan aspirasi masyarakat sipil. Di antaranya adalah Andhyta F. Utami, pendiri Think Policy Indonesia, dan Abigail Limuria, pendiri What Is Up Indonesia.
Selama beberapa minggu terakhir, mereka aktif menyuarakan protes dan aksi demonstrasi yang berlangsung sepanjang Agustus di berbagai kota di Indonesia. Suara mereka pun menggema luas di media sosial, membuat unggahan tersebut viral dan diikuti oleh banyak pengguna internet lainnya.
Di balik unggahan "17+8"
Firdza Radiany, pendiri platform digital Pandemic Talks yang turut terlibat dalam proses penyusunan konten “17+8 Tuntutan Rakyat”, menjelaskan kepada DW Indonesia bahwa ada sekitar 20 orang yang berkontribusi di balik inisiatif ini.
Tujuan utama mereka adalah memberikan panduan yang terstruktur bagi masyarakat mengenai isu-isu yang perlu dibenahi, sekaligus menyampaikannya kepada pemerintah agar perubahan nyata bisa diwujudkan.
“Ini tidak ada inisiatornya karena ini milik rakyat semua, dan kami hanya merangkum berbagai tuntutan dari 211 organisasi masyarakat sipil dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI),” ucapnya.
Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Aspirasi ini juga menghimpun jutaan suara warganet melalui kolom komentar di unggahan berbagai figur publik, seperti Jerome Polin, Salsa Erwina, dan Cheryl Marella.
Selain itu, daftar tuntutan turut mencakup “12 Tuntutan Rakyat Menuju Reformasi, Transparansi, & Keadilan” yang digagas oleh Reformasi Indonesia di Change.org, yang telah memperoleh lebih dari 40.000 dukungan.
Tuntutan dari aksi buruh pada 28 Agustus serta pernyataan sikap dari Center for Environmental Law & Climate Justice Universitas Indonesia juga menjadi bagian dari gerakan ini.
Simbol resistensi dan kesadaran kolektif
Unggahan “17+8 Tuntutan Rakyat” tak hanya viral karena isi tuntutannya yang terstruktur, tetapi juga karena penamaannya yang unik dan penuh makna.
Nama “17+8” merujuk pada tanggal Hari Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus. Angka 17 mewakili tuntutan jangka pendek dengan tenggat hingga 5 September 2025, sementara angka 8 mencerminkan tuntutan jangka panjang yang ditargetkan tercapai hingga 31 Agustus 2026.
Pemilihan warna pink dan hijau pun bukan tanpa alasan.
"Saat menjalani proses kreatifnya, kami melakukan ideation dan riset terlebih dahulu. Warna pink terinspirasi dari ibu Anna yang berani turun ikut demo dan mewakili kasih sayang serta pengorbanan. Kalau hijau mewakili simbol kebaikan dan warna ojek daring, yaitu dari almarhum Affan yang meninggal saat aksi pada akhir Agustus lalu,” ujar Firdza.
Lebih dari sekadar simbol, warna pink dan hijau juga dianggap dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Kombinasi ini kerap muncul dalam elemen budaya populer seperti jajanan pasar getuk, pisang hijau, lapis legit, hingga benda-benda rumah tangga seperti gayung, sapu, dan bahkan angkot berwarna serupa.
Menurut Teuku Harza Mauludi, dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia, warna-warna ini telah menjelma menjadi simbol resistensi karena mampu membangkitkan emosi kolektif.
"Kalau sebelumnya ada resistensi berupa warna biru tua sebagai kontras dari biru muda Prabowo-Gibran, pink dan hijau jadi warna baru. Ini jadi simbol penting supaya gerakan menjadi luas, agar orang ingin tahu dan sadar. Namun, di saat yang bersamaan, jangan sampai ini cuma jadi tren dan pesan tuntutannya jadi hilang,” jelas Harza kepada DW Indonesia.
Apa saja isi tuntutannya?
Adapun 17 tuntutan jangka pendek mencakup isu-isu mendesak, seperti penarikan TNI dari pengamanan sipil, pembentukan tim investigasi independen terkait korban kekerasan aparat, pembekuan kenaikan gaji dan tunjangan DPR, transparansi anggaran DPR, pemeriksaan terhadap anggota DPR yang bermasalah, serta sanksi tegas bagi mereka yang melanggar etika. Tuntutan lainnya meliputi komitmen partai politik terhadap rakyat, pelibatan DPR dalam dialog terbuka, pembebasan demonstran, dan penghentian kekerasan oleh aparat kepolisian.
Selain itu, terdapat desakan untuk memproses hukum pelaku kekerasan, mengembalikan TNI ke barak, memastikan TNI tidak mengambil alih fungsi Polri, serta menjamin komitmen TNI untuk tidak memasuki ruang sipil. Tuntutan juga mencakup pemenuhan upah layak di seluruh Indonesia, langkah darurat untuk mencegah PHK massal, dan pembukaan dialog dengan serikat buruh.
Sementara itu, delapan tuntutan jangka panjang berfokus pada reformasi sistemik. Di antaranya adalah reformasi besar-besaran terhadap DPR dan partai politik, penyusunan rencana reformasi perpajakan yang lebih adil, pengesahan RUU Perampasan Aset, reformasi institusional di tubuh kepolisian, pencabutan mandat TNI dari proyek sipil, penguatan Komnas HAM, serta peninjauan ulang kebijakan ekonomi nasional.
Pakar menilai bahwa meskipun substansi tuntutan sudah cukup tepat dalam merepresentasikan persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi rakyat, ada hal penting yang perlu diperhatikan: urgensi dan skala prioritas dari setiap poin tuntutan.
"Contohnya, saya agak skeptis kalau UU Perampasan Aset disahkan sebelum ada reformasi penegak hukum. Karena tanpa reformasi polisi dan jaksa, ini justru berpotensi dimanfaatkan oleh aparat hukum untuk melakukan kriminalisasi atau menjaga lawan politik dari penguasa," ujar Harza.
Sementara itu, menurutnya, 17 tuntutan jangka pendek mencerminkan harapan masyarakat agar pemerintah menunjukkan komitmen nyata dalam berpihak kepada rakyat.
“Ini soal keadilan sosial, dan bagaimana sampai saat ini belum ada kebijakan pemerintah yang menunjukkan keberpihakannya terhadap rakyat,” ucapnya.
Mengawal tuntutan dan menjaga optimisme solidaritas
Meski tenggat waktu untuk 17 tuntutan jangka pendek ditetapkan pada 5 September, muncul kekhawatiran bahwa tuntutan tersebut tidak akan dipenuhi, atau bahkan diabaikan oleh pemerintah dan DPR.
Saat ditemui DW Indonesia pada 1 September di depan Gedung DPR, figur publik Andovi da Lopez dan Jovial da Lopez menyatakan komitmen mereka untuk terus mengawal tuntutan hingga benar-benar terealisasi. Keduanya merupakan influencer yang turut merangkum poin-poin dalam gerakan “17+8” dan aktif menyuarakan rangkaian aksi unjuk rasa melalui media sosial mereka.
“Pertama, kita kawal terus, kedua, memang kita akan bikin mekanisme dimana kita bisa minta pertanggungjawabannya jikalau mereka tidak memenuhi tuntutannya,” ucap Andovi sembari memegang poster tuntutannya.
Sementara, bagi Jovial, tuntutan ini berujung pada reformasi DPR sebagai tujuan akhir yang ingin dicapai.
"Aku merasa bahwa DPR terlalu kerja untuk partainya. Namanya Dewan Perwakilan Rakyat, tapi semuanya selalu tentang partai. Ketika DPR bisa menggeser prioritasnya dari partai ke rakyat, di situlah transformasi mulai kelihatan," jelas Jovial.
Menurut pakar, jika tuntutan tidak dipenuhi, akan timbul krisis legitimasi yang harus dihadapi pemerintah.
"Ketika pemerintah tidak punya legitimasi, ini akan sangat berbahaya karena negara hanya akan ada ketika rakyatnya mengakui bahwa ia adalah bagian darinya. Kalau tuntutan ini tidak diindahkan, ini berpotensi memicu gelombang ketidakpuasan yang lebih besar. Secara politik, ini bisa menciptakan tuntutan untuk perubahan yang lebih radikal,” kata Harza.
Sekalipun tuntutan belum dipenuhi setelah tenggat waktu berlalu, harapan akan perubahan harus tetap hidup.
"Optimisme itu berasal dari kepercayaan bahwa pemerintahan itu mandatnya berasal dari rakyat. Selama masyarakat yakin bahwa orang-orang yang duduk di pemerintahan adalah perpanjangan tangan dari rakyat, dan kedaulatan tinggi dipegang rakyat, maka mereka harus tetap optimis dalam melakukan perubahan karena rakyatlah bos sesungguhnya,” ucapnya.
Editor: Hani Anggraini