1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

60 Negara Dukung Penggunaan AI di Militer, Cina Abstain

11 September 2024

Puluhan negara mendukung pedoman penggunaan kecerdasan buatan di ranah militer, Cina memilih abstain.

Pesawat tempur AI uji coba Amerika Serikat
Dokumen ini menyangkut penerapan kecerdasan buatan yang “berorientasi pada manusia” di medan perangFoto: Damian Dovarganes/AP Photo/picture alliance

Setidaknya 60 negara, termasuk Amerika Serikat (AS), pada Selasa (10/09) telah menandatangani "cetak biru tindakan” untuk mengatur penggunaan kecerdasan buatan (AI) di medan perang agar lebih bertanggung jawab.

Namun, sekitar 30 negara yang mengirimkan perwakilan ke KTT di Korea Selatan itu, termasuk Cina, tidak mendukung dokumen pedoman tersebut.

Pedoman ini berisikan semua penerapan AI di bidang militer yang akan lebih "etis dan berorientasi pada kemanusiaan.” Dokumen itu juga memeriksa penilaian risiko terhadap apa yang harus dilakukan dan seberapa pentingnya peran pengawasan manusia.

"Keterlibatan manusia juga perlu dipertahankan dalam pengembangan, pengerahan, dan penggunaan AI di ranah militer ini, termasuk langkah-langkah yang tepat dan saling berkaitan dengan penilaian dan pengawasan manusia dalam penggunaan kecerdasan buatan ini,” katanya.

Pemerintah Belanda mengatakan bahwa fokus pertemuan itu adalah rancangan pedoman yang "berorientasi pada tindakan”, termasuk diskusi tentang perkembangan teknologi di dunia saat ini, seperti pesawat tak berawak berkemampuan AI yang diluncurkan oleh Ukraina.

Kebutuhan untuk menghentikan penggunaan AI agar tidak dimanfaatkan untuk mengembangkan senjata pemusnah massal oleh berbagai entitas, termasuk kelompok teroris, juga menjadi rincian yang ditambahkan ke dokumen terbaru tersebut.

Robot Mampu Gantikan Manusia?

04:12

This browser does not support the video element.

Ukraina termasuk di antara negara-negara yang ikut menandatangani pedoman terbaru ini, begitu juga anggota-anggota NATO seperti Prancis, Jerman, dan Inggris. Namun, akibat dari invasinya ke Ukraina, Rusia tidak diundang ke pertemuan tersebut dan tidak juga ikut menandatanganinya.

KTT penggunaan AI di Domain Militer (REAIM) di Seoul ini merupakan pertemuan kedua setelah pertemuan serupa diadakan di kota Den Haag, Belanda, tahun lalu. 

Seberapa realistiskah kesepakatan baru ini?

"Kami sedang membuat langkah konkret lebih lanjut,” kata Menteri Pertahanan (Menhan) Belanda Ruben Brekelmans kepada kantor berita Reuters. "Tahun lalu ... lebih banyak tentang penciptaan pemahaman bersama, kali ini kami lebih mengarah pada pengambilan tindakan.”

"Kita juga harus realistis bahwa kita tidak akan pernah bisa memaksa seluruh dunia untuk ikut bergabung,” tambah Brekelmans, menanggapi jumlah negara yang tidak ikut menandatangani pedoman tersebut.

"Bagaimana kita menghadapi kenyataan bahwa tidak semua pihak akan patuh? ... Itu adalah dilema rumit yang juga harus kita bahas,” ungkapnya.

"Langkah maju yang bertahap"

"Belum ada prinsip dan kesepakatan,” unggah Brekelmans pada akunnya di media sosial X/Twitter. "Hal ini diperlukan untuk menggunakan AI secara bertanggung jawab. Dan untuk menghadapi negara-negara yang melanggar aturan.”

Giacomo Persi Paoli, kepala Program Keamanan dan Teknologi di Institut Penelitian Perlucutan Senjata Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNIDIR), mengatakan bahwa mungkin akan menjadi kontraproduktif jika kita terburu-buru membuat peraturan yang tidak disetujui semua pihak.

"Cetak biru ini merupakan langkah kemajuan yang bertahap,” kata Paoli, seraya menambahkan, "dengan melangkah terlalu kedepan, terlalu cepat, ada risiko yang sangat tinggi kalau banyak negara tidak ingin terlibat.”

KTT di Seoul ini digelar bersama-sama oleh Belanda, Singapura, Kenya, dan Inggris untuk memungkinkan diskusi antarpemangku kepentingan yang tidak didominasi oleh satu negara atau entitas tertentu.

(kp/hp)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait