1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Abbas-Olmert: Terlalu Lemah Untuk Buat Gebrakan Baru

29 November 2007

Sanggupkah Mahmud Abbas dan Ehud Olmert merancang peta jalan damai baru untuk megakhiri konflik di Timur Tengah?

Presiden Bush (tengah) menyaksikan PM Israel Ehud Olmert (kiri) dan Presiden Palestina Mahmoud Abbas (kanan) berjabat tangan
Presiden Bush (tengah) menyaksikan PM Israel Ehud Olmert (kiri) dan Presiden Palestina Mahmoud Abbas (kanan) berjabat tanganFoto: AP

„Kami ada hambatan, mereka ada hambatan…..“

Pernyataan yang dilontarkan Perdana Menteri Israel Ehud Olmert bisa saja langsung ditandatangani Presiden Palestina Mahmud Abbas. Dalam upaya mencari penyelesaian terbaik atas konflik Israel-Palestina, Abbas dan Olmert dalam keadaan yang sangat terdesak. Menurut Profesor Sejarah dan Politik Wahid Atallah, seorang warga Palestina asal Bethlehem, Olmert dan Abbas seharusnya tidak menerima undangan Presiden Amerika Serikat untuk menghadiri Konferensi Timur Tengah.

„Kami berada di posisi yang lemah, begitu juga Olmert – seharusnya mereka tidak duduk bersama di meja perundingan. Sebaiknya menunggu saat yang lebih tepat.“

Sebenarnya kelemahan Olmert mengejutkan mengingat ia memegang mayoritas dalam parlemen. Memiliki hampir dua pertiga suara di parlemen untuk ukuran Israel merupakan situasi yang cukup mantap. Namun, kedua mitra koalisi Olmert, yaitu partei ultra kanan „Israel Beitenu“ dan partei ultraorthodox „Shas“, menolak segala kesepakatan dengan Palestina.

Hambatan yang dihadapi Presiden Abbas sama rumitnya dengan Olmert. Abbas datang ke Annapolis dengan hanya mewakili setengah suara rakyat Palestina. Di Jalur Gaza kelompok fundamentalis Hamaslah yang berkuasa. Walaupun Presiden Abbas sudah memecat Hamas dari pemerintahan Palestina, Hamas tetap saja membuat keonaran. Tidak lama sebelum bertolak ke Amerika Serikat seorang pemimpin kelompok Hamas Khaled Meshaal memperingatkan Abbas:

„Apapun yang dikerjakan Amerika Serikat tidak menguntungkan rakyat Palestina. Kalau Amerika Serikat dan Israel tidak mau bergerak, Palestina tidak punya pilihan lain. Palestina akan menentang para penguasa asing.“

Pernyataan Hamas tidak salah, karena menggambarkan situasi Palestina yang sebenarnya. Pernyataan tersebut tidak berbeda dengan yang dilontarkan rekan dekat Presiden Abbas, Jibril Rajoub.

„Kami hidup di bawah pendudukan asing. Secara teori kami membicarakan sebuah negara – akan tetapi bersamaan dengan itu, pemerintah dan pemukim Yahudi menghancurkan segala peluang untuk menciptakan negara Palestina berdampingan dengan Israel.“

Secara faktis Abbas tidak memiliki mandat untuk berkompromi dengan Israel demi perdamaian. Begitu juga Olmert. Menurut kelompok Hamas, Abbas mempermalukan diri di Annapolis dua kali: pertama, karena kesannya Amerika Serikat dan Israel seakan-akan mendukung Palestina, kedua sebetulnya keduanya menolak segala dukungan untuk Palestina. Jika konferensi di Annapolis gagal, Hamaslah yang pada akhirnya menang. Itu berarti, masa kekuasaan Abbas habis dan kekerasan akan berlanjut.