20 Tahun Invasi AS di Irak: Harapan Berujung Tragedi
15 Maret 2023
Cuma butuh tiga pekan bagi aliansi Barat untuk menggulingkan diktator Irak Saddam Hussein pada 2003. Namun, apa yang terjadi kemudian adalah kehancuran dan pertumpahan darah selama dua dekade.
Iklan
Ketika aliansi Barat menggulingkan Saddam Hussein pada 2003, Adel Amer merayakan apa yang diyakininya sebagai kebebasan dan berakhirnya isolasi internasional.
"Saya menari seperti orang gila dan sempat tidak percaya bahwa Saddam sudah dijatuhkan. Saya merasa seperti burung yang terbebas dari kandang". Adel adalah seorang desertir perang.
Dia menolak bertaruh nyawa demi Saddam yang memerintahkan invasi terhadap Iran pada akhir 1980an. Banyak pula yang mengambil langkah serupa dalam invasi Irak terhadap Kuwait
"Saya sadar bisa dihukum mati jika tertangkap. Tapi bertahan hidup tetap lebih baik, meski hanya sementara dan saya melakukannya. Sebab itu saya masih hidup hingga hari ini,” kata pria berusia 62 tahun itu.
Adel dibenci oleh tetangga dan bekas rekan sejawat di dinas kemiliteran. Namun, tidak ada yang berani mengadukannya ke kepolisian karena tahu ancaman eksekusi mati. "Saya banyak menderita dan terkadang, saya berpikir untuk bunuh diri.”
Iklan
Demokratisasi berdarah di Irak
Presiden AS saat itu, George W. Bush, memerintahkan serangan udara secara masif pada 20 Maret 2003, dengan klaim bahwa rezim Saddam memiliki senjata pemusnah massal. Tuduhan itu tidak pernah bisa dibuktikan.
Potret Kepulangan Keluarga Irak yang Diusir ISIS
Fotografer Khalid Al Mousily memotret kepulangan keluarga Ahmad yang diusir oleh ISIS. Meski sulit, penduduk kota cepat membangun kehidupan di antara puing-puing kota.
Foto: Reuters/K. Al-Mousily
Terbangun dari Mimpi Buruk
Ketika Mosul dibebaskan dari cengkraman kelompok teror ISIS pada Oktober 2017 silam, kota di utara Irak itu nyaris rata dengan tanah. Namun demikian perlahan sebagian penduduk yang terusir mulai kembali. Fotografer Khalid Al-Mousily menemani keluarga Mohammed Saleh Ahmad saat pulang ke kampung halaman yang menyimpan segudang ingatan, baik dan buruk.
Foto: Reuters/K. Al-Mousily
Antara Perpisahan dan Kepulangan
Ketika Mohammed Saleh Ahmed (ki.) ingin memulai perjalanan ke Mossul, ia disergap perasaan campur aduk. Meski senang bisa kembali ke kota kelahiran, ia juga sedih karena harus meninggalkan persahabatan yang dirajut bersama penghuni kamp pengungsi. Bersama merekalah, para penyintas perang Mossul itu, Ahmed bisa berdamai dengan situasinya di pelarian.
Foto: Reuters/K. Al-Mousily
Satu Tahun di Kamp
Kamp pengungsi Al-Hammam al-Alil di selatan Mosul dibangun ketika koalisi bentukan Amerika Serikat mulai menyerbu benteng pertahanan ISIS di bagian barat kota. Kelompok pimpinan Abu Bakar al-Baghdadi itu merebut Mosul pada 2014 dan memaksa penduduk tunduk pada kekuasaan absolut sang khalifat.
Foto: Reuters/K. Al-Mousily
Awal Kehidupan Baru
Setahun silam keluarga Ahmad mengubur harapan bisa pulang ke Mosul dalam waktu dekat. Namun ketika ditawarkan kesempatan buat kembali, ia tidak berpikir panjang dan segera mengemas perabotan dan barang pribadi keluarganya. Hanya selang beberapa hari tetangga dan saudara membantu memuat barang di dalam truk kecil yang membawa mereka menjemput kehidupan baru.
Foto: Reuters/K. Al-Mousily
Puing dan Reruntuhan
Setelah kehancuran ISIS, bagian barat Mosul menjelma menjadi puing-puing dan reruntuhan. Mohammed (Ki.) terkejut melihat nasib kota kelahirannya itu. "Saya tidak bisa lagi mengenali apapun," ujarnya ketika berjalan bersama adiknya, Ahmed, melalui jalan utama di Mosul.
Foto: Reuters/K. Al-Mousily
Kesederhanaan adalah Kemewahan
Setibanya di rumah lama, isteri Mohammed, Iman, segera menyiapkan makan malam keluarga. Meski sederhana, kehidupan di Mosul dirasakan jauh lebih baik ketimbang di kamp pengungsi.
Foto: Reuters/K. Al-Mousily
Normalisasi Lewat Komedi Putar
Mohammed cepat menyesuaikan kehidupan di Mosul. Ia mendapat pekerjaan di perusahaan konstruksi milik pamannya. Normalisasi kehidupan pasca ISIS berlangsung lebih cepat dari yang diduga. Mohammed sekarang sudah mulai berpergian ke salon, menemani isteri belanja atau mengajak anak-anaknya ke taman bermain yang baru dibuka.
Foto: Reuters/K. Al-Mousily
7 foto1 | 7
Serangan udara pasukan koalisi disusul invasi darat oleh serdadu AS dan Inggris yang mencapai klimaks pada 9 April, yakni kejatuhan ibu kota Baghdad yang terkulminasi pada penggulingan patung Saddam Hussein.
Saddam baru ditangkap pada bulan Desember, saat bersembunyi di sebuah lubang di dekat kota Tikrit. Dia diadili dan dieksekusi mati sebelum pergantian tahun.
Apa yang kemudian terjadi lebih menyerupai kisah horor, mulai dari perang berdarah di Fallujah, kejahatan HAM di penjara Abu Ghraib, perang saudara antara Sunni dan Syiah, hingga invasi Islamic State yang pada 2015 menduduki separuh negeri.
Petaka berkepanjangan
Jika dulu rezim Saddam merupakan satu-satunya sumber ancaman, kini petaka datang dari mana-mana, kata Adel Amer.
Mengenang 40 Tahun Perang Iran vs Irak
Perang Iran-Irak jadi salah satu konflik militer terkelam di Timur Tengah. Berlangsung delapan tahun menjadi saksi penggunaan senjata kimia, tewasnya ratusan ribu orang, serta mengubah wilayah dan situasi politik global.
Foto: picture-alliance/Bildarchiv
Konflik teritorial
Pada 22 September 1980, diktator Irak Saddam Hussein mengirim pasukannya ke negara tetangga Iran. Ini jadi awal mula perang mematikan selama delapan tahun yang menewaskan ratusan ribu orang. Konflik perbatasan wilayah berlarut-larut jadi pemicu perselisihan dua negara mayoritas Muslim Syiah ini.
Foto: defapress
Perjanjian Aljazair
Lima tahun sebelumnya, pada Maret 1975, Saddam Hussein, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden Irak, dan Raja Iran saat itu Shah Pahlevi menandatangani perjanjian di Aljazair, untuk menyelesaikan sengketa perbatasan. Baghdad menuduh Teheran merencanakan serangan dan memutuskan mengevakuasi tiga pulau strategis di Selat Hormuz, yang diklaim milik Iran dan UEA.
Foto: Gemeinfrei
Sumber air
Pada 17 September 1980, Baghdad menyatakan Perjanjian Aljazair batal demi hukum dan menuntut kendali atas semua wilayah perbatasan Shatt al-Arab, sungai sepanjang 200 kilometer pertemuan sungai Tigris dan Sungai Efrat yang bermuara di Teluk Persia.
Foto: picture-alliance/AP Photo/N. al-Jurani
Pemboman pelabuhan dan kota
Pasukan Irak meledakkan bandara Iran, termasuk yang ada di Teheran, serta fasilitas militer dan kilang minyak Iran. Pada pekan pertama pasukan Irak berhasil merebut kota Qasr-e Shirin dan Mehran, serta pelabuhan Khorramshahr di barat daya Iran, di mana posisi Sungai Shatt al-Arab bermuara.
Foto: picture-alliance/Bildarchiv
Musuh bersama
Banyak negara Teluk, termasuk Arab Saudi dan Kuwait, mendukung Baghdad dalam perang melawan Iran. Hal ini didasari kekhawatiran atas perlawanan Syiah di Timur Tengah yang dipelopori oleh Ayatollah Khomeini dalam Revolusi Iran. Negara-negara Barat juga mendukung Baghdad dan menjual senjata kepada Saddam Hussein.
Foto: Getty Images/Keystone
Dipukul mundur Iran
Serangan balik Iran mengejutkan Irak ketika Teheran berhasil menguasai kembali pelabuhan Khorramshahr. Baghdad mengumumkan gencatan senjata dan menarik kembali pasukannya, tetapi Teheran menolaknya dan terus membom kota-kota Irak. Sejak April 1984, kedua belah pihak terlibat dalam "perang kota", di mana sekitar 30 kota di kedua belah pihak dihujani serangan rudal.
Foto: picture-alliance/dpa/UPI
Penggunaan senjata kimia
Salah satu yang jadi sorotan dalamperang ini adalah penggunaan senjata kimia. Teheran pertama kali melontarkan tuduhan tahun 1984 - dikonfirmasi oleh PBB - dan juga pada tahun 1988. Juni 1987, pasukan Irak menjatuhkan gas beracun di kota Sardasht, Iran. Maret 1988, Iran mengklaim Baghdad menggunakan senjata kimia kepada penduduk sipilnya di kota Halabja di utara Irak yang dikuasai Iran.
Foto: Fred Ernst/AP/picture-alliance
Gencatan senjata
Pada 18 Juli 1988, Khomeini menerima resolusi Dewan Keamanan PBB untuk mengakhiri perang. Meskipun jumlah pasti dari mereka yang tewas dalam perang tidak diketahui, sedikitnya 650.000 orang tewas dalam perang tersebut. Gencatan senjata diumumkan pada 20 Agustus 1988.
Foto: Sassan Moayedi
Lembaran baru
Penggulingan rezim Saddam Hussein oleh AS pada tahun 2003 membuka era baru di Timur Tengah. Hubungan antara Irak dan Iran telah membaik sejak saat itu dan kedua negara meningkatkan kerjasamanya dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya. (Ed: rap/hp)
Foto: picture-alliance/AP Photo/K. Mohammed
9 foto1 | 9
Kehidupannya membaik usai bekerja di sebuah perusahaan konstruksi asing pada 2010. Tiga tahun kemudian, dia ditangkap sekelompok milisi bersenjata dan dipukuli hingga babak belur.
"Mereka bilang saya tidak boleh bekerja untuk perusahaan Amerika Serikat karena pekerjaan itu menjadikan saya sebagai seorang mata-mata,” ujarnya.
"Bagi saya sulit menerima situasi ini. Saya tidak menderita di bawah rezim Saddam untuk lalu kehilangan keluarga di tangan teroris … hanya karena saya mengimpikan hidup yang lebih baik.”
Dia tetap bercita-cita meninggalkan Irak dan melanjutkan hidup dengan tenang di tempat lain. "Saya dulu harus bersembunyi di bawah rezim Saddam Hussein, dan sekarang saya lagi-lagi harus bersembunyi,” imbuhnya.
"Sebelum Invasi AS, hanya ada satu orang Saddam. Sekarang jumlahnya banyak.”