Bila Jokowi benar adalah sosok yang mendahulukan rakyat sebelum yang lain-lain, kenapa ia berpangku tangan menanti para elite tak bertanggung jawab mengesahkan RKUHP terbaru?
Iklan
Kita tak mengenal Jokowi sebagai pribadi yang otoriter. Setidaknya, kita tak gemar melekatkannya dengan atribut-atribut tersebut. Kita sudah habis menyisihkannya untuk Prabowo—kandidat pesaingnya di Pemilu 2014. Dan Jokowi? Kita memandangnya sebagai sosok yang tak ada bedanya dengan kita. Seorang rakyat yang terpilih untuk melayani kaumnya. Seorang presiden yang hanya ingin bekerja, tak peduli kuasa.
Namun, tebak siapa sosok yang sebelum menjabat di sebuah sistem yang korup merupakan seorang pemuda pemalu, sungkan menatap ke mata lawan bicaranya, dan dianggap sebagai reformis yang akan mendatangkan demokrasi ke negerinya? Bashar al-Assad. Anda mengenalnya juga sebagai Presiden Suriah. Anda mengenalnya sebagai sang pembantai. Sosok despot yang dapat mengorbankan rakyatnya kapan pun ia perlu mempertahankan kekuasaannya. Seseorang yang tega sesumbar ia dapat tidur nyenyak meski tahu ada anak-anak di negaranya yang mati karena manuvernya melibas para milisi musuh.
Kala menghadapi godaan
Tentu saja, Indonesia bukan negeri yang berada di ambang konflik bersenjata dengan besaran yang sama dengan Suriah. Kita tak akan menjumpai sosok Bashar al-Assad kedua — setidaknya dalam waktu dekat. Tapi, ini bukan poin saya. Poin saya adalah: kepribadian hanyalah barikade yang rapuh di hadapan godaan kekuasaan.
Kalau Anda pernah mendengar eksperimen penjara Stanford, temuannya, Anda tahu, merupakan pembenaran telanjang dari poin saya barusan. Para mahasiswa diminta untuk berlaku layaknya sipir penjara dan narapidana, dan mereka ditempatkan di latar yang benar-benar menyerupai penjara. Tak berapa lama, para narapidana mulai membangkang. Para sipir, terganggu harga dirinya, pun menyiksa para narapidana. Yang menakjubkan, mereka benar-benar menyiksanya, seakan mereka lupa bahwa apa yang mereka lakoni tak lebih dari sebuah simulasi, seolah mereka alpa mereka merupakan mahasiswa awam yang memiliki akal sehat.
Kepribadian tak banyak berbicara dalam situasi keruh semacam itu. Adalah otoritas yang korup yang berbicara dengan lantang dan pula menentukan.
Jokowi dan Ilusi Hukuman Mati
Presiden Jokowi menggunakan hukuman mati sebagai jurus andalan dalam perang melawan narkoba. Padahal berbagai studi ilmiah membuktikan hukuman mati tidak mampu menurunkan angka kejahatan. Oleh Rizki Nugraha
Foto: Reuters/Romeo Ranoco
Keyakinan Jokowi
Gigih cara Presiden Joko Widodo membela hukuman mati. Indonesia berada dalam darurat narkoba, dalihnya, meski angka kematian akibat narkoba jauh lebih rendah ketimbang rokok atau akibat kecelakaan lalu lintas. Tapi realitanya hukuman mati adalah hukum positif di Indonesia dan dia yakin, membunuh pelaku bisa menciptakan efek jera buat yang lain. Benarkah?
Foto: Reuters/Olivia Harris
Pepesan Kosong
Studi ilmiah di berbagai negara menyebutkan sebaliknya. Hukuman mati tidak serta merta mampu mengurangi kriminalitas. Sebuah penelitian di Amerika Serikat oleh American Civil Liberties Union bahkan menemukan negara bagian yang menerapkan hukuman mati justru mengalami peningkatan tindak kriminal. Kepolisian AS juga menganggap eksekusi mati sebagai cara paling tidak efektif memerangi kriminalitas
Foto: picture-alliance/AP Photo/K. Sato
Jagal Paling Produktif
Hukuman mati di Indonesia adalah peninggalan era kolonial Belanda. Rajin diterapkan oleh Suharto buat melenyapkan musuh politiknya, hukuman mati kemudian lebih banyak dijatuhkan dalam kasus pembunuhan. Pada era Jokowi pemerintah aktif menggunakan hukuman mati terhadap pengedar narkoba, jumlahnya lebih dari 60 eksekusi, baik yang sudah dilaksanakan atau masih direncanakan.
Cacat Keadilan
Sejak menjabat presiden 2014 silam, Jokowi telah memerintahkan eksekusi mati terhadap lebih dari 60 terpidana. Celakanya dalam kasus terpidana mati Pakistan, Zulifkar Ali, proses pengadilan diyakini berlangsung tidak adil. Ali diklaim mengalami penyiksaan atau tidak didampingi penerjemah selama proses persidangan, tulis Jakarta Post.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Nagi
Bantuan dari Atas
Terpidana mati lain, Freddy Budiman, bahkan mengklaim mampu mengedarkan narkoba dalam skala besar dari dalam penjara berkat bantuan pejabat di kepolisian dan Badan Narkotika Nasional. Sejauh ini tidak satupun pejabat tinggi kepolisian yang pernah diselidiki terkait tudingan semacam itu.
Foto: Getty Images/AFP/B. Nur
Pendekatan Keamanan
Kendati terbukti tidak efektif, pemerintahan Jokowi menjadikan hukuman mati sebagai ujung tombak dalam perang melawan narkoba. Ironisnya pemerintah terkesan belum serius menyelamatkan pengguna dari ketergantungan. Saat ini BNN cuma memiliki empat balai rehabilitasi di seluruh Indonesia.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Irham
Solusi Buntu
Menurut BNN, tahun 2011 kasus penyalahgunaan narkoba mencapai hingga 2,8 juta orang. Angka tersebut naik sebesar 0,21 persen dibandingkan tahun 2008. Tapi kini tingkat penyalahgunaan narkoba diyakini meningkat menjadi 2,8 persen alias 5,1 juta orang. Padahal hukuman mati sudah rajin diterapkan terhadap pengedar narkoba sejak tahun 2004.
Foto: Getty Images/AFP/B. Ismoyo
Uang Terbuang?
Terlebih eksekusi mati bukan perkara murah. Untuk setiap terpidana, Polri menganggarkan hingga 247 juta, sementara taksiran biaya versi Kejaksaan Agung berkisar di angka 200 juta. Artinya untuk 60 terpidana mati yang telah atau masih akan dieksekusi, pemerintah harus mengeluarkan dana hingga 15 milyar Rupiah.
Foto: picture alliance/ZUMA Press/S. Images
Geming Istana
Beberapa pihak bahkan mengatakan satu-satunya yang berhasil dicapai Jokowi dengan mengeksekusi mati pengedar narkoba adalah memancing ketegangan diplomasi dengan negara lain. Namun begitu Jokowi bersikeras akan tetap melanjutkan gelombang eksekusi mati terhadap terpidana narkoba.
Foto: Reuters/Romeo Ranoco
9 foto1 | 9
Dan jangan lupa, ada seorang penguasa masa lalu yang dapat mengingatkan kita dengan ekses godaan kekuasaan. Soeharto, yang tak memperkenankan siapa pun mengkritik keluarganya yang melalap semua kekayaan negaranya dengan kalap, pernah menyampaikan kepada para prajuritnya bahwa seorang pemimpin harus sadar diri, jujur, dan tidak licik. "Kekuasaan pemimpin tidaklah mutlak. Kekuasaan itu bersumber pada kepercayaan yang diberikan anak buah atau rakyat yang dipimpinnya," ujarnya. Dan bagaimanakah Anda mengingat Soeharto saat ini? Sebagaimana sosok yang digambarkannya dalam pidatonya kala menjabat Panglima Komando Daerah Militer Diponegoro pada 1958 di atas? Jelas, tidak.
Soeharto, memang, masih seseorang yang tenang, tak banyak bicara selepas menjabat presiden. Tetapi, semua tahu, ia sudah membuang jauh-jauh kepekaannya untuk mendengarkan siapa pun setelah itu.
Jokowi Dikejar Dosa HAM Hingga ke Eropa
Presiden Joko Widodo membidik kerjasama bisnis untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tapi betapapun sang presiden berusaha menghindar, ia tetap dikejar dosa HAM masa lalu
Foto: Reuters/H. Hanschke
Sambutan Kenegaraan
Jerman mempersiapkan upacara kenegaraan buat menyambut Presiden Indonesia Joko Widodo. Di jantung Eropa dia menyisakan waktu tidak barang sehari. Jokowi terutama membidik kerjasama pendidikan kejuruan buat calon tenaga kerja muda. Dengan cara itu sang presiden ingin menempatkan kualitas sumber daya manusia sebagai pondasi pertumbuhan ekonomi di masa depan.
Foto: DW/R.Nugraha
Dikejar Dosa
Namun Jokowi tidak sepenuhnya bisa melepaskan diri dari isu Lingkungan dan Hak Azasi Manusia. Selama kunjungannya di Berlin sang presiden diiringi aksi demonstrasi berbagai kelompok, antara lain organisasi lingkungan Rettet den Regenwald. Sementara International People Tribunal 65 menyerahkan petisi yang berisikan tuntutan kepada pemerintah untuk menyelesaikan isu HAM masa lalu.
Foto: DW/R.Nugraha
Sentilan Sang Pendeta
Agenda serupa juga menantinya di Istana Bellevue, saat bertemu dengan Presiden Jerman, Joachim Gauck. Gauck yang bekas pendeta itu membahas hak minoritas dan hubungan antar agama di Indonesia. Ia juga menyentil sang presiden ihwal hukuman mati. Jokowi berkilah Indonesia sedang dalam darurat narkoba
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Sohn
Berguru ke Jerman
Setelah bertemu Gauck, Jokowi bergegas menemui Kanselir Angela Merkel yang terpaksa menunggu selama tiga menit di kantor kekanseliran di Berlin. Bersama perempuan paling berkuasa di Bumi itu Jokowi membahas berbagai kerjasama ekonomi, terutama pendidikan vokasi dan juga isu terorisme.
Foto: DW/R.Nugraha
Terjebak Isu HAM
Namun serupa dengan Gauck, Merkel turut membahas "kasus HAM di Indonesia, terutama di Aceh dan Papua." Soal isu pembantaian 1965, Jokowi akhirnya angkat bicara ketika sudah tiba di London. "Saya belum memutuskan apa-apa," ucapnya membantah klaim Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Luhut Panjaitan.
Foto: Reuters/H. Hanschke
Bergegas Mengejar Pertumbuhan
Tanpa membuang banyak waktu presiden beserta rombongan langsung terbang ke London, lalu Belgia dan Belanda dengan selang waktu satu hari. Di Eropa Jokowi membidik perjanjian perdagangan bebas yang ia canangkan akan selesai dalam dua tahun. Selain kerjasama pendidikan vokasi dengan Jerman, Jokowi juga menggandeng Inggris untuk membenahi industri kelautan.
Dan bila menurut Anda Jokowi adalah pemimpin yang mendahulukan orang kecil sebelum dirinya sendiri, ia pun bisa menjadi sosok yang sama sekali berbeda dengan kekuasaan absolut di tangannya. Kita tak bisa menerka ke mana kepribadiannya akan berlabuh keesokan hari bila di genggamannya disematkan perkakas yang memungkinkannya mempertahankan wibawa, harga diri, jabatan, maupun kekayaan secara sewenang-wenang. Sayangnya, saya yakin, bukan ke penjuru yang lebih baik. Siapa yang tahu apa yang akan dicampakkannya setelah memperoleh kemampuan untuk meniadakan suara-suara lain di sekelilingnya.
Kini, kabar buruknya adalah selepas 20 tahun reformasi bergulir, sekonyong-konyong saja RKUHP termutakhir menghaturkan tepat ke atas tangan presiden kita perkakas semacam itu. Di dalamnya termuat pasal penghinaan presiden yang, bila pasal serupa di Thailand menjadi pelajaran buat kita, sangat rawan diselewengkan untuk memenjara siapa pun yang dalam anggapan penguasa mengancam pihaknya.
Dan Jokowi harus menghindari pikiran-pikiran bahwa dengan membungkam "para penghinanya," yang dianggap tak tahu apa-apa akan ambisinya membesarkan Indonesia, ia dapat secara leluasa memimpin rakyatnya menuju kemakmuran. Setiap diktator, yang saya tahu, percaya bahwa kehendaknya adalah yang terbaik untuk rakyat dan rakyat semestinya menyerahkan nasib mereka kepadanya sepenuhnya, tanpa bertanya apa pun, tanpa prasangka miring setitik pun. Apa yang dilakukan oleh Soeharto ketika ia yakin, sebagaimana tertulis dalam buku Butir-butir Budaya Jawa, "musuh yang merusak negaranya sendiri" harus diperangi? Ia merusak negaranya sendiri. Ia menjadikan apa yang seharusnya merupakan hak ratusan juta warga Indonesia bancakan di antara segelintir kroninya.
Catatan 3 Tahun Kepemimpinan Jokowi
Sebanyak 68% penduduk mengaku puas atas kinerja Joko Widodo. Namun setelah tiga tahun berkuasa, catatan kepemimpinan Jokowi banyak menyisakan pekerjaan rumah yang belum dituntaskan, terutama masalah HAM.
Foto: Getty Images/Ulet Ifansasti
Terrorisme
Pemerintah mengklaim sebanyak 999 eks-jihadis berhasil mengikuti program deradikalisasi. Sejumlah pengamat juga menghargai satuan anti teror Densus 88 yang kini lebih sering menangkap terduga teroris, dan tidak lagi menembak di tempat. Pendekatan lunak ala Indonesia juga mengundang pujian dunia. Tantangan terbesar adalah RUU Anti Terorisme yang bakal melibatkan TNI dalam penanggulangan terorisme.
Foto: Reuters/W. Putro/Antara Foto
Infrastruktur
Pembangunan infrastruktur sejak awal menjadi jurus pamungkas Jokowi. Berbagai proyek yang tadinya mangkrak kembali dihidupkan, antara lain jalan Trans-Papua, infrastruktur kelistrikan berkapasitas 35.000 megawatt yang baru tuntas 40% dan transportasi. Di bawah pemerintahannya anggaran infrastruktur digandakan dari 177 triliun Rupiah pada 2014 menjadi 401 triliun untuk tahun anggaran 2017.
Foto: Getty Images/AFP/B. Ismoyo
Demokrasi
Indeks demokrasi Indonesia banyak menurun di era Jokowi. Pemerintah berkilah, berlangsungnya pilkada ikut mempengaruhi peringkat Indonesia. Sejumlah pengamat menyoroti wacana Ambang Batas Kepresidenan sebesar 20% dan Perppu Ormas yang dinilai bermasalah. Selain itu Indeks Kebebasan Pers selama tiga tahun terakhir juga mencatat kemerdekaan media di Indonesia cenedrung berjalan di tempat.
Foto: picture alliance/abaca/J. Tarigan
Intoleransi
Ujaran kebencian dan kabar hoax menemani kepresidenan Jokowi sejak Pemilu 2014 dan memuncak pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Sejak itu dia mulai aktif memberangus media-media hoax, mengeluarkan Perppu yang membidik organisasi intoleran seperti HTI, menggandeng Facebook dan Twitter buat menghalau fitnah dan membentuk unit anti intoleransi.
Foto: Reuters/D. Whiteside
Hubungan Internasional
Sejauh ini Istana Negara banyak menitikberatkan kerjasama internasional untuk membantu program pembangunan di dalam negeri seperti diplomasi maritim. Namun tantangan terbesar Indonesia adalah menjadi poros penyeimbang antara kekuatan regional Cina dan negara ASEAN, terutama menyangkut konflik Laut Cina Selatan.
Foto: Reuters/R. A. Tongo
Hak Azasi Manusia
Ada masanya ketika Jokowi menggariskan penuntasan pelanggaran HAM sebagai prioritas utama. Namun cita-cita tersebut menyurut seiring berjalannya roda pemerintahan. RUU Penyiaran misalnya mendiskriminasi kaum minoritas seksual. Sementara rekonsiliasi pembantaian 1965 cendrung berjalan di tempat dan penggunaan hukuman mati yang masih marak menjadi catatan hitam pemerintahan Jokowi.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Ekonomi
Banyak hal positif yang dicatat dari pemerintahan Joko Widodo di bidang ekonomi, meski tidak membuahkan target pertumbuhan yang dipatok 7%. Selain 16 paket kebijakan, pemerintah juga dinilai sukses meningkatan pemasukan pajak, memperbaiki kemudahan berbisnis, rating investasi dan mempertahankan inflasi. Namun begitu rendahnya konsumsi domestik menjadi catatan muram perekonomian Indonesia.
Foto: Reuters
Lingkungan
Konflik agraria yang kian meruncing membutuhkan reformasi untuk mendamaikan kebijakan lingkungan, tanah adat dan kebutuhan industri. Tahun 2016 saja pemerintah mencatat 400 konflik yang melibatkan 1,2 juta hektar lahan, kebanyakan akibat ekspansi perkebunan. Reformasi agraria masih menjadi agenda besar Indonesia, terutama menyangkut penanggulangan perubahan iklim yang kian mendesak.
Foto: Getty Images
8 foto1 | 8
Bila Jokowi benar adalah sosok yang mendahulukan rakyat sebelum yang lain-lain, maka ia tidak boleh berpangku tangan menanti para elite tak bertanggung jawab mengesahkan RKUHP terbaru. Ia tak bisa sekadar menimpali "ya sudah." DPR, entah mereka sendiri menyadarinya atau tidak, tengah berusaha mengubah presiden menjadi penguasa yang tak peduli apa-apa kecuali dirinya sendiri. Mereka memberikan kepadanya palu godam yang sangat menggoda untuk menenggelamkan suara-suara rakyat di telinganya. Mereka sedang menciptakan sesosok penguasa yang lalim, yang bukan tak mungkin akan mereka sesali di kemudian hari.
Jokowi, mungkin, benar-benar merupakan orang baik. Tetapi, kita pun tahu, orang baik dapat berubah. Dan tatanan yang buruk dapat mengubah si baik menjadi sosok yang sama sekali bukan dirinya di masa silam.
Penulis: Geger Riyanto (ap/vlz)
Esais dan peneliti sosiologi. Mengajar Filsafat Sosial dan Konstruktivisme di UI. Bergiat di Koperasi Riset Purusha.
@gegerriy
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Jokowi di Tengah Pemimpin Dunia
Pertemuan APEC di Beijing menjadi kesempatan pertama Joko Widodo berkiprah di panggung internasional. Di tengah konflik antara Vladimir Putin dan Barack Obama, Shinjo Abe dan Xi Jinping, ia masih mampu mencuri perhatian
Foto: picture-alliance/dpa/Sergei Ilnitsky
Penampilan Perdana di Panggung Internasional
Kehadiran Presiden RI Joko Widodo di pertemuan puncak Asian Pacific Economic Cooperation di Beijing, Cina, termasuk yang paling ditunggu. Untuk pertama kalinya kecakapan diplomasi Jokowi diuji di panggung internasional. Selain kepala negara dan pemerintahan, ia juga bertemu dengan nama-nama tersohor dari dunia bisnis.
Foto: Reuters/K. Lamarque
Antara Obama dan Putin...
Padahal pertemuan APEC kali ini penuh bumbu konflik. Presiden AS, Barack Obama misalnya untuk pertama kali bertatap muka dengan Presiden Rusia Vladimir Putin sejak konflik meletus di Ukraina Timur.
Foto: Reuters
Atau Shinzo Abe dan Xi Jinping
Sumber prahara lain adalah pertemuan PM Jepang Abe dan tuan rumah Xi Jinping. Ketegangan antara Jepang dan Cina terkait kepulauan Diaoyu alias Senkaku terasa pada pertemuan kedua kepala pemerintahan tersebut. Di antara dua konflik besar itulah Joko Widodo mencari tempat di atas panggung internasional pertamanya sejak terpilih.
Foto: Reuters
Mencuri Perhatian
Kendati dirundung konflik yang mengintai, pemimpin dunia tetap menyempatkan diri bertemu dengan presiden baru Indonesia itu. Bersama Cina, Rusia, Vietnam dan beberapa negara lain, Jokowi berbicara mengenai investasi di bidang kelautan. Sementara Barack Obama lebih banyak mengangkat isu keamanan dan terorisme.
Foto: Reuters/Kevin Lamarque
"Ini kesempatan buat kalian"
Tanpa basa basi Jokowi mengundang dunia bisnis agar berinvestasi di Indonesia. Pidatonya yang dalam bahasa Inggris sederhana tanpa naskah itu mendapat pujian dari berbagai pihak. Antara lain karena ia berjanji mengentaskan masalah terbesar yang dihadapi para investor asing di Indonesia. "Ini kesempatan buat kalian," ujarnya.
Foto: picture-alliance/Photoshot
Selanjutnya di Brisbane
Setelah melawat ke Cina, Jokowi dijadwalkan akan menapaki panggung diplomasi lain di Australia, yakni pada pertemuan negara-negara G20 di Brisbane. Serupa dengan APEC 2014, agenda utama pertemuan G20 yang melibatkan AS, Rusia, Jerman dan Jepang itu akan lebih banyak membahas program pemulihan ekonomi, investasi di bidang infrastruktur dan masalah keamanan regional.