Afganistan Larang Siswi di Atas 12 Tahun Bernyanyi
Farah Bahgat
11 Maret 2021
Pemerintah Afganistan melarang siswi berusia 12 tahun ke atas bernyanyi di kegiatan publik. Sejumlah pengguna media sosial mencuitkan kemarahannya dan mengatakan keputusan itu mirip dengan kebijakan Taliban.
Iklan
Kementerian Pendidikan Afganistan melarang siswi berusia di atas 12 tahun bernyanyi di acara publik, media setempat melaporkan pada hari Rabu (10/03). Laporan itu muncul di tengah meningkatnya kekhawatiran terkait Taliban yang kemungkinan dapat kembali memperoleh kekuasaan di Afganistan.
Anak sekolah yang berusia lebih dari 12 tahun hanya diizinkan menyanyi di acara yang "sepenuhnya dihadiri oleh wanita," menurut surat keputusan yang dibagikan oleh penyiar Ariana News di Twitter.
Seorang juru bicara Kementerian Pendidikan mengkonfirmasi keaslian surat itu dan menambahkan bahwa keputusan itu berlaku untuk semua provinsi, kantor berita DPA Jerman melaporkan.
Dalam pesan video yang beredar di media, juru bicara Najeeba Arian mengatakan keputusan tersebut diambil setelah mendapat masukan dari siswa dan orang tua. Guru penyanyi pria juga akan dilarang mengajar siswi, menurut media Kabul Now. Kepala sekolah akan bertanggung jawab untuk melaksanakan larangan tersebut.
Remaja Afghanistan Skeptis Masa Depan Bersama Taliban
Generasi Z Afghanistan dibesarkan dalam 17 tahun perang dan kehadiran militer internasional. Masa depan yang mengikutsertakan perdamaian dengan Taliban menimbulkan perasaan penuh harapan sekaligus rasa takut.
Foto: Reuters/Mohammad Ismail
Sulta Qasim Sayeedi, 18, model
Sayeedi sering merambah Facebook, YouTube dan Instagram untuk mempelajari dunia fesyen dan model serta mencari inspirasi dari selebriti favoritnya, seperti Justin Bieber. "Kami khawatir, jika Taliban datang, kami tidak bisa lagi mengelar mode show," katanya. Namun ia juga berujar, sudah saatnya perdamaian datang.
Foto: Reuters/Mohammad Ismail
Maram Atayee, 16 tahun, pianis
"Hal yang paling mengkhawatirkan bagi saya, jika Taliban kembali, saya tidak bisa bermain musik lagi," kata Maram Atayee. Ia belajar main piano di sekolah musik di Kabul. Bagus, jika pemerintah mencapai kesepakatan damai dengan Taliban. Dan nanti akses untuk bermusik harus terbuka bagi semua orang, dan hak-hak perempuan harus dijaga. Demikian tuntutan Atayee.
Foto: Reuters/Mohammad Ismail
Hussain, 19, penata rambut
"Saya optimis mendengar Taliban ikut proses perdamaian," kata Hussain yang punya salon di Kabul. Seperti banyak warga muda Afghanistan lainnya, ia dibesarkan di Iran, di mana jutaan warga Afghanistan mengungsi. "Itu akan jadi akhir perang dan konflik di negara kami." Tapi ia juga berkata, ingin agar Taliban mengubah kebijakan dan tidak bersikap seperti dulu.
Foto: Reuters/Mohammad Ismail
Mahdi Zahak, 25, seniman
Tentu ada harapan bagi perdamaian, kata Zahak. "Tetapi kita bisa benar-benar mendapat perdamaian adalah jika Taliban menerima kemajuan yang sudah terjadi di negara ini dalam 17 tahun terakhir, dan membiarkan orang lain menikmati hidup mereka."
Foto: Reuters/Mohammad Ismail
Kawsar Sherzad, 17, atlet bela diri
"Perempuan Afghanistan sudah punya banyak pencapaian di dunia olah raga. Jadi saya optimis Taliban akan menerima kemajuan perempuan ini," demikian ungkap Sherzad. Untuk wawancara, atlet cabang olah raga Muay Thai ini berpose di sebuah klub di Kabul.
Foto: Reuters/Mohammad Ismail
Nadim Quraishi, 19, pemilik toko game
"Kami ingin melihat berakhirnya konflik di negara ini. Kami punya harapan besar, perdamaian akan berlangsung lama antara pemerintah dan Taliban," kata Quraishi. Untuk foto, ia berpose di depan toko gamenya di Kabul.
Foto: Reuters/Mohammad Ismail
Zarghona Haidari, 22, bekerja di toko buku
"Saya tidak terlalu optimis tentang perdamaian di negara ini." kata Haidari, yang bekerja di sebuah toko buku di Shahr Ketab Centre. Ia menambahkan, "Saya tidak yakin, Taliban akan mencapai kesepakatan perdamaian dengan pemerintah."
Foto: Reuters/Mohammad Ismail
Mohammad Jawed Momand, 22, dokter
"Perdamaian menuntut semua pihak untuk meletakkan senjata, dan memikirkan pendidikan serta kemakmuran di negara ini," demikian dikatakan Momand. Laporan demografi Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebutkan 60% dari 35 juta populasi Afghanistan berusia di bawah 25 tahun. Demikian keterangan Sumber: Reuters (Ed.: ml/as)
Foto: Reuters/Mohammad Ismail
8 foto1 | 8
'Tidak terlihat bagus'
Keputusan tersebut telah memicu kemarahan di media sosial. Orang-orang kemudian membandingkan keputusan pemerintah dengan ideologi Taliban. Beberapa pengguna Twitter bahkan menentang larangan tersebut dengan membagikan gambar dan rekaman lama dari gadis-gadis muda yang sedang menari dan bernyanyi.
Iklan
"Hal ini bukan citra yang baik bagi Republik (Afganistan) jika mereka mulai meniru nilai-nilai yang sama dengan Taliban," tulis jurnalis Ruchi Kumar di Twitter seraya membagikan video yang menunjukkan gadis-gadis bernyanyi di televisi.
Beberapa orang mencatat bahwa Menteri Pendidikan Rangina Hamidi telah lama menampilkan dirinya sebagai pembela hak-hak perempuan.
"Saya pernah membaca bahwa Anda adalah 'salah satu sosok yang menyuarakan hak wanita Afghanistan'. Tapi saya tidak tahu bahwa Anda akan menggunakan suara itu untuk membungkam hak gadis-gadis muda Afganistan. Kami semua akan senang mendengar (alasan) logika di balik ini. Apa tujuannya?" kata salah satu pengguna Twitter.
Pengguna lainnya justru mendukung keputusan tersebut dan menuliskan bahwa orang tua mungkin telah melaporkan dugaan pelecehan serta mendesak perlindungan bagi anak-anak mereka. Namun komentar seperti itu mendapat kritik dari orang lain, yang berpendapat bahwa melarang gadis menyanyi tidak akan mengakhiri tindakan pelecehan.
Perempuan Pemberani dari Lembah Swat
04:41
Kaum perempuan takut pada Taliban
Taliban memegang kekuasaan atas mayoritas penduduk Afganistan selama hampir lima tahun hingga invasi Amerika Serikat (AS) menggulingkan kelompok itu pada 2001.
Sejak itu, kemajuan hak-hak perempuan di Afganistan telah menyebar dari kota-kota ke desa-desa, dengan lebih banyak kesempatan untuk mengenyam pendidikan dan mendapatkan pekerjaan. Namun kini serangan terhadap jurnalis wanita sedang meningkat di Afganistan. Kaum wanita dibayangi rasa takut kehilangan hak mereka ketika Taliban mencoba menegosiasikan kekuasaannya. (ha/gtp)