Advokat HAM Keturunan Jerman-Iran Divonis 10 Tahun Penjara
5 Agustus 2021
Nahid Taghavi advokat HAM keturunan Jerman-Iran ditangkap pada Oktober 2020 di Teheran dan telah ditahan sejak itu. Taghavi yang berusia 66 tahun divonis 10 tahun penjara atas tuduhan propaganda melawan rezim.
Iklan
Seorang perempuan advokat hak asasi manusia (HAM) keturunan Jerman-Iran dijatuhi hukuman penjara pada Rabu (04/08), atas tuduhan berpartisipasi dalam "pengelolaan kelompok ilegal dan kegiatan propaganda melawan rezim," menurut kantor berita HRANA.
Nahid Taghavi ditangkap di apartemennya di Teheran pada Oktober 2020 dan sejak itu ditahan di penjara Evin Teheran.
Taghavi biasa mengadvokasi masalah hak-hak perempuan dan kebebasan berekspresi, menurut kelompok hak asasi manusia IGFM.
Advokat HAM berusia 66 tahun itu dijatuhi hukuman penjara 10 tahun delapan bulan. Putrinya, Mariam Claren, mengonfirmasi hukuman itu dalam sebuah postingan di Twitter.
Isolasi dan infeksi COVID-19
Taghavi memegang paspor Jerman dan Iran, tetapi karena pihak berwenang Iran tidak secara resmi mengakui kewarganegaraan ganda, Taghavi dilarang menerima bantuan konsuler dari Jerman.
Iklan
Claren mengatakan ibunya telah ditahan dalam isolasi untuk waktu yang lama.
Pada bulan Juli, setelah dipindahkan ke penjara perempuan Evin Teheran, Taghavi dilaporkan terkonfirmasi COVID-19 dan sakit parah. "Untuk seseorang seusianya dengan penyakit bawaan yang sudah ada sebelumnya dan sekarang dites positif COVID-19, hidupnya dalam bahaya," kata Claren, sembari menyerukan pembebasan segera ibunya.
Pada bulan Juni, Amnesty International mengecam perlakuan yang diberikan kepada Taghavi saat berada di sel isolasi. Amnesty International melaporkan bahwa Taghavi dipaksa tidur di lantai tanpa tempat tidur atau bantal, dipantau sepanjang waktu, dan hanya diizinkan keluar menghirup udara segar selama 30 menit sehari dengan penutup mata.
Tanpa Sensor: Perempuan Muslim Berbicara Soal HAM
Dalam buku berjudul Usensurert (Tanpa Sensor) penulis dan wartawan Norwegia Birgitte C. Huitfeldt menunjukkan hidup perempuan Muslim dalam dunia Islam.
Foto: Nawal El Saadawi
Mendambakan Kebebasan di Mesir
Buku itu diawali dengan penuturan dokter perempuan asal Mesir Nawal El Saadawi, yang juga penulis dan aktivis hak perempuan. Es Saadai menjelaskan, mengapa perempuan di Timur Tengah belum berhasil dalam perjuangan mereka: "Dalam sistem patriarkal, imperial dan militer, perempuan tidak bisa bebas. Kami dikekang oleh kekuasaan bukan keadilan, oleh demokrasi palsu, bukan kebebasan."
Foto: Nawal El Saadawi
Psikolog Asal Suriah dalam Pengasingan
Pakar psikologi Rafah Nached ditangkap September 2011 di Damaskus, ketika ia ingin membantu demonstran anti Assad yang menderita trauma. Dua bulan kemudian ia dibebaskan. Ia kemudian tinggal di Paris dalam pengasingan. "Masyarakat Arab menolak perubahan, karena siapapun yang tidak sepaham dengan masa, dianggap ateis dan tidak normal", kata Rafah Nached dalam buku yang ditulis Huitfeldts.
Foto: Liberation
Demokrasi Adalah Kehendak Rakyat
Shirin Ebadi adalah pengacara asal Iran, yang berjuang bagi hak-hak perempuan, anak-anak dan pengungsi. Akibatnya, pemerintah dan polisi di Iran mengancam Ebadi. 2003 ia mendapat Nobel Perdamaian. "Bagi demokrasi tidak ada Barat dan Timur. Demokrasi adalah kehendak rakyat. Jadi saya tidak mengakui ide adanya model demokrasi yang berbeda-beda," katanya.
Foto: Shirin Ebadi
Perdamaian antara Israel dan Palestina
"Pendudukan adalah sifat pria, terutama pendudukan militer. Konflik antara Israel dan Palestina diakibatkan manusia, dan kita sebagai perempuan harus mengakhiri konflik itu," demikian dikatakan anggota parlemen Palestina, Hanan Ashrawi, yang juga aktivis dan ilmuwan. Ashrawi memberikan sumbangan penting bagi perdamaian Israel-Palestina.
Foto: Hanan Ashrawi
Rasa Takut Pria terhadap Perempuan di Yaman
Amal Basha adalah feminis asal Yaman. Dalam indeks PBB tentang kesetaraan antara perempuan dan pria, negaranya ada di posisi bawah. Hak perempuan Yaman di bidang ekonomi, sosial dan budaya dibatasi hukum Shariah. Penyebabnya? "Pria takut kepada perempuan, karena perempuan adalah suara kebebasan. Perempuan tidak tertarik untuk berperang, karena perempuan bukan pedagang senjata," kata Amal Basha.
Foto: Salzburg Global Seminar
Pembunuhan Kehormatan di Yordania
Di Yordania, aktivis HAM dan feminis serta wartawan penyelidik Rana Husseini menulis tentang kekerasan terhadap perempuan. "Masyarakat Yordania
menyalahkan perempuan untuk segalanya. Membiarkan diri diperkosa dan dilecehkan, karena lahirkan anak, karena seks yang tak memuaskan, juga kalau suami tidak setia. Daftarnya masih panjang lagi." Itu penjelasannya bagi pembunuhan dengan alasan kehormatan.
Foto: Rana Husseini
Secercah Harapan di Libya?
Untuk mengakhiri perang saudara yang terus berlangsung di Libya, pria dan perempuan harus mengubah sikap, demikian pendapat Hajer Sharief, staf PBB asal Libya. "Kalau orang menengok ke rumah-rumah, orang bisa melihat para ibu, yang mengirim putra mereka ke medan perang. Walaupun ibu itu sendiri tidak mengangkat senjata, mereka ikut mendorong spiral kekerasan di Libya." Penulis: Jan Tomes (ml/hp)
Foto: Nader Elgadi
7 foto1 | 7
Putusan 'mengejutkan'
Amnesty International menyerukan pembebasan segera terhadap Taghavi, dengan mengatakan bahwa dia sedang menjalani proses hukum yang tidak adil di Iran. Organisasi tersebut mengkritik pemerintah Iran karena secara sewenang-wenang menahan warga negara ganda sebagai alat tawar-menawar atau untuk negosiasi politik.
Meskipun pemerintah Jerman belum mengeluarkan pernyataan mengenai penangkapannya, beberapa politisi telah berbicara mendukung Taghavi. "Putusan mengejutkan terhadap Nahid Taghavi dari Cologne Iran. Seperti yang saya lakukan pada bulan April, saya mendukung seruan agar dia segera dibebaskan," kata Andrej Hunko, anggota parlemen Jerman dari partai Kiri.
Juru bicara Partai Sosial Demokrat untuk urusan HAM di parlemen Jerman (Bundestag), Frank Schwabe, juga bereaksi terhadap hukuman itu, dengan mengatakan tuduhan itu "tidak berdasar" dan menyebut putusan itu sebagai "lelucon."