DPR telah mengesahkan RUU Mahkamah Konstitusi menjadi UU pada Selasa (01/09). Di balik cepatnya proses pembahasan hingga pengesahan yang tidak sampai dua pekan, aktivis mencium adanya aroma "barter politik."
Foto: picture-alliance/AP/T. Syuflana
Iklan
DPR mengesahkan UU Mahkamah Konstitusi (MK) yang baru dalam hitungan pekan. LSM Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif mencium aroma barter politik di balik pengesahan itu. Siapa menguntungkan siapa?
KoDe Inisiatif mencatat revisi UU MK dikebut dalam dua pekan. Dimulai pada 24 Agustus 2020 dengan persetujuan pembahasan bersama pada rapat kerja DPR-Pemerintah. Dilanjutkan rapat tertutup pada 26-29 Agustus 2020. Pada 31 Agustus sudah disahkan di Tingkat Pertama dan Selasa (01/09) kemarin sudah disahkan menjadi UU.
Materi krusial yang disahkan yaitu tidak ada lagi kocok ulang hakim konstitusi tiap 5 tahun. Hakim konstitusi dijabat 15 tahun atau sudah mencapai usia 70 tahun. Hal ini diduga sebagai barter politik kepentingan. MK punya mahkota putusan, DPR-Pemerintah punya kepentingan UU.
"Barter 'mahkota' MK berpotensi berbenturan dengan pelaksanaan kewenangan MK. Barter politik ini diduga kuat ditujukan untuk mengamankan sejumlah pengujian Undang- undang kontroversial yang menjadi perhatian publik secara luas," kata Koorbid Konstitusi dan Ketatanegaraan KoDe Inisiatif Violla Reininda dalam siaran pers yang diterima detikcom, Rabu (02/09).
Violla mencontohkan UU KPK, UU Keuangan Negara untuk COVID-19, dan UU Minerba, serta RUU yang potensial mendapat penolakan publik, yaitu RUU Cipta Kerja dan RUU Pemilu.
"Padahal, MK selama ini menjadi sandaran dan kepercayaan publik untuk mengoreksi dan menginvalidasi aturan inkonstitusional serta menjadi ruang untuk memulihkan hak konstitusional yang terlanggar akibat buruknya legislasi dengan menghadirkan sejumlah putusan progresif dan berorientasi pada public interest," papar Violla.
Kisruh Berdarah Protes Hasil Pilpres
Eskalasi kekerasan memuncak 21 Mei malam dan menyisakan sejumlah korban tewas. Presiden Joko Widodo mengatakan tidak akan menolerir para perusuh dan memerintahkan penangkapan atas mereka yang terlibat pelanggaran hukum.
Foto: AFP/B. Ismoyo
Eskalasi Berawal Dari Lemparan Batu
Sedikitnya enam orang meninggal dunia dan ratusan luka-luka saat massa pendukung Prabowo Subianto bentrok dengan aparat keamanan saat memrotes hasil penghitungan suara di depan gedung Bawaslu, Jakarta. Kisruh diklaim berawal ketika pendemo melempar batu ke arah barisan kepolisian.
Foto: AFP/B. Ismoyo
Api di Jalan Raya
Para pendemo mengamuk saat hendak dibubarkan polisi. Sebagian lalu merusak asrama Brigade Mobil Kepolisian dan membakar sejumlah kendaraan. Polisi menangkap sejumlah orang yang diduga sebagai provokator kerusuhan. Kabarnya sebuah mobil ambulans milik partai Gerindra juga ikut diamankan setelah kedapatan membawa batu untuk demonstran.
Foto: AFP/D. Krisnadhi
Arus Balik di Media Sosial
Sebelum aksi protes, Prabowo Subianto sempat meminta massa pendukungnya agar tetap berlaku damai dan tenang. Namun himbauan itu tidak digubris sebagian pendemo. Akibatnya tagar #TangkapPrabowo menggema di Twitter dengan lebih dari 220 ribu cuitan. Netizen juga menyoroti pidato Amien Rais yang menyamakan aksi polisi layaknya PKI dengan menyerukan penangkapan tokoh Partai Amanat Nasiona (PAN) itu.
Foto: AFP/B. Ismoyo
Mempermasalahkan Angka, Menggoyang Negara
Massa yang tergabung dalam Gerakan Nasional Kedaulatan Rakyat (GNKR) menuntut agar penghitungan suara diulang lantaran mencurigai kecurangan sistematis. Prabowo Subianto sendiri berniat mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Namun gugatan sebelumnya ke Bawaslu ditolak lantaran BPN hanya mengirimkan tautan berita online sebagai barang bukti.
Foto: Reuters/W. Kurniawan
Manuver SBY dari Singapura
Koalisi Prabowo-Sandiaga Uno mulai mengalami keretakan. Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono yang sebelumnya mendukung capres 02 berbalik badan mengakui hasil penghitungan suara dan memberikan ucapan selamat atas kemenangan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin. Ucapan serupa sebelumnya sudah dilayangkan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan kepada Joko Widodo.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Tudingan Miring Kepolisian
Polisi mengklaim demonstrasi di Jakarta bukan aksi spontan, melainkan telah direncanakan. Sejumlah demonstran diklaim mengaku mendapat bayaran untuk ikut bergabung dalam aksi protes. Pemerintah sebelumnya berusaha meredam demonstrasi dengan menebar isu makar kepada kubu oposisi.
Foto: DW/R.A. Putra
Pukulan Balik Pemerintah
Menteri Koordinasi Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto, mengaku pemerintah memblokir akses media sosial demi menghadang penyebaran kabar palsu. Hal ini dipicu oleh maraknya fitnah kepada kepolisian yang diposisikan berhadapan dengan "umat Islam." Wiranto juga mengklaim telah mengantongi daftar berisikan nama-nama terduga provokator kerusuhan.
Foto: DW/R.A. Putra
Manuver Hukum Jelang Pelantikan
BPN Prabowo-Sandiaga memiliki waktu hingga 11 Juni untuk mengajukan gugatan terkait hasil penghitungan suara kepada Mahkamah Konstitusi. Seusai jadwal yang telah ditetapkan KPU, proses hukum tersebut akan berakhir pada 24 Juni saat pembacaan keputusan. Sementara presiden dan wakil presiden terpilih akan dilantik pada bulan Oktober 2019. (rzn/rap/hp: dari berbagai sumber)
Foto: DW/R.A. Putra
8 foto1 | 8
Menjabat hingga 2034
Implikasi UU MK baru sangat luas yaitu masa jabatan hakim bisa sampai 15 tahun. Dipastikan 8 pengadil Pilpres 2024 diadili oleh hakim MK saat ini dan ada yang bisa menjabat hingga 2034.
Dalam draf RUU MK Pasal 87 ayat b yang disahkan DPR sebagaimana dikutip detikcom, Selasa (01/09) disebutkan:
Hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat Undang-Undang ini diundangkan dianggap memenuhi syarat menurut Undang- Undang ini dan mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 (lima belas) tahun.
UU MK baru juga tidak mengenal kocok ulang hakim konstitusi tiap 5 tahun sekali. UU MK baru menghapus Pasal 22 yang menyatakan masa jabatan hakim konstitusi selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. (Ed: rap/pkp)