2019: Bangkitnya Kesadaran dan Aksi Protes Perubahan Iklim
26 Desember 2019
Paruh kedua 2019 pemberitaan media diwarnai protes marak anak-anak sekolah dengan motto "Fridays for Future". Mereka menuduh para pemimpin politik telah lalai dan menyeret dunia ke dalam krisis iklim.
Iklan
Termotivasi oleh aksi-aksi aktivis remaja Swedia Greta Thunberg, yang setahun sebelumnya hampir tidak dikenal di luar negeri - di paruh kedua 2019 jutaan anak sekolah di berbagai bagian dunia turun ke jalan menuntut kebijakan perlindungan lingkungan yang lebih tegas. Di Eropa, setiap hari Jumat mereka tidak pergi ke sekolah, melainkan melakukan aksi unjuk rasa di jalan-jalan utama.
Kakak-kakak mereka, para mahasiwa dan generasi muda lain, bergabung dalam kubu yang lebih radikal Extinction Rebellion, yang mengkampanyekan "pemberontakan" dengan aksi-aksi pembangkangan sipil seperti pemblokiran jalan, jalur kereta api dan infrastruktur penting lainnya. Mottonya: "Ketika harapan mati, mulailah beraksi."
Para ilmuwan sejak puluhan tahun telah memberi peringatan tegas tentang risiko perubahan iklim terhadap peradaban manusia dan Bumi. Pemicu utamanya antara lain pembakaran bahan bakar fosil secara ekstensif. Tahun 2019, pesan mereka kelihatannya mulai diperhatikan.
Perjanjian Paris tahun 2015 sebenarnya telah memuat komitmen untuk membatasi pemanasan global hingga maksimal 2 derajat Celsius di atas tingkat pra-industrial untuk meredam dampak terburuk dari pemanasan global. Sedangkan batas 1.5° Celsius (1.5C) hanya dicantumkan sebagai "target aman".
Tapi Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim PBB, IPCC, dalam laporan yang dirilis Oktober 2018 menyatakan, dunia masih jauh dari target aman 1.5C, sedangkan pemanasan global 2° C bisa mengakibatkan bencana besar.
Konferensi Iklim Madrid mengecewakan
Corinne Le Quere, presiden Komisi Tinggi Prancis untuk Perubahan Iklim, menyebut 2019 sebagai "suatu awal baru".
"Saya sudah bekerja menggeluti isu perubahan iklim selama 30 tahun dan 29 tahun di antaranya, sebagai ilmuwan. Kami selama ini bekerja tanpa pernah didengarkan," katanya kepada kantor berita AFP.
Laporan IPCC menyimpulkan, untuk membatasi kenaikan suhu 1,5° C, emisi CO2 global harus diturunkan 45 persen pada tahun 2030 - dan mencapai apa yang disebut "nol bersih" pada tahun 2050. Para ilmuwan mengatakan, dunia masih sangat jauh dari target itu. Bahkan emisi tahun 2019 malah naik 0,6 persen.
Meskipun mobilisasi dan kesadaran tentang krisis iklim semakin meningkat, Konferensi Iklim COP25 di Madrid baru-baru ini gagal mencapai terobosan. Banyak hal penting yang gagal mencapai kesepakatan dalam perundingan maraton, akhirnya ditetapkan "akan dibahas kemudian".
Bencana alam dan krisis akhirnya akan "membuka mata"?
Topan Idai di Mozambik, topan Hagibis di Jepang, gelombang panas mematikan yang memecahkan rekor di sebagian besar Eropa, banjir di Venezia, kebakaran hutan di California dan terakhir di Australia, daftarnya bisa diperpanjang terus, akhirnya membuka mata sebagian pemimpin politik.
"Kita melihat dampak perubahan iklim dengan mata kita sendiri," kata Corinne Le Quere. "Realitas memaksa kita untuk bertindak."
Dihadapkan dengan kenyataan yang tidak bisa lagi diabaikan begitu saja, sejumlah pemerintahan negara penting pada tahun 2019 mulai berubah pandangan. Sekarang sudah ada 66 negara sekarang memiliki agenda untuk menjadi "netral karbon" pada tahun 2050. Kota-kota besar seperti London dan Paris secara resmi menyatakan keadaan darurat ekologis dan darurat iklim.
Namun ada kekhawatiran bahwa kemajuan kecil ini tidak akan memperbaiki situasi, selama kekuatan ekonomi terbesar seperti Amerika Serikat, Brasil dan India masih menentang kebijakan iklim karena khawatir akan membebani ekonominya. Amerika Serikat di bawah presiden Donald Trump bahkan sudah mensyatakan menarik diri dari Perjanjian Paris.
Apakah desakan dari generasi muda di jalanan pada akhirnya bisa memaksa perubahan politik?
"Pertanyaannya adalah, bagaimana memobilisasi keresahan ini dengan cara yang bisa membawa kita ke masyarakat yang lebih baik, lebih damai, demokratis dan berkelanjutan," kata Alfredo Jornet, profesor di Universitas Oslo. "Dalam arti tertentu, perubahan iklim membuat kita semua lebih setara. Sehingga membuat kita lebih mampu bertindak bersama-sama."
2019: Aksi Demonstrasi di Seluruh Dunia
Jutaan orang turun ke jalan melakukan aksi demonstrasi karena diskriminasi etnis, korupsi, kurangnya demokrasi, hingga perubahan iklim. Dari Cina ke Chili, Sudan ke Prancis, orang-orang menuntut perubahan.
Foto: Reuters/T. Siu
Stabilitas Hong Kong terguncang
Aksi protes terjadi di seluruh Hong Kong pada bulan Juni akibat Rancangan Undang-Undang (RUU) Ekstradisi yang diajukan pemerintah daerah Hong Kong kepada Cina. Meskipun RUU itu ditarik pada bulan September, unjuk rasa terus berlangsung dan menuntut demokrasi penuh dan penyelidikan terhadap aksi kekerasan yang dilakukan polisi.
Foto: Reuters/T. Peter
Lebih satu juta orang turun ke jalan
Besarnya gerakan protes warga telah menempatkan para pemimpin Hong Kong dan Beijing dalam krisis politik, di tengah tuduhan bahwa Cina merusak status khusus wilayah itu di bawah perjanjian "satu negara, dua sistem". Terkadang, lebih dari satu juta orang turun ke jalan. Di tengah gejolak, pemilu Hong Kong berlangsung. Kubu pro-demokrasi memperoleh kemenangan besar untuk pertama kalinya.
Foto: Reuters/T. Siu
Greta berang, dunia mendengarkan
Beberapa bulan setelah Greta Thunberg melakukan protes seorang diri di depan parlemen Swedia, sejumlah aksi juga terjadi di seluruh dunia, diikuti hingga jutaan orang. Demonstrasi meluas dan dikenal dengan nama Fridays for Future (Jumat untuk Masa Depan), menyebabkan 4.500 aksi mogok di lebih dari 150 negara. Pendekatan langsung Thunberg memaksa pemerintah untuk mengumumkan krisis iklim.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Kappeler
Menentang diskriminasi agama di India
Parlemen India meloloskan rancangan undang-undang (RUU) yang menawarkan amnesti kepada imigran gelap non-Muslim dari tiga negara yakni Pakistan, Bangladesh dan Afghanistan. Langkah ini memicu protes nasional karena adanya diskriminasi berdasarkan agama di dalam RUU tersebut. PM India Narendra Modi bersikeras RUU itu menawarkan perlindungan bagi orang-orang yang melarikan diri dari penganiayaan.
Foto: Reuters/D. Sissiqui
Warga Irak merasa "hidup lebih buruk" setelah era Saddam Hussein
Pada Oktober, rakyat Irak turun ke jalan untuk memprotes korupsi, pengangguran, dan pengaruh Iran terhadap pemerintahan negara itu. Demonstrasi berlangsung memburuk, mengakibatkan 460 orang tewas dan 25.000 lainnya terluka. PM Irak Adil Abdul-Mahdi mengundurkan diri, yang kemudian kembali memicu kemarahan lebih lanjut.
Foto: Reuters/A. Jadallah
Tinju solidaritas di Beirut
Pengunjuk rasa di berbagai penjuru Lebanon mengecam pemerintah yang dianggap gagal mengatasi krisis ekonomi. Meskipun PM Lebanon, Saad Hariri mengundurkan diri, para pemimpin protes menolak untuk bertemu dengan pengganti sementaranya dan menuntut pencabutan rencana kenaikan pajak bensin, tembakau, dan panggilan telepon Whatsapp.
Foto: Reuters/A. M. Casares
Protes kenaikan BBM Iran meluas di 21 kota
Pada bulan November, kerusuhan di Iran dipicu oleh kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sebesar 50 persen. Lebih dari 200 ribu orang turun ke jalan hingga aksi demonstrasi ini meluas di 21 kota. Departemen Luar Negeri AS mengatakan lebih dari seribu orang terbunuh, menjadikan tragedi ini periode paling berdarah di Iran sejak Revolusi Islam 1979.
Foto: Getty Images/AFP
Revolusi Sudan
Pengunjuk rasa di Sudan meminta pemerintahan darurat yang dipimpin militer untuk segera melakukan pembongkaran dan pengadilan penuh terhadap kroni-kroni rezim presiden yang baru saja dimakzulkan, Omar Al Bashir. Konflik berdarah ini menewaskan sedikitnya 113 orang. Pada Agustus lalu, perwakilan rakyat dan pihak militer menandatangani deklarasi konstitusi untuk membentuk pemerintahan transisi.
Foto: picture-alliance/dpa/AP
Amerika Latin mengutuk kebijakan penghematan pemerintah
Ribuan orang protes di pusat ibu kota Chili, Santiago dan sejumlah kota besar lainnya. Mereka menuntut perbaikan sistem kesehatan, pensiun dan pendidikan. Tidak hanya Chili, beberapa negara Amerika Latin terjadi protes serupa pada tahun 2019, termasuk Bolivia, Honduras dan Venezuela, di mana upaya untuk menyingkirkan Presiden Venezuela Nicolas Maduro memuncak pada bulan Mei.
Foto: Reuters/I. Alvarado
Prancis goyah
Akhir 2018, massa gerakan rompi kuning melakukan aksi unjuk rasa. Mereka berasal dari daerah pedesaan yang mengeluhkan wacana kenaikan pajak bahan bakar. Sejak itu gerakan rompi kuning telah meluas ke semua kelompok. Pada bulan Desember, serikat pekerja Prancis melakukan aksi mogok di jalan, menentang reformasi sistem pensiun.
Foto: Reuters/P. Wojazer
Pertarungan kemerdekaan Catalonia
Setelah sembilan pemimpin separatis Catalonia dipenjara oleh Mahkamah Agung Spanyol, gelombang kemarahan baru meletus hingga melumpuhkan kota Barcelona. Lebih dari setengah juta orang terlibat dalam demonstrasi ini. Aksi mogok dan kerusuhan di berbagai daerah melumpuhkan arus transportasi publik hingga memaksa penundaan pertandingan sepakbola Barcelona vs Real Madrid. (Teks: Leah Carter/ha/hp)