Militer Filipina menyatakan sekitar 40 militan simpatisan ISIS tewas, termasuk 3 warga Indonesia dan seorang warga Malaysia dalam serangan besar-besaran di pulau Mindanao.
Iklan
"Kami menewaskan sekitar 37 militan, 14 orang telah diidentifikasi dan 23 masih belum diketahui, ada tiga warga Indonesia dan satu warga Malaysia," kata kepala militer nasional Jenderal Eduardo Ano kepada wartawan di Manila hari Selasa (25/4).
Para militan adalah bagian dari lebih 160 orang dari kelompok Maute yang diserang akhir pekan lalu di pulau Mindanao, kata Ano.
Letnan Kolonel Jo-ar Herrera, juru bicara brigade yang memimpin serangan di kota Piagapo di provinsi Lanao del Sur itu mengatakan, tentara telah menemukan paspor asing milik beberapa orang yang tewas, namun menolak memberikan rinciannya.
Jendral Eduardo Ano menerangkan, warga asing dalam kelompok Maute adalah mantan anggota kelompok militan Asia Tenggara Jemaah Islamiyah, yang melakukan pemboman di Bali tahun 2002.
Jemaah Islamiyah sudah lama beroperasi di Filipina selatan dan melatih penduduk setempat dengan keterampilan seperti pembuatan bom, kata Ano.
Militer Filipina melakukan serangan besar-besaran ke markas militan di Mindanao dengan menggunakan jet tempur FA-50, helikopter, pesawat pembom dan artileri. Pasukan pemerintah akhirnya berhasil merebut kamp Maute yang luasnya tiga sampai empat hektar.
Kelompok Maute yang beroperasi di Filipina selatan telah menyatakan loyalitasnya kepada jaringan teror ISIS di Irak dan Suriah, kata Letkol Herrera. Kelompok itu dikaitkan dengan berbagai aksi pemboman dan penculikan dan telah melancarkan beberapa serangan terhadap masyarakat lokal.
Di kamp Maute ditemukan bendera hitam ISIS, alat peledak buatan, granat, laptop, ponsel dan kamera yang digunakan untuk membuat video untuk perekrutan, katanya.
Dia menambahkan, pasukan Filipina masih memburu lebih dari 100 anggota Maute yang melarikan diri ke perbukitan.
Jendral Eduardo Ano menerangkan, operasi militer yang sekarang digelar adalah upaya untuk menemukan pemimpin militan Filipina Isnilon Hapilon.
"Serangan militer ini memang dirancang dan dilakukan untuk melemahkan kelompok Maute," katanya.
Pertaruhan Maut Presiden Duterte
Presiden Filipina Rodrigo Duterte nekat meninggalkan sekutu lama Amerika dan bermain mata dengan Cina dan Rusia. Langkahnya itu bukan tanpa risiko terutama dalam isu Laut Cina Selatan.
Foto: picture-alliance/dpa/M.R.Cristino
Poros Tandingan
Duterte sudah jengah dengan Amerika Serikat. Sebab itu ia ingin membangun poros baru antara Manila, Beijing dan Moskow. "Saya tidak ingin bersama AS lagi, saya ingin bergabung dengan Cina dan Rusia," tukasnya. Untuk membuktikan ucapannya itu Duterte menghentikan latihan perang bersama dengan militer AS yang telah digelar selama 36 tahun dan mengabaikan keputusan Pengadilan Arbitrase Internasional
Foto: picture-alliance/Newscom
Berpaling dari ASEAN
Sebaliknya Duterte mengundang Cina dan Rusia untuk menggelar latihan militer bersama di Laut Cina Selatan. Ia juga mulai mengadopsi narasi Beijing, bahwa konflik seputar jalur laut paling gemuk di dunia itu adalah "murni masalah bilateral. "Saya tidak akan membawanya ke forum internasional, termasuk ASEAN." Dengan cara itu Duterte diyakini berharap bakal mendapatkan ganjaran setimpal dari Beijing.
Foto: picture-alliance/dpa/M.R.Cristino
Misi Ekonomi
Pasalnya kebijakan baru sang presiden bukan tanpa kalkulasi. Filipina sedang tertinggal dalam hal pembangunan infrastruktur. "Ia melihat Cina adalah sumber terbesar dana investasi yang sangat dibutuhkan buat menggenjot perekonomian," kata Nick Bisley, Pakar Hubungan Internasional di Universitas La Trobe, Australia. Ironisnya saat ini AS dan Jepang adalah mitra dagang terbesar Filipina.
Foto: Imago
Kalkulasi Beijing
Namun begitu Cina juga tidak bebas dari rasa curiga. "Beijing masih berusaha menebak kemauan Duterte. Tapi jika sudah ketahuan, mereka akan memainkannya sesering mungkin buat melawan Washington," kata akademisi Filipina Walden Bello kepada Financial Times. Cina diyakini tidak akan memberikan konsensus di Laut Cina Selatan dengan mudah. Kesepakatan dengan Manila akan menjadi preseden di kawasan.
Foto: Reuters/K. Kyung-Hoon
Bumerang di Dalam Negeri?
Sikap keras Cina bisa menjadi bumerang buat Duterte. Saat ini mayoritas penduduk FIlipina cendrung bersikap antipati terhadap Beijing. AS sebaliknya mencatat popularitas sebesar 91% dalam jajak pendapat PEW Research Centre tahun lalu. Kegagalan perundingan dengan Cina bisa mencederai reputasinya di mata masyarakat dan Filipina terancam isolasi diplomatik.
Foto: picture-alliance/dpa/Photoshot
Petaka di Perbatasan
Manila kini berupaya mendekati Cina agar bersedia menunda aktivitas pembangunan di Gosong Scraborough dan mengizinkan nelayannya menangkap ikan di perairan sekitar. Beijing belakangan mulai aktif menyulap pulau-pulau kecil di Spratly buat dijadikan pangkalan militer.
Titian Diplomasi
Pelik buat Duterte. Mayoritas penduduk Filipina juga tidak bersedia membuat konsensus dalam isu Laut Cina Selatan. Sebab itu ia mengklaim, "Tidak seorangpun akan menyerahkan sesuatu di sana," ujarnya merujuk pada LCS. Jelang lawatannya ke Cina, Duterte diwanti-wanti oleh Hakim Mahkamah Agung, Antonio Carpio, agar tidak tunduk pada kemauan Beijing. "Dia benar. Saya bisa dilengserkan," jawabnya.