18 Tahun Reformasi: Perjalanan Paradoksal Perempuan
Julia Suryakusuma 11 Mei 2016
Di zaman Orde Baru ideologi “ibuisme negara” membatasi peran perempuan, di zaman reformasi, represi terhadap perempuan dilakukan atas nama Islam. Julia Suryakusuma menyampaikan opininya dari perspektif perempuan.
Iklan
Bulan Mei ini kita merayakan 18 tahun reformasi, yang dianggap periode demokratisasi di Indonesia. Apa yang telah dicapai dalam kurun waktu ini?
Untuk melakukan evaluasi menyeluruh, mustahil dilakukan dalam tulisan singkat. Jika dibukukanpun, dibutuhkan buku yang amat tebal. Jadi saya akan mengambil sudut pandang perempuan. Mengapa? Ada tiga alasan.
Pertama, seperti dikatakan Charles Fourier (1772-1837), seorang filsuf dan intelektual Perancis, “perubahan jaman selalu dapat diukur dari kemajuan yang telah dicapai perempuan.”
Kedua, sebenarnya dapat dikatakan awal reformasi terjadi pada tanggal 23 Februari ketika sekelompok perempuan pertama kali melakukan demonstrasi pada hari yang ditetapkan pemerintah sebagai Siaga I, saat sidang khusus parlemen tengah berlangsung.
Cantik dan Mematikan: Prajurit Perempuan Pelumat ISIS
Mereka cantik, tetapi juga mematikan. Buat melumat ancaman kelompok teror Islamic State, perempuan Kurdi tidak segan mengangkat senjata. Keberadaan mereka di garda terdepan mengusik sikap anti perempuan kelompok radikal.
Foto: Reuters/A. Jadallah
Ditakuti dan Dibenci
Sejak beberapa tahun terakhir pasukan bersenjata Kurdi, Peshmerga, menerjunkan kaum perempuan buat bertempur di garda terdepan dalam perang melawan Islamic State. Mereka ditakuti, tutur Kolonel Nahida Ahmad Rashid, komandan batalyon perempuan Peshmerga, "karena pejuang IS merasa mereka yang mati di tangan perempuan tidak akan masuk surga."
Foto: Getty Images/AFP/S. Hamed
Berbayar Nyawa
Kekhawatiran terbesar prajurit perempuan Peshmerga adalah ditangkap oleh gerilayawan IS. Menurut berbagai laporan, mereka biasanya disiksa dan diperkosa sebelum dibunuh. Oleh pimpinan Peshmerga setiap serdadu perempuan diperintahkan menyisakan satu butir peluru buat melumat nyawa sendiri sebelum ditangkap.
Foto: picture alliance/Pacific Press/J. Ahmad
Uluran Tangan Barat
Batalyon kedua Pesherga saat ini berkekuatan 500 serdadu yang semuanya berjenis kelamin perempuan. Satuan tempur ini berbasis di Sulaymaniyah, Kurdistan, dan terletak tidak jauh dari perbatasan Iran. Lantaran kiprahnya dalam perang melawan IS, Peshmerga sering mendapat bantuan militer dari negara-negara barat. termasuk diantaranya program pelatihan buat perempuan.
Foto: picture-alliance/dpa/R. Jensen
Persamaan Gender di Jantung Kekuasaan IS
Prajurit perempuan Peshmerga ikut memanggul beban tugas yang sama seperti kaum lelaki. Mereka dikirim dalam misi pengintaian, berpatroli, menjaga pos pengawasan atau rumah sakit. "Satu-satunya perbedaan," kata Kolonel Rashid, sang komandan, "adalah para lelaki memakai senapan yang lebih berat."
Foto: picture-alliance/dpa/R. Jensen
Perempuan di Akar Tradisi
Peshmerga yang dalam bahasa Kurdi berarti "mereka yang menatap mata kematian," aktif sejak akhir Perang Dunia I. Sejak dulu sayap militer Kurdi ini bertempur melawan pemerintahan Irak. Sejak jatuhnya rejim Saddam Hussein, wilayah Kurdistan menikmati otonomi dan kemajuan ekonomi. Perempuan yang teremansipasi sudah mengakar dalam tradisi Kurdi
Foto: Reuters/Ahmed Jadallah
Ekspresi Kebebasan Perempuan Kurdi
Peshmerga pertamakali merekrut prajurit perempuan sekitar 20 tahun lalu. Selain Peshmerga, minoritas Kurdi juga memiliki kelompok bersenjata lain seperti Partai Buruh Kurdi, PKK, atau YPG yang juga banyak diperkuat oleh kaum hawa. Adalah Abdullah Öcalan, pimpinan PKK, yang pertama kali mencetuskan ide serdadu perempuan. "Jika perempuan dijadikan budak, lelaki pun mengalami nasib sama," katanya
Foto: picture alliance/Pacific Press/J. Ahmad
Perjuangan demi Kebebasan
Peshmerga bertempur di front sepanjang 1000 kilometer di utara Irak. Jika dulu rejim Saddam Hussein dianggap sebagai ancaman terbesar, maka kini peran laknat tersebut digantikan oleh Islamic State. "Kami disini karena ingin melindungi apa yang telah susah payah kami capai, yakni parlemen, keamanan dan stabilitas," kata Komandan Rashid.
Foto: Reuters/A. Jadallah
7 foto1 | 7
Demonstrasi yang kemudian menjadi gerakan yang dikenal sebagai Suara Ibu Peduli (SIP) melakukan “politik susu” - respons terhadap melonjaknya harga sembako termasuk susu. Secara mencengangkan, demo SIP berhasil menyiarkan kepada dunia kekacauan ekonomi, kebobrokan politik, serta ketidakadilan sosial, yang membuat Indonesia terpuruk.
Ketiga, baru-baru ini, pada tgl. 2 Mei 2016 telah dilangsungkan acara memperingati ulang tahun Institut Kapal Perempuan yang didirikan pada 8 Maret 2000, untuk “membangun gerakan perempuan dan sosial yang mampu mewujudkan keadilan sosial, kesetaraan dan keadilan gender serta perdamaian di ranah publik dan privat”.
Sudah tentu Kapal Perempuan tidak merayakan hari jadinya ke 16 seperti seorang gadis remaja, melainkan dengan refleksi mengenai apa yang telah dicapai selama reformasi, terutama dalam kaitannya dengan nasib perempuan.
Perjuangan perempuan masih berat
Memang di zaman reformasi telah terjadi beberapa kemajuan. Berbagai organisasi didirikan untuk membela kepentingan perempuan, dengan kategorisasi yang jauh lebih inklusif, misalnya perempuan lesbian, biseksual dan transeksual (LBT).
Begitu juga dalam perundang-undangan, meski dalam implementasi masih sangat kurang. Perempuan aktivis sebagian menjadi anggota lembaga legislatif dan pemerintahan, sehingga kesenjangan antara kalangan aktivis dan negara tidak menjurang seperti di masa Orde Baru.
Namun acara yang mempertemukan tiga generasi perempuan ini menyimpulkan bahwa perjuangan perempuan masih sangat berat.
Represi terhadap perempuan dan gerakan perempuan tetap ada, dan dalam beberapa kasus bahkan semakin parah. Demikian juga kekerasan dan diskriminasi berdasarkan jender maupun agama; perkawinan usia muda, terpuruknya perempuan dalam hukum adat dan di wilayah konflik, penghujatan terhadap kaum LGBT, menguatnya politik identitas, serta kemiskinan yang semakin akut. Represi terhadap kebebasan ekspresipun semakin sering terjadi, terutama pembubaran terhadap diskusi atau acara yang menyangkut seksualitas, dan tragedi 1965-1966.
Pemberangusan perempuan atas nama agama
Bila di zaman Orde Baru terdapat ideologi “ibuisme negara” yang membatasi peran perempuan sebagai “pendamping suami”, maka di zaman reformasi, represi terhadap tubuh, seksualitas, cara berpakaian dan ruang gerak perempuan dilakukan atas nama Islam.
Islam ini pulalah yang menjadi pembenaran terhadap represi dan kekerasan terhadap aliran atau agama lain. Celakanya, negara malah tunduk pada kekuatan konservatif yang ironisnya dimungkinkan muncul kembali dengan proses desentralisasi yang menjadi salah satu landasan reformasi.
Apakah reformasi sudah mati? Alangkah paradoksalnya gerakan demokrasi yang dicanangkan pada tahun 1998 malah seperti hendak melakukan bunuh diri.
Semoga tidak demikian. Tapi yang pasti, perjalanan masih panjang, dan perjuangan perempuan – sejalan dengan perjuangan demokrasi Indonesia – tampaknya semakin memasuki wilayah yang penuh onak dan duri.
Penulis:
Julia Suryakusuma adalah pengamat sosial-politik, penulis, kolumnis, dan intelektual publik Indonesia yang membahas berbagai isu sosial, politik, budaya, agama, gender, seksualitas dan lingkungan hidup. Karyanya yang dianggap paling berpengaruh adalah "State Ibuisme/Ibuisme Negara". Ia juga menulis beberapa buku lainnya, yang terakhir adalah "Julia's Jihad"(2013), antologi kolomnya di harian The Jakarta Post.
Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Surga bagi Kaum Hawa
Inilah negara-negara yang memberi tempat tinggi bagi perempuan, dalam segi hak asasi, kesetaraan gender dan upah, keamanan dan kemajuan bagi kaum perempuan.
Foto: Fotolia/paul prescott
#7. Jerman
Dari segi hak asasi, kesetaraan gender dan upah, keamanan dan kemajuan bagi kaum perempuan, Jerman menempati posisi ke-tujuh surga kaum hawa sejagad. Jerman juga negara yang memimpin dalam kesetaraan gender di bidang sains. Sejak tahun 2010, jumlah peneliti perempuan naik hingga 25 persen.
Foto: Fotolia/kasto
#6. Selandia Baru
Survei yang dilakukan oleh BAV Consulting and the Wharton School of the University of Pennsylvania ini diikuti oleh ribuan perempuan. Dari segi hak asasi, kesetaraan gender dan upah, keamanan dan kemajuan bagi kaum perempuan, Selandia baru menempati posisi ke-enam.
Foto: Fotolia/XtravaganT
#5. Australia
Dalam beberapa tahun terakhir, perempuan di Australia telah mengambil alih kepemimpinan di sektor akademik, tempat kerja, dan pemerintahan. Di sini, bukan tak mungkin perempuan mempimpin negara. Namun mereka masih terpaksa bekerja ekstra 66 hari untuk mendapat upah setara pria.
Foto: picture-alliance/dpa
#4.Belanda
Kesenjangan gender di Belanda menipis di sektor kesehatan, pendidikan, politik dan ekonomi. Negara mengiming-iming banyak fasilitas dan kemudahan bagi ibu yang baru melahirkan. Sebagian besar ongkos perawatan pasca kelahiran anak juga ditanggung asuransi.
Foto: AP
#3. Kanada
Pemerintah melindungi hak perempuan baik di sektor domestik maupun publik. Namun meski demikian, masih ada catatan bahwa angka pembunuhan pada perempuan keturunan suku asli lebih tinggi dibanding perempuan Kanada pada umumnya.
Foto: Fotolia/Spectral-Design
2#. Swedia
Swedia membuat kemajuan amat progresif dalam hal kesetaraan laki-laki dan perempuan. Jika sebelumnya perempuan di negara itu pernah menjadi kelompok terpinggirkan, kini pemerintah setempat mengambil langkah untuk meredam perbedaan itu.
Foto: Fotolia/Kaponia Aliaksei
#1.Denmark
Meski pajaknya tinggi, matahari pelit bersinar di musim dingin, perempuan Denmark tetap bisa membuat iri perempuan-perempuan dari negara lain. Denmark menjadi surga dunia nomor satu bagi kaum hawa, di antaranya lewat program fasilitas perawatan anak yang disesuaikan dengan pendapatan. Kemudahan lainnya juga didapat orangtua yang baru punya bayi dalam mengambil cuti untuk merawat anak.