1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Pendidikan

UNESCO: 260 Juta Anak Tidak Punya Akses ke Pendidikan

23 Juni 2020

Hampir 260 juta anak-anak tidak punya akses ke sekolah, kata UNESCO. Di banyak negara masih ada kesenjangan, segregasi dan diskriminasi, dan situasi diperburuk oleh pandemi corona.

Foto ilustrasi anak warga minoritas
Foto: Katja Döhne

"258 juta anak-anak dan remaja sepenuhnya dikecualikan dari pendidikan, dengan kemiskinan sebagai hambatan utama untuk mengaksesnya," kata Laporan Pendidikan Global UNESCO yang terbaru, yang dirilis hari Selasa (23/6) di Paris.

UNESCO mengatakan, jumlah ini mewakili 17 persen dari semua anak usia sekolah di dunia, kebanyakan mereka yang tidak memiliki akses ke sektor pendidikan berada di Asia Selatan, Asia Tengah dan kawasan sub-Sahara Afrika.

Anak-anak dari komunitas yang lebih miskin serta anak perempuan, penyandang cacat, imigran dan etnis minoritas adalah kelompok yang di banyak negara dirugikan. Situasi kesenjangan ini memburuk dengan adanya wabah corona, yang mengakibatkan 90 persen populasi siswa global dipengaruhi oleh penutupan sekolah, kata laporan itu.

Sementara anak-anak dari keluarga dengan sarana yang baik dapat melanjutkan sekolah dari rumah menggunakan laptop, ponsel dan internet, jutaan anak lainnya terputus dari pendidikan sekolah sama sekali.

"Pelajaran dari masa lalu - seperti dengan Ebola - telah menunjukkan bahwa krisis kesehatan dapat menelantarkan banyak orang, khususnya anak perempuan, banyak di antaranya mungkin tidak akan kembali lagi ke sekolah," tulis Direktur Jenderal UNESCO Audrey Azoulay menulis dalam kata pengantar laporan itu.

“Terusir dari sistem pendidikan”

Laporan UNESCO dengan data-data dari tahun 2018 itu mencatat bahwa di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, 20 persen remaja sampai usia 15 tahun dari keluarga kaya tiga kali lebih mungkin menyelesaikan sekolah menengah dibandingkan mereka yang berasal dari keluarga miskin.

Di 20 negara termiskin, terutama di sub-Sahara Afrika, hampir tidak ada anak perempuan desa yang menyelesaikan sekolah menengah, kata UNESCO. Sedangkan di negara-negara yang lebih kaya, anak berusia 10 tahun yang harus belajar dalam bahasa lain selain bahasa ibu mereka mendapat skor 34 persen lebih rendah daripada penutur asli dalam tes membaca.

"Sayangnya, kelompok yang kurang beruntung dijauhkan atau diusir dari sistem pendidikan melalui keputusan yang kurang lebih halus, yang mengarah ke pengucilan dari kurikulum, tujuan pembelajaran yang tidak relevan, stereotip dalam buku teks, diskriminasi dalam alokasi dan penilaian sumber daya, toleransi kekerasan dan pengabaian kebutuhan," kata laporan itu.

Segregasi dan diskrinasi

Dua negara di Afrika masih melarang anak perempuan yang hamil mengikuti pendidikan sekolah, 117 negara masih mengizinkan pernikahan anak, dan 20 negara belum meratifikasi konvensi internasional yang melarang pekerja anak, kata UNESCO.

Sekitar 335 juta anak perempuan menuntut ilmu di sekolah-sekolah yang tidak menyediakan air bersih, sanitasi dan kebersihan yang mereka butuhkan untuk tetap berada di kelas saat menstruasi.

Di beberapa negara Eropa tengah dan timur, anak-anak Roma dipisahkan di sekolah-sekolah umum. Dan di Asia, orang-orang terlantar seperti Rohingya belajar dalam sistem yang terpisah dari sektor pendidikan umum.

"Banyak negara masih mempraktikkan segregasi pendidikan, yang memperkuat stereotip, diskriminasi, dan keterasingan," kata laporan itu.

Ketika sekolah dibuka kembali setelah pembatasan dan lockdown karena pandemi corona, UNESCO mendesak agar negara-negara untuk fokus pada anak-anak yang kurang beruntung

"Untuk mengatasi tantangan zaman, langkah menuju pendidikan yang lebih inklusif sangat penting," kata Direktur Jenderal UNESCO Audrey Azoulay. "Kegagalan untuk bertindak akan menghambat kemajuan masyarakat." hp/yf  (afp, dpa, epd)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait