1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Afrika Dibanjiri Limbah COVID-19

Silja Fröhlich
18 Februari 2022

Negara-negara Afrika sudah dibanjiri sampah sebelum pandemi virus corona melanda. Namun, limbah terkait COVID-19 memperburuk situasi saat ini.

Petugas medis Etiopia menarik tempat sampah
Ledakan limbah medis di seluruh Afrika mengganggu sistem pembuangan sampahFoto: AMANUEL SILESHI//AFP via Getty Images

Masker bekas dapat ditemukan dengan mudah di mana-mana di planet ini. Mengotori jalan, tersangkut di pohon, menyumbat saluran air, mencemari perairan, dan lautan. Masker bedah berwarna biru muda memang berperan penting menahan laju penularan COVID-19 selama pandemi. Namun, saat ini masker dan limbah medis COVID-19 lainnya telah menjadi masalah baru.

Afrika sub-Sahara mungkin lebih banyak mengalami kekurangan vaksin virus corona dan peralatan pelindung dibanding wilayah lain, tetapi kondisi tersebut tidak menyelamatkan banyak negara Afrika dari dampak krisis sampah baru-baru ini.

Menurut sebuah penelitian di Ghana, sekitar 353 juta masker sekali pakai dibuang setiap hari di Afrika sub-Sahara. Masker dan limbah medis lainnya seperti sarung tangan dan baju pelindung juga telah mengubah jumlah dan komposisi limbah di benua itu.

Masker sekali pakai mencemari planet iniFoto: Emilio Morenatti/dpa/picture alliance

Saat pengusaha pembuangan limbah Catherine Wanjoya berjalan melewati ibu kota Kenya, Nairobi, dia hampir tidak bisa menahan amarahnya pada jumlah masker yang dibuang di jalan. Bisnisnya, Genesis Care, sebelumnya fokus pada pembuangan produk sanitasi, tetapi pada awal pandemi, Wanjoya mengerjakan ulang insinerator untuk membakar  limbah peralatan pelindung seperti masker dan sarung tangan.

Risiko lingkungan dan kesehatan

Selain menimbulkan ancaman lingkungan, masker yang dibuang juga merupakan ancaman kesehatan potensial, kata Wanjoya, lantaran muncul beberapa kasus masker sekali pakai yang dibuang telah dikumpulkan, dibersihkan, dan dijual kembali.

Bukan hanya masker yang dibuang sembarangan, kata Wanjoya, tapi segala macam sampah medis.

"Jika Anda pergi ke tempat pembuangan sampah terbuka, Anda akan menemukan jarum, obat-obatan, dan perban bekas. Orang-orang mengais sampah tersebut untuk mendapatkan produk yang berguna, yang bisa dijual lagi,” ujarnya.

"Jadi Anda melihat orang-orang seperti itu juga terinfeksi oleh limbah medis yang dibuang ke tempat pembuangan sampah terbuka."

Negara-negara berpenghasilan rendah, 23 di antaranya berada di Afrika, membuang 90% limbah mereka di tempat pembuangan yang tidak diatur, di ladang atau melalui pembakaran terbuka, menurut angka terbaru oleh Bank Dunia.

Banyak negara di Afrika sub-Sahara tidak memiliki sistem pembuangan limbah yang memadaiFoto: PIETER BAUERMEISTER/AFP via Getty Images

Kondisi ini tercipta karena banyak kota di Afrika, seperti Nairobi tidak memiliki sistem pengelolaan sampah yang berfungsi, kata aktivis lingkungan Lillian Mulupi dari partai politik Kenya, United Green Movement.

"Di banyak kabupaten (Nairobi) tidak ada truk atau tempat sampah yang cukup, di beberapa daerah sampah bisa menumpuk selama lebih dari tiga hari tanpa diambil," kata Mulupi kepada DW.

Sampah sisa COVID-19

Jumlah limbah kesehatan terkait pandemi COVID-19 sangat besar. Menurut laporan WHO, PBB sendiri mendistribusikan sekitar 87.000 ton pakaian pelindung medis, 2.600 ton limbah tidak menular, dan 731.000 liter limbah kimia ke negara-negara kurang berkembang antara Maret 2020 dan November 2021.

Miliaran vaksinasi COVID-19 yang diberikan di seluruh dunia bertanggung jawab atas 144.000 ton limbah lainnya, meliputi jarum suntik dan wadah pengumpul. Namun, skala sebenarnya kemungkinan akan jauh lebih tinggi, laporan WHO mengakui.

Sebanyak 60% fasilitas perawatan kesehatan di negara-negara kurang berkembang tidak "dilengkapi peralatan untuk menangani beban limbah yang ada, apalagi beban COVID-19 tambahan," menurut laporan tersebut.

Landry Kabego, spesialis WHO untuk pencegahan dan pengendalian infeksi, mengatakan kepada DW bahwa membuang limbah medis dengan benar adalah bagian penting dari memerangi virus corona.

"Ketika suatu negara menghadapi pandemi seperti ini, mereka perlu menerapkan semua tindakan yang memungkinkan untuk memutuskan rantai penularan penyakit. Pengelolaan limbah adalah salah satunya," kata Kabego. 

Catherin Wanjoya, pendiri Genesis CareFoto: Catherine Wanjoya

Pengusaha pembuangan limbah Catherine Wanjoya setuju. Organisasinya bekerja dengan klinik kecil, yang tidak mampu membeli insinerator medis besar "karena terlalu mahal untuk mereka," katanya.

Perusahaannya menjadi satu-satunya di Kenya yang membuat insinerator yang lebih kecil, katanya, seraya menambahkan bahwa salah satu solusi untuk masalah limbah adalah pemerintah Kenya bermitra dengan perusahaan seperti miliknya untuk memastikan klinik dapat membakar limbah medis, sehingga tidak berakhir di tempat pembuangan akhir.

Cara lain untuk mengatasi masalah ini adalah memastikan masyarakat memahami risiko lingkungan dan kesehatan yang berpotensi ditimbulkan oleh limbah medis yang dibuang sembarangan.

Kegagalan memisahkan limbah infeksius

Otoritas Pengelolaan Lingkungan Nasional Kenya mengeluarkan pedoman tentang pemisahan dan pembuangan limbah perawatan kesehatan pada awal pandemi pada Maret 2020. Berdasarkan pedoman tersebut, masker didefinisikan sebagai limbah infeksius dan tidak boleh dibuang bersama sampah umumnya.

Bagi Kabego, pemilahan sampah medis menjadi sampah infeksius dan non-infeksius adalah kuncinya.

Ketersediaan masker melimpah, murah, dan mudah dibuangFoto: LUC GNAGO/REUTERS

"Sebagian besar fasilitas kesehatan kita tidak memilah sampah dengan benar. Jika tidak memilah dengan baik, ada banyak sampah infeksius dan non-infeksius," katanya.

Untuk itu, keberadaan tempat sampah khusus di fasilitas pelayanan kesehatan maupun di ruang publik sangat penting, tambahnya.

(bh/ha)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait