Demokrasi di negeri ini menampakkan wajahnya yang paling muram, ketika figur-figur yang menguasai arena publik, tak kunjung berganti memasuki dua dekade reformasi. Opini Aris Santoso.
Iklan
Menjelang huru-hara pertengahan 1998, yang kemudian dikenal sebagai Peristiwa Mei 1998, tokoh yang acapkali muncul di media adalah Jenderal Wiranto (selaku Panglima TNI) dan Letjen Prabowo Subianto (selaku Pangkostrad dan Danjen Kopassus).
Kini dua wajah itu masih masih juga sering kita lihat, bahkan khusus untuk Prabowo, durasinya kemungkinan akan lebih panjang lagi. Prabowo akan maju lagi sebagai capres pada Pilpres 2019. Daftar ini masih bisa ditambah lagi dengan nama-nama "vintage” lain, seperti Luhut B. Panjaitan (Menko Maritim), Hendro Priyono (king maker rezim Jokowi), Mas Tommy (Soeharto), dan seterusnya
Sejarah seperti berulang. Bila di masa Orde Baru kita sulit meramalkan kapan kekuasaan Soeharto akan berakhir. Hari ini kita terantuk pada pertanyaan yang sama: kapan figur-figur super senior seperti Wiranto, Hendro Priyono dan seterusnya, akan surut dari panggung kekuasaan. Bila tidak segera pamit, kita akan melihat fenomena unik politik Indonesia mutakhir, bagaimana predikat sebagai "petahana” di ruang publik bisa berlanjut sepanjang hayat.
Rakyat tak berdaya
Prabowo adalah salah satu kasus, bahwa memang ada segelintir orang yang begitu dimanjakan sejarah. Dengan segala kompleksitas masalahnya di masa lalu, sejarah masih terus memberi kesempatan pada Prabowo, dan figur vintage lainnya, untuk terus menyusuri lorong waktu yang seakan tiada batas. Sementara di sisi lain, arus bawah masyarakat kita terbiasa permisif menghadapi perilaku orang-orang besar.
Upaya trah Cendana untuk kembali memasuki arena politik, melalui partai yang baru saja diloloskan KPU, yaitu Partai Berkarya, bisa menjelaskan soal bagaimana permisifnya masyarakat kita, dan situasi ini dipahami benar oleh trah Cendana. Keluarga Cendana juga tahu, bahwa suara rakyat bisa direkayasa (baca: dibeli), sehingga dengan dukungan dana tak terbatas, mereka percaya diri untuk masuk kembali ke panggung politik Tanah Air.
Tetap bertahannya figur seperti Prabowo, atau lancarnya proses kebangkitan trah Cendana, memang karena ada pihak yang berperan menciptakan kondisi seperti itu. Dalam pengamatan saya, pihak yang berperan adalah apa yang biasa disebut sebagai kurir (broker) atau caraka, yang mengemban tugas sebagai messenger (penyampai pesan) elite politik, khususnya di Jakarta.
Sudah bisa dipastikan, figur sekelas Prabowo, Wiranto, Hendro Priyono, Mas Tommy dan seterusnya, tidak mungkin berhubungan langsung dengan rakyat, kecuali bagi kegiatan yang bersifat seremonial. Pada titik inilah diperlukan peran caraka, untuk mengemas dan mengirim, kehendak segenap figur berpengaruh tersebut, kepada kelompok sasaran, dalam hal ini rakyat kebanyakan, termasuk logistik pendukungnya, agar proyek penyampaian pesan berjalan mulus.
Dalam bahasa yang lebih singkat, aktualitas kehadiran tokoh-tokoh lama tersebut sebenarnya meragukan, sebab tidak ada jaminan akan selaras dengan aspirasi rakyat. Realitas ini sekadar penegasan dari adagium yang menyatakan, bahwa sejarah ditulis oleh orang-orang besar. Sementara rakyat dengan segala keterbatasannya, senantiasa berada di tubir ketidakpastian nasib, termasuk dalam soal penyampaian aspirasi.
Siapa Calon Pemimpin Indonesia?
Hasil survey Saiful Mujani Research Centre belum banyak mengubah peta elektabilitas tokoh politik di Indonesia. Siapa saja yang berpeluang maju ke pemilu kepresidenan 2019.
Foto: Imago/Zumapress
1. Joko Widodo
Presiden Joko Widodo kokoh bertengger di puncak elektabilitas dengan 38,9% suara. Popularitas presiden saat ini "cendrung meningkat," kata Direktur Eksekutif SMRC Djayadi Hanan.
Foto: Reuters/Beawiharta
2. Prabowo Subianto
Untuk sosok yang sering absen dari kancah politik praktis pasca pemilu, nama Prabowo masih mampu menarik minat pemilih. Sebanyak 12% responden mengaku akan memilih mantan Pangkostrad itu sebagai presiden RI.
Foto: Reuters
3. Anies Baswedan
Selain Jokowi dan Prabowo, nama-nama lain yang muncul dalam survey belum mendapat banyak dukungan. Gubernur terpilih DKI Jakarta, Anies Baswedan, misalnya hanya mendapat 0,9%.
Foto: Reuters/Antara Foto/M. Agung Rajasa
4. Basuki Tjahaja Purnama
Nasib serupa dialami bekas Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama. Sosok yang kini mendekam di penjara lantaran kasus penistaan agama itu memperoleh 0,8% suara. Jumlah yang sama juga didapat Wakil Presiden RI Jusuf Kalla.
Foto: Getty Images/T. Syuflana
5. Hary Tanoesoedibjo
Pemilik grup MNC ini mengubah haluan politiknya setelah terbelit kasus hukum berupa dugaan ancaman terhadap Kepala Subdirektorat Penyidik Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Yulianto. Hary yang tadinya beroposisi, tiba-tiba merapat ke kubu Presiden Joko Widodo. Saat inielektabilitasnya bertengger di kisaran 0,6%
Foto: picture-alliance/AP Photo/A. Ibrahim
6. Agus Yudhoyono
Meski diusung sebagai calon pemimpin Indonesia masa depan, saat ini popularitas Agus Yudhoyono masih kalah dibanding ayahnya Soesilo Bambang Yudhoyono yang memperpoleh 1,9% suara. Agus yang mengorbankan karir di TNI demi berpolitik hanya mendapat 0,3% dukungan.
Foto: Getty Images/AFP/M. Naamani
7. Gatot Nurmantyo
Jumlah serupa didapat Panglima TNI Gatot Nurmantyo yang belakangan terkesan berusaha membangun basis dukungan. Nurmantyo hanya mendapat 0,3%. Meski begitu tingkat elektabilitas tokoh-tokoh ini akan banyak berubah jika bursa pencalonan sudah mulai dibuka, klaim SMRC.
Sudah ramai menjadi wacana publik, bahwa kontestasi dalam Pilpres 2019, akan kembali diikuti oleh petahana Presiden Jokowi, dan (lawan abadinya) Prabowo. Menjadi tugas sejarah bagi Jokowi atau Prabowo, seandainya terpilih sebagai presiden untuk mengembalikan kembali martabat rakyat (jelata), yang aksesnya pada sumberdaya ekonomi dan politik sudah dibatasi sejak rezim Orde Baru.
Problem utama rakyat adalah kemiskinan akut, sementara di tempat lain ada segelintir orang dengan kekayaan yang sangat fantastis, meski didapat dari hasil korupsi. Untuk menjelaskan polarisasi kaya-miskin, tidak perlu lagi penjelasan berlembar-lembar naskah, kita langsung lihat saja di lapangan, sehingga data kuantitatif menjadi soal nomor dua.
Sejak masih kampanye, Presiden Jokowi sudah mengintrodusir konsep revolusi mental, sebagai salah satu cara meredam kecenderungan perilaku tamak pada (sebagian) masyarakat kita, namun belum jelas hasilnya sampai sekarang. Perkara korupsi dan kemiskinan ibarat kutukan bagi setiap rezim di negeri ini. Rakyat seolah mendapat kesialan ganda, sudah hidupnya tertatih-tatih, masih pula menyaksikan para pejabat publik ditangkap KPK setiap waktu.
Keberadaan lembaga negara seperti UKP-PIP (Unit Kerja Presiden Pembinanaan Ideologi Pancasila) diharapkan bisa merumuskan bagaimana meredam kerakusan pejabat publik, melalui implementasi konkret ideology Pancasila. Pejabat publik umumnya belum puas hanya dengan predikat hidup berkecukupan atau sejahtera, mereka ingin status lebih dahsyat lagi, yaitu kaya-raya. Terlebih dengan ditingkatkannya status UKP-PIP menjadi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, kiranya lembaga ini bisa juga berfungsi penindakan, seperti satuan provost di lingkungan militer, sebagai unit penegak disiplin pejabat publik yang bebal.
Bambang Soesatyo, Pemilik Kursi Panas Warisan Setya Novanto
Bambang Soesatyo telah resmi menjadi Ketua DPR yang baru menggantikan Setya Novanto, yang terjerat kasus mega korupsi KTP elektronik. Berikut rekam jejaknya.
Foto: picture-alliance/dpa/Bagus Indahono
Dari Wartawan Hingga Ketua DPR
Bambang Soesatyo yang ditunjuk Partai Golkar untuk menggantikan Setya Novanto resmi dilantik sebagai ketua DPR (15/01/18). Sebelum terjun ke politik, ia pernah menjadi Pemred Majalah INFO BISNIS (1991) dan Pemred Harian Umum Suara Karya (2004). Ia kemudian bergabung dengan Partai Golkar tahun 2008 dan masuk parlemen tahun 2009 mewakili daerah Purbalingga, Banjarnegara dan Kebumen, Jawa Tengah.
Foto: jakartaglobe.id
Trio SBY
Pada periode awal di parlemen, Bamsoet dijuluki anggota trio SBY, singkatan dari Sudding, Bamsoet, dan Yani. Julukan ini merujuk kepada Sarifuddin Sudding (Hanura) dan Ahmad Yani (PPP). Sepak terjang trio SBY yang menonjol adalah saat 'menggagalkan' Ruhut Sitompul (Partai Demokrat) menjadi Ketua Komisi III DPR.
Foto: AP
Biang berita
Persatuan Wartawan Indonesia Jakarta Raya menyebut Bamsoet „biang berita“. Namanya ramai di media sebab ia adalah anggota dari Tim 9, yakni anggota DPR yang menginisiasi terbentuknya Panita Khusus Hak Angket Bank Century. Skandal ini sarat kepentingan politik. Sejumlah nama penting sempat diperiksa dalam kasus bailout itu, termasuk Boediono, mantan gubernur BI yang jadi wakil presiden saat itu.
Foto: Getty Images/AFP/V. Maximov
Ada Century di guratan tinta Bamsoet
Mantan wartawan itu menerbitkan delapan buku sejak tahun 2009. Sebagian fokus membahas Century, seperti: Skandal Gila Bank Century(2010) dan Skandal Bank Century di Tikungan Terakhir Pemerintahan SBY-Boediono (2013). Ia juga mengeritik orang di sekitar SBY melalui buku berjudul: "Presiden dalam Pusaran Politik Sengkuni". Di era Jokowi ia menulis 'Republik Komedi 1/2 Presiden' (2015).
Foto: Fotolia/air
Bersaksi di Tipikor
Mantan Ketua Komisi III itu pernah beberapa kali diperiksa KPK dalam kasus korupsi simulator di Korps Lalu Lintas Polri pada 2013. Kala itu ia membantah terlibat. Bamsoet juga pernah dipanggil bersaksi dalam kasus korupsi e-KTP untuk tersangka dari pihak swasta, Anang Sudihardjo, namun ia absen. Bamsoet turut menggagas Panitia Hak Angket yang dibentuk saat KPK menyidik kasus korupsi e-KTP.
Foto: picture-alliance/dpa/Mast Irham
Mobil mewah di garasi
Politisi kelahiran Jakarta (1962) itu hobi mengoleksi mobil berharga miliaran rupiah seperti Bentley, Hummer dan Jeep. Untuk berangkat kerja, Bamsoet mengaku lebih suka menaiki Jeep. "Apakah menjadi patokan memiliki mobil seperti itu, lantas anggota DPR tersebut malas atau tidak perduli pada perjuangan kepentingan publik," ujarnya saat hobinya dikritik. Ed: ts/hp (Antara, Tempo, Kompas.com)
Foto: FCA US LLC
6 foto1 | 6
Masa depan anak-anak rakyat jelata
Salah satu opsi yang bisa diambil anak-cucu rakyat jelata, agar bisa meningkatkan posisi tawar di hadapan penguasa yang senantiasa abai terhadap nasib orang tua mereka, adalah dengan memasuki pendidikan kedinasan, seperti Akmil, AAU, AAL dan seterusnya. Harus diakui, pendidikan seperti Akmil, memiliki reputasi meyakinkan dalam membentuk karakter seseorang. Selain itu dengan menjadi perwira, setidaknya nasib mereka bisa sedikit terangkat
Prasyarat yang harus dipenuhi generasi penerus rakyat jelata, ketika memasuki dunia militer adalah, kesiapan mental dalam kompetisi karier menghadapi perwira-perwira lain yang berlatar belakang elite militer juga. Kalau soal kecerdasan, saya sendiri percaya banyak anak-anak dari keluarga miskin yang pintar, termasuk dalam hal potensi kepemimpinan (leadership).
Benar, memilih karier sebagai perwira bagi generasi penerus rakyat jelata hanyalah salah satu opsi. Namun satu hal yang pasti, ini pilihan yang dijamin aman, sebab kalau melalui jalur sipil, saya khawatir mereka akan tenggelam ditelan rimba politik kita yang absurd.
Di dunia sipil, perilaku oknum lembaga negara maupun parpol (termasuk ormas) sangat mencemaskan. Jangan-jangan mereka justru terkena masuk jebakan lingkaran setan, berupa kesialan tiada akhir, karena terbawa arus petualangan para kurir atau broker politik, yang selama ini sudah memperdaya orang tua mereka.
Penulis:
Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis
Jokowi Blusukan di Papua
Presiden Joko Widodo membawa Ibu Negara Iriana dan sejumlah menteri dalam kunjungan kerja ke Papua. Ini adalah kedelapan kalinya Jokowi melawat ke provinsi di ufuk timur tersebut.
Foto: Laily Rachev/Biro Pers Setpres
Delapan Kali di Papua
Selama lima jam Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana Widodo menumpang pesawat kepresidenan ke Papua. Ini adalah kali ke-delapan presiden mengunjungi provinsi di ufuk timur Indonesia itu sejak dilantik Oktober 2014 silam.
Foto: Laily Rachev/Biro Pers Setpres
Sertifikat Tanda Kemakmuran
Dalam kunjungannya kali ini presiden mendapat agenda ketat. Setibanya di Jayapura, Jokowi dijadwalkan menyerahkan 3.331 sertifikat hak atas tanah kepada penduduk setempat. Ia berpesan agar penduduk menyimpan dokumen penting tersebut dengan aman. "Dimasukkan ke plastik, difotokopi, jadi kalau hilang ngurus-nya lebih gampang," ujar Presiden.
Foto: Laily Rachev/Biro Pers Setpres
Kepemilikan Permudah Pinjaman
Penyerahan sertifikat tanah dinilai penting sebagai pondasi kemakmuran. Kini penduduk bisa menggunakan sertifikat tersebut untuk menambah pinjaman usaha. "Tapi hati-hati untuk agunan ke bank tolong dihitung, dikalkulasi bisa mencicil, bisa mengembalikan ndak setiap bulan? Kalau ndak, jangan," ucap Presiden.
Foto: Laily Rachev/Biro Pers Setpres
Sertifikat Kurangi Konflik Tanah
Tahun 2017 silam pemerintah membagi-bagikan 70.000 sertifikat kepada penduduk Papua. Tahun ini Badan Pertanahan Nasional menargetkan penyerahan 20.000 sertifikat tanah tambahan.
Foto: Laily Rachev/Biro Pers Setpres
Rombongan Menteri di Jayapura
Selain presiden dan ibu negara, rombongan kenegaraan ini juga dihadiri Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Sofyan Djalil, Menteri Seketaris Negara Pratikno, Menteri PU dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono dan Menteri Kesehatan Nila Moeloek.
Foto: Laily Rachev/Biro Pers Setpres
Blusukan Infrastruktur
Selain bertemu penduduk, rombongan presiden juga dijadwalkan mengunjungi sejumlah proyek infrastruktur vital, antara lain Pasar Mama Mama yang khusus dibangun buat kaum perempuan dan jembatan Holtekamp di atas Teluk Youtefa.
Foto: Laily Rachev/Biro Pers Setpres
Jembatan Memangkas Jarak
Jembatan sepanjang 732 meter ini menghubungkan Jayapura dengan Muara Tami. Keberadaan jembatan di atas Teluk Youtefa memangkas waktu perjalanan dari yang semula 2.5 jam menjadi hanya satu jam saja.