1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Ada Yang Lebih Penting dari Uang

14 April 2018

Pernahkan Anda berpikir, betapa enaknya kita menikmati segala media sosial (medsos) secara gratis? Tapi, apakah benar segratis itu? Lebih umum lagi, apakah ada produk yang gratis di dunia ini? Ikuti opini Ananda Sukarlan

USA Facebook-Chef Zuckerberg sagt vor Handelsausschuss des Repräsentantenhauses zu Skandal um Missbrauch von privaten Nutzerdaten aus
Foto: Reuters/A.-P. Bernstein

Apa jawaban atas pertanyaan di atas tersebut? Jawabannya adalah: kalau suatu produk adalah gratis, berarti Andalah produk tersebut. Anda yang dijual oleh mereka. Nanti dulu. Anda? Kita semua? Jual ke siapa?

Begini. Setiap produk / jasa, tidak harus kita beli dengan uang. Contohnya, sewaktu saya kuliah di Belanda, dua kali seminggu saya mengamen di restoran selama 20 menit untuk mendapatkan kupon makan malam (kami para mahasiswa piano mendaftar jatah waktu main kita). Makan malam itu tidak gratis, tapi saya bisa membelinya dengan waktu (dan keahlian).

Penulis: Ananda SukarlanFoto: privat

Kita hidup di era di mana kita sudah dibiasakan bahwa semua itu hanya bisa dibeli dengan uang. Padahal, ada hal lain yang kini jauh lebih berharga daripada uang (bukan, bukan moral, akhlak atau karakter!) yaitu DATA. Data kitalah yang kini dapat dijual ke pihak-pihak yang menjual barang. Medsos tidak meminta uang kita, "hanya" meminta data, dan kita semua memberinya dengan senang hati: tanggal lahir (umur) kita supaya teman-teman tidak lupa ulang tahun kita, kesukaan kita supaya teman-teman tahu kado apa yang cocok, dan kegiatan sehari-hari untuk aktualisasi diri.

Tapi bukan hanya data itu yang diketahui medsos. Medsos juga mengetahui di mana kita saat ini, apa saja yang Anda suka, siapa teman-teman Anda terdekat dan orientasi politik kita.

Caranya?

Sebuah instrumen sakti: Algoritme, yang definisinya cukup rumit sehingga saya suka sederhanakan sebagai "kecerdasan medsos mengolah data mentah menjadi masakan yang nikmat". Melalui analisa data yang canggih, medsos memperoleh wawasan untuk menginformasikan tindakan dan keputusan kita di masa datang. Hal inilah yang menjadi "skandal facebook" saat ini, di mana pendirinya, Mark Zuckerberg dipanggil para senator untuk mempertanggungjawabkan jutaan data yang "bocor" tersebut.

Data tersebut dijual kepada mereka yang membutuhkannya untuk memasarkan produknya sehingga promosinya bisa lebih terarah terhadap mereka yang memang berminat terhadap produk tersebut. Masalahnya, produk itu bisa juga berupa agama, pembentukan opini publik atau pemilihan tokoh pemimpin.

 Algoritme jugalah yang membuat kita hidup "sekandang dengan jenis yang sama". Ini membuat kita menjadi "katak dalam tempurung", di mana kita hanya ditawarkan berita-berita yang kita sukai, dari teman-teman yang kita sukai karena algoritme telah memilih-milihnya untuk kita. Ini membuat wawasan kita menjadi sempit karena kita tidak ditawarkan perbandingan / alternatif dari kenyataan yang ada, karena memang tidak kita sukai dan tidak akan meng-klik berita itu.

Bukan hanya orang-orang yang berbeda pendapat itu menghilang dari linimasa kita, kita pun bisa dengan leluasa mem-blok orang tersebut, sehingga linimasa kita "bersih". Itu sebabnya pendukung Trump (di Amerika) dan Prabowo (di Indonesia) tidak bisa membaca opini dan berita dari pendukung Clinton dan Jokowi dan sebaliknya, sehingga masing-masing semakin yakin bahwa pilihannya (dan opininya) lah yang benar.

Cari ‘likes‘?

Aktualisasi diri dan meminta pengakuan adalah alasan utama kenapa kita membagi data kita ke medsos. Ingatkah Anda, di masa lalu ketika kita punya buku harian yang sampai digembok supaya tidak dibaca orang?

Kini malah banyak yang "ngambek" ketika posting mereka tidak dibaca dan di-"like" sebanyak mungkin. Betapa bertolak-belakangnya dunia nyata dan dunia maya, bukan? Kalau Anda ke jalan raya dan bertanya kepada setiap orang "Apa Anda suka baju saya?" Anda akan dianggap gila, atau paling tidak narsis berat. Di dunia maya, Anda menanyakannya bahkan kepada orang yang tidak Anda kenal!

Tiap medsos sudah didesain untuk memaksimalkan potensi aktualisasi diri kita yang berbeda. Twitter menjual (bahasa halusnya: "menawarkan") perdebatan, yang di kaum kurang terpelajar menjadi makian dan hujatan. Instagram menjual kecemburuan sosial. Facebook menjual ... Anda seluruhnya. Kalau dalam psikologi, bisa dibilang Twitter menjual Id, Facebook menjual Ego, dan Instagram menjual Superego.

Sama seperti waktu saya masih kuliah, saya menjual hidup saya 20 menit bermain piano di restoran untuk makan. Kini kita menjual hidup kita bukan hanya 20 menit, tapi berjam-jam. Tapi sampai sekarang, makanannya belum datang.

Penulis: Ananda Sukarlan (ap/ml)

 

Selain sebagai komponis & pianis, A.Sukarlan juga aktif sebagai blogger di Andy Skyblogger's Log , dan membuat vlog di Youtube channelnya Ananda Sukarlan. Twitter & Instagramnya @anandasukarlan bukan hanya mengulas tentang musik, tapi masalah sosial, budaya dan politik pada umumnya. Ia membagi waktunya antara Spanyol (di rumahnya di perbukitan di Cantabria) dan Indonesia (di apartemennya di Jakarta).

IG & twitter @anandasukarlan

Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.