1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
TerorismeIndonesia

Trauma Korban Setelah 20 Tahun Bom Bali

Rahka Susanto | Sharon Margriet Sumolang
12 Oktober 2022

20 tahun lalu, serangan terorisme terjadi di Bali. Dua dasawarsa berlalu, peristiwa itu masih menyisakan luka dan traumatisme bagi korban. Lalu bagaimana upaya kontraterorisme di Indonesia?

Dampak ledakan bom Bali 2002
Bom Bali pada 2002 telah menewaskan 202 orang, dan menyebabkan 209 korban luka-luka. Serangan teroris ini juga memukul sektor pariwisata BaliFoto: Oka Budhi/dpa/AFP/picture-alliance

20 tahun berlalu, namun trauma dari peristiwa bom Bali masih melekat kuat di benak Thiolina Ferawati Marpaung yang menjadi saksi mata sekaligus korban dari ledakan bom bali pada 12 Oktober 2002. Malam itu, perempuan yang akrab disapa Lina tengah melintas di kawasan Legian untuk menikmati pariwisata pulau dewata. Tak disangka bom meledak sebanyak tiga kali di dekatnya, peristiwa itu pun menjadi kenangan pahit baginya.

"Setelah 20 tahun sesungguhnya trauma itu masih belum selesai. Jadi ketika kejadian pertama, banyak trauma yang terjadi kepada saya. Terutama sekali Jalan Legian itu tempat itu, kemacetan, suara sirine, rumah sakit, bau rumah sakit, kumpulan orang-orang, bau asap,” ungkap Lina kepada DW.

Bau asap dan traumatisme

Tidak mudah bagi Lina untuk dapat berdamai dengan peristiwa bom Bali. Bahkan aksi terorisme yang terjadi dua dasawarsa lalu itu masih menyisakan trauma mendalam.

" Jadi misal pagi-pagi saya cium bau asap, saya langsung agak-agak enggak waras. Lalu saya harus cari asap di mana, karena di dalam kepala ada kata, ‘Bom. Bom.' Ternyata ketika saya tau itu sampah yang dibakar, saya langsung bisa sedikit nyaman. Tapi itu pun saya harus cari cara menenangkannya, minum. Jadi saya masih ada satu trauma ketinggalan,” paparnya.

Thiolina Marpaung mengaku masih memiliki trauma untuk melintasi kawasanLegian di malam hari. Dalam benaknya, meski 20 tahun berlalu, ledakan bom masih membekas hingga sekarangFoto: Prita Kusumaputri/DW

Selain rasa trauma, bom Bali juga merenggut kesehatannya. Serpihan kaca dari ledakan bom telah mempengaruhi penglihatan Lina. Ia menyebut " Sampai hari ini juga, dua mata saya harus saya cek setiap dua bulan sekali. Seperti sekarang ini saya banyak depan laptop udah pegal.”

Untuk membantu matanya beraktivitas dengan normal, Lina harus menjalani operasi transplantasi lensa. Ia menyebut "bentuk dua bola mata saya enggak sempurna, tapi saya masih bisa lihat.”

Tidak sakit hati, namun tak bisa terima

Di tengah peringatan ledakan bom Bali yang terjadi selama dua dasawarsa, isu pembebasan bersyarat narapidana terorisme, Umar Patek menjadi sorotan berbagai pihak, termasuk Lina sebagai korban, "kalau dengar Umar Patek mau dibebaskan, mau diberikan kebebasan bersyarat, saya sangat sedih.”

"Kalau dibilang sakit hati, aku tak sakit hati untuk itu. Tapi aku tak bisa menerima. Jadi mungkin ada yang keliru di dalam aturan-aturan yang sudah ditetapkan di negara kita ini. Mungkin itu harus direview kembali dan lihat, analisa,” tegas Lina.

Di sisi lain, Pengamat Terorisme, Muhammad Syauqillah menilai pembebasan bersyarat Umar Patek dapat berdampak besar pada keselamatan diri dari Umar Patek sendiri. "Ketika ada satu narapidana terorisme mengajukan pembebasan bersyarat (karena proses deradikalisasi), sebetulnya dia sudah berani terhadap jaringan lamanya dan jaringan lain, yang mengklaim itu perbuatan yang haram.”

Bagaimana penanggulangan terorisme di Indonesia dewasa ini?

Pascaledakan bom Bali, pemerintah Indonesia terus berupaya untuk menanggulangi terorisme. Syauqillah menyebut dalam beberapa waktu terakhir penanganan terorisme di Indonesia sudah berhasil mencapai fokus dari aksi terorisme itu muncul. Kepada DW, Syauqillah memaparkan "Kalau kita lihat lima tahun belakangan, sebenarnya kasusnya tidak begitu masif seperti 2010 ke bawah.” Upaya menekan tindak terorisme tidak lepas dari hadirnya UU nomor 5 tahun 2018 mengenai pencegahan terorisme.

Meski demikian, Ia menyebut tindak terorisme di Indonesia masih menjadi ancaman hingga saat ini. "Karena ada ideologi yang masih terus berkembang, ada pelaku yang gandrung akan ideologi tersebut, dan juga ada pemantik isu transnasional karena organisasi ini, kan, lintas batas.” Ia juga menambahkan sinergitas antar Lembaga perlu diperkuat untuk menghadapi aksi terorisme.

Tantangan lainnya dari upaya kontra-terorisme adalah literasi digital. Syauqillah memaparkan upaya digital literasi pada masyarakat ini sebagai pekerjaan yang "sangat berat.” Pendekatan literasi digital hematnya dapat dilakukan dengan kampanye narasi yang masif oleh pemerintah dan memberdayakan masyarakat untuk mengkontra pandangan-pandangan ekstrem.

(sm/rs/ap)