Pemilihan umum yang digelar kelompok pro-demokrasi Hong Kong berhasil mendulang jumlah suara yang lebih tinggi dari perkiraan. Pemungutan suara itu merupakan bentuk perlawanan terhadap hukum di Beijing.
Iklan
Lebih dari setengah juta warga Hong Kong memberikan suara mereka di pemilihan pendahuluan yang diadakan oleh partai-partai oposisi pro-demokrasi pada hari Minggu (12/07).
Jumlah pemilih lebih tinggi dari yang diperkirakan oleh penyelenggara pemilu, dengan lebih dari 610.000 orang memberikan suara mereka secara digital dan langsung di 250 tempat pemungutan suara.
Orang-orang terlihat mengantre untuk memberikan suaranya dalam pemilihan pendahuluan yang bertujuan memilih kandidat legislatif mendatang.
"Tingkat partisipasi yang tinggi akan mengirimkan sinyal yang sangat kuat kepada masyarakat internasional, bahwa kita warga Hong Kong tidak pernah menyerah," kata Sunny Cheung, seorang pendukung oposisi pro-demokrasi.
"Pemilihan utama ini merupakan pertama kalinya kami memberi tahu Beijing bahwa warga Hong Kong tidak pernah tunduk kepada Cina," kata aktivis pro-demokrasi Joshua Wong pada hari Sabtu (11/07) sebelum pemungutan suara dimulai. "Kami mendesak dunia untuk menempatkan Hong Kong di bawah sorotan global."
Pemilihan umum yang diselenggarakan oleh institusi publik Hong Kong ‘group Power for Democarcy’, berusaha mengamankan lebih dari 35 kursi (setengah dari jumlah keseluruhan) untuk kandidat pro-demokrasi dalam pemilihan Dewan Legislatif Hong Kong pada bulan September mendatang.
Polisi menyerbu kantor pemungutan suara
November lalu, tiga juta orang memberikan suara dalam pemilihan Dewan Distrik Hong Kong, hingga menghasilkan kemenangan besar kepada kubu pro-demokrasi yang memenangkan 17 dari 18 Dewan Distrik.
Dukungan tersebut berasal dari mereka yang menentang rancangan undang-undang ekstradisi, yang memungkinkan orang yang ditangkap di Hong Kong dikirim ke Cina untuk diadili. RUU itu memicu protes anti-pemerintah selama berbulan-bulan.
Pemilu tingkat distrik yang berlangsung dua hari hingga Minggu (12/07), juga dipertanyakan pada hari Jumat (10/07) ketika polisi Hong Kong menggerebek kantor panitia penyelenggara yang bertanggung jawab atas pemilu.
Voting bisa melanggar hukum Beijing
Banyak yang menganggap kubu oposisi sebagai uji indikatif terhadap resistensi yang lebih besar terhadap hukum keamanan. Diberlakukan oleh Cina bulan lalu, undang-undang keamanan nasional baru menargetkan pemisahan diri, subversi, terorisme, dan kolusi dengan pasukan asing.
Dalam siaran pemerintah pada hari Kamis (09/07), Sekretaris Urusan Konstitusional Hong Kong, Erick Tsang, mengatakan penyelenggara dan peserta dalam pemilihan pendahuluan bisa melanggar undang-undang keamanan nasional yang baru.
Negara yang Pernah Batasi Media Sosial Dalam Keadaan Darurat
Heboh WhatsApp, Facebook dan Twitter tidak bisa diakses pasca-kisruh 22 Mei ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia. Negara lain ternyata juga pernah melakukan hal serupa. Negara mana saja dan apa alasan pemblokiran?
Foto: Reuters/W. Kurniawan
Indonesia
61.000 akun Whatsapp, 640 akun Instragram, 848 akun Twitter, 551 akun facebook diblokir pascakerusuhan akibat penolakan hasil Pemilu 2019. Warganet juga terkena imbas karena akses sosial media dibatasi. Meski ada saja netizen yang coba mengakses internet melalui VPN. Menurut Menkominfo Rudiantara ini adalah cara agar berita hoaks dan gambar provokatif tidak beredar memperkeruh suasana.
Foto: Reuters/W. Kurniawan
Sri Lanka
Akibat banyaknya berita hoaks tersebar pasca-peristiwa bom bunuh diri Paskah (21/04), pemerintah Sri Lanka menutup jejaring sosial Facebook, Twitter, YouTube, Instagram dan WhatsApp selama 9 hari. Bom yang menewaskan 258 orang dan menyebabkan 500 orang terluka diduga didomplengi ISIS. Banyak yang mengaku menggunakan VPN dan TOR agar tetap bisa berkomunikasi dengan keluarga dan kerabat dekat.
Foto: Getty Images/L. Wanniarachchi
Bangladesh
Pemerintah menghentikan layanan internet 3G dan 4G sebelum pemilu untuk jaga keamanan negara dan mencegah penyebaran desas-desus, menurut Asisten Direktur Senior BTRC, Zakir Hossain Khan Desember 2018 lalu. Bangladesh bahkan menutup akses terhadap portal berita populer, Poriborton.com Selasa (21/05) karena laporannya menyebabkan kemarahan badan intelijen militer Bangladesh
Foto: DW/A. Islam
Sudan
Awal Januari 2019, pemerintah Sudan juga menutup akses media sosial populer setelah kerusuhan berlangsung selama dua minggu. Saat itu, warga protes agar Presiden Omar Al-Bashir turun dari jabatannya setelah berkuasa 20 tahun. Menurut Kepala Badan Intelijen dan Keamanan Nasional Sudan, Salah Abdallah, pemblokiran sosial media sudah jadi bahan perbincangan sejak kisruh terjadi 21 Desember 2018.
Foto: Reuters/M. Nureldin Abdallah
Iran
Sejak 2018, aplikasi Telegram diblokir pemerintah karena dianggap telah digunakan sejumlah pihak anti-pembangunan di Iran. 40 dari 46 juta pengguna media sosial di Iran menggunakan Telegram untuk banyak hal, mulai dari berjualan pakaian hingga mencari dokter. Media sosial seperti Facebook dan Twitter sudah ditutup sejak tahun 2009.
Foto: picture alliance/dpa/D. Feoktistov/TASS
Rusia
Pertengahan tahun 2018, pemerintah Rusia juga menutup akses Telegram, aplikasi pesan instan yang dianggap aman dan terenkripsi baik. Bahkan pemerintah mengancam pemblokiran akses VPN untuk mengakses situs terlarang. Badan sensor Rusia telah mengirim notifikasi pemblokiran oleh 10 penyedia VPN di Rusia, di antaranya seperti KNordVPN, Hide My Ass! dan Kaspersky Secure Connection sejak April 2018.
Foto: picture alliance/dpa/V. Prokofyev
Cina
Cina memiliki platform media sosial sendiri yang dikelola oleh negara, seperti WeChat, Weibo, QQ dan YouKu. Media sosial besar seperti Facebook, YouTube dan WhatsApp tidak bisa diakses. Lewat sistem poin (scoring system), kebebasan berekspresi baik melalui media sosial maupun telepon kini dimonitor penuh oleh pemerintah. Ed: ss/ts (Reuters, AFP)