50 Tahun Organisasi Dokter Tanpa Batas Negara - MSF
Thomas Kruchem
22 Desember 2021
Desember 1971, 13 dokter dan jurnalis mendirikan kelompok Medecins Sans Frontieres (MSF) - Dokter Tanpa Batas Negara. Untuk pekerjaannya, MSF tahun 1999 menerima Nobel Perdamaian. Tapi ada juga kritik.
Iklan
Selama lima dekade terakhir, Medecins Sans Frontieres (MSF), atau Dokter Tanpa Batas Negara, telah memberikan perawatan medis kepada jutaan pengungsi, dan mereka yang selamat dari bencana alam, epidemi dan genosida di banyak wilayah krisis dan zona konflik di seluruh dunia.
Ratusan ribu dokter, perawat, dan ahli logistik, banyak di antaranya tenaga lokal, telah mendirikan rumah sakit lapangan, melakukan operasi, memvaksinasi banyak orang dan menyediakan pasokan medis bagi orang-orang yang sangat membutuhkannya. Sebagai pengakuan atas pekerjaan kemanusiaannya itu, kelompok ini dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 1999.
"Semuanya dimulai pada akhir 1960-an," kata Ulrike von Pilar, salah satu pendiri MSF cabang Jerman. Pada saat itu, provinsi kaya minyak Biafra ingin memisahkan diri dari Nigeria. Para dokter Prancis yang bekerja untuk Palang Merah Internasional menyaksikan ribuan orang yang kekurangan gizi parah di wilayah yang dilanda perang ini, dan menduga bahwa bencana besar kejahatan terhadap kemanusiaan sedang terjadi.
Melanggar prinsip netralitas
Sebagai pekerja Palang Merah, mereka telah disumpah untuk bersikap netral dan tidak memihak — tetapi mereka menolak untuk mematuhinya. Itulah awal lahirnya Medecins Sans Frontieres (MSF) yang didirikan oleh beberapa dokter sukarelawan itu. "Prinsip yang paling penting adalah: untuk menyelamatkan nyawa manusia, apa pun perlu dilakukan, termasuk menjadi saksi kejahatan terhadap kehidupan manusia," kata von Ulrike von Pilar.
Iklan
Berkali-kali, personel MSF dihadapkan pada dilema etika yang mendasar: menyelamatkan nyawa dengan persetujuan penguasa negara, atau mengecam kejahatan yang dilakukan oleh penguasa, yang bisa berisiko terusir dan menelantarkan pasien mereka.
Anggota MSF memang sering terperangkap dalam konflik dan baku tembak pada beberapa kesempatan. Pada 3 Oktober 2015, sebuah rumah sakit MSF di Kunduz, Afganistan, hancur menjadi puing-puing dalam serangan udara militer AS yang kemudian disebut pemerintah Amerika Serikat sebagai "kesalahan". Staf MSF juga sering menjadi korban serangan dan penculikan di kawasan konflik.
Juga menghadapi kritik
Saat ini, MSF memiliki sekitar 45.000 relawan dan karyawan dan aktif di lebih dari 70 negara. Anggaran tahunannya mencapai sekitar 1,6 miliar euro, sebagian besar berasal dari sumbangan. Di negara-negara yang sangat rentan, seperti Haiti dan Sudan Selatan, MSF bahkan bertindak sebagai penyedia layanan kesehatan nasional.
Tapi organisasi ini juga tidak lepas dari kritik. Margaret Ngunang, seorang pekerja sosial dari Kamerun yang bekerja untuk MSF di Juba, Sudan Selatan pada 2018, dan sekarang tinggal di New York, berbicara tentang apa yang dilihatnya sebagai arogansi para "dewa putih berbaju putih" dan sikap rasis kelompok itu.
Vaksinasi COVID-19 Hingga ke Daerah Terpencil di Dunia
Tim medis menempuh perjalanan panjang dan sulit untuk memvaksinasi orang-orang di seluruh dunia. Pekerjaan itu membawa mereka melintasi pegunungan dan sungai, menaiki pesawat, perahu, bahkan juga berjalan kaki.
Foto: Tarso Sarraf/AFP
Mendaki gunung
Dibutuhkan fisik yang bugar bagi tenaga medis untuk memvaksinasi penduduk di daerah pegunungan di tenggara Turki. "Orang sering tinggal berdekatan dan infeksi bisa menyebar dengan cepat," kata Dr. Zeynep Eralp. Orang-orang di pegunungan tidak suka pergi ke rumah sakit, jadi "kita harus pergi ke mereka," tambahnya.
Foto: Bulent Kilic/AFP
Melintasi daerah bersalju
Banyak orang lanjut usia tidak dapat melakukan perjalanan ke pusat vaksinasi. Di Lembah Maira di Alpen Italia barat, dekat perbatasan dengan Prancis, dokter mendatangi rumah ke rumah untuk memberi suntikan COVID-19 kepada penduduk yang berusia lebih dari 80 tahun.
Foto: Marco Bertorello/AFP
Penerbangan ke daerah terpencil
Dengan membawa botol berisi beberapa dosis vaksin, perawat ini sedang dalam perjalanan ke Eagle, sebuah kota di Sungai Yukon di negara bagian Alaska, AS, daerah dengan penduduk kurang dari 100 orang. Masyarakat adat diprioritaskan dalam banyak program imunisasi.
Foto: Nathan Howard/REUTERS
Beberapa warga perlu diyakinkan
Setiap hari, Anselmo Tunubala keluar masuk pemukiman di pegunungan Kolombia barat daya untuk meyakinkan warga tentang pentingnya vaksinasi. Banyak warga meragukan vaksin dan cenderung mengandalkan pengobatan tradisional, serta bimbingan para pemuka agama.
Foto: Luis Robayo/AFP
Jalan kaki selama berjam-jam
Pria dan wanita dalam foto di atas berjalan hingga empat jam untuk mendapatkan suntikan vaksin COVID-19 di desa terpencil Nueva Colonia di Meksiko tengah. Mereka adalah penduduk asli Wixarika, atau lebih dikenal dengan nama Huichol.
Foto: Ulises Ruiz/AFP/Getty Images
Vaksinasi di sungai
Komunitas Nossa Senhora do Livramento di Rio Negro di Brasil hanya dapat dijangkau melalui sungai. "Cantik! Hampir tidak sakit," kata Olga Pimentel setelah disuntik vaksin. Dia tertawa dan berteriak "Viva o SUS!" - "panjang umur pelayanan kesehatan masyarakat Brasil!"
Foto: Michael Dantas/AFP
Hanya diterangi cahaya lilin
Presiden Brasil Jair Bolsonaro menentang vaksinasi COVID-19. Namun, di sisi lain kampanye itu telah berjalan. Penduduk asli keturunan budak Afrika, termasuk di antara yang kelompok pertama yang divaksinasi. Raimunda Nonata yang tinggal di daerah tanpa listrik, disuntik vaksin dibantu penerangan cahaya lilin.
Foto: Tarso Sarraf/AFP
Rela mendayung jauh
Setelah vaksinasi, seorang wanita tua dan putrinya mendayung menjauhi Bwama, pulau terbesar di Danau Bunyonyi di Uganda. Pemerintah negara Afrika tengah sedang mencoba untuk memasok daerah terpencil dengan vaksin COVID-19.
Foto: Patrick Onen/AP Photo/picture alliance
Medan yang berat
Perjalanan lain melintasi perairan tanpa perahu. Dalam perjalanan menuju desa Jari di Zimbabwe, tim medis harus melewati jalan yang tergenang air. Menurut badan kesehatan Uni Afrika, CDC Afrika, kurang dari 1% populasi di Zimbabwe telah divaksinasi penuh.
Foto: Tafadzwa Ufumeli/Getty Images
Dari rumah ke rumah
Banyak orang di Jepang tinggal di desa terpencil, seperti di Kitaaiki. Warga yang tidak bisa ke kota, dengan senang hati menyambut dokter dan tim medis di rumah mereka untuk mendapatkan suntikan vaksin COVID-19.
Foto: Kazuhiro Nogi/AFP
Barang yang sangat berharga
Indonesia meluncurkan kampanye vaksinasi pada Januari 2021. Di Banda Aceh, tim medis melakukan perjalanan menggunakan perahu ke pulau-pulau terpencil. Vaksin di dalam kotak pendingin merupakan barang yang sangat berharga sehingga perjalanan tim medis didampingi petugas keamanan.
Foto: Chaideer Mahyuddin/AFP
Tanpa masker dan tidak menjaga jarak
India menjadi negara terdampak parah pandemi COVID-19. Pada pertengahan Maret 2021, petugas medis mendatangi desa Bahakajari di Sungai Brahmaputra. Sekelompok wanita mendaftar untuk mendapatkan vaksin. Tidak ada yang memakai masker atau menjaga jarak aman. (ha/hp)
Foto: Anupam Nath/AP Photo/picture alliance
12 foto1 | 12
Pada tahun 2018, penyelidik juga menemukan bahwa karyawan MSF di Afrika sering menggunakan jasa pelacur lokal. Insiden itu telah diinvestigasi oleh organsaisi, dan mereka yang terlibat telah dipecat, namun hal-hal seperti ini mencoreng reputasi MSF.
Saat ini, MSF juga terlibat dalam diskusi intensif tentang bagaimana menghilangkan rasisme struktural dalam kerja sama bantuan darurat di berbagai tempat. 50 tahun setelah pendiriannya, memang masih banyak hal yang harus dibenahi — baik secara internal maupun global. (hp/vlz)