1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikAfrika

Afrika Dilanda Bencana Iklim, tetapi Juga Jadi Harapan

Jennifer Collins
9 November 2022

"Benua Afrika paling menderita akibat perubahan iklim, tetapi dengan dukungan yang tepat dapat juga memainkan peran penting," kata Presiden Kenya William Ruto.

Instalasi energi surya di Afrika Selatan
Instalasi energi surya di Afrika SelatanFoto: Schalk van Zuydam/AP Photo/picture alliance

Negara-negara kaya, yang paling bertanggung jawab atas emisi bahan bakar fosil yang telah mengubah iklim, harus memenuhi janji dekarbonisasi dan membantu negara-negara berkembang yang paling terpukul oleh pemanasan global, kata Presiden Kenya William Ruto pada konferensi iklim COP27 PBB di Mesir.

Negara-negara Afrika berkontribusi sedikit terhadap emisi, tetapi menanggung "dampak paling parah," kata William Ruto hari Senin (07/11), berbicara atas nama Kelompok Negosiator Afrika (AGN). Dia menyebut "taktik penundaan" dan pada agenda perlindungan iklim "kejam dan tidak adil."

Pada saat yang sama, dia mengatakan bahwa Afrika dapat memainkan "peran positif yang sangat diperlukan dalam masa depan perubahan iklim planet ini" karena sumber daya energi terbarukan yang belum dimanfaatkan, lahan yang luas, dan tenaga kerja muda yang dinamis.

Ruto mengumumkan rencana untuk mengadakan pertemuan puncak benua Afrika yang berfokus pada aksi iklim, pertumbuhan hijau, dan transformasi berkelanjutan tahun depan. Dia juga mengumumkan rencana untuk meningkatkan tutupan pohon di Kenya dari sekitar 12% menjadi 30% selama 10 tahun ke depan.

Bencana topan Ana di Malawi, Januari 2022Foto: ASSOCIATED PRESS/picture alliance

Paling rentan terhadap perubahan iklim

Gabungan negara-negara Afrika berkontribusi tidak lebih dari 3% terhadap emisi CO2 kumulatif, sementara Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Inggris bertanggung jawab atas hampir setengahnya. Namun, benua Afrika adalah yang paling rentan terhadap malapetaka yang berjalan seiring dengan perubahan iklim.

Leah Namugerwa, seorang aktivis iklim muda Uganda, mengatakan selama pembicaraan pembukaan hari Senin (07/11), bahwa pada usia 14 tahun dia telah menyaksikan "tanah longsor yang membunuh begitu banyak orang karena kondisi cuaca yang buruk" dan bertanya apakah itu "keadilan bagi para pemimpin dunia untuk memilih keuntungan daripada kehidupan."

Sementara itu, kekeringan berkepanjangan di Kenya telah menyebabkan lebih dari 90% sumber airnya mengering. Panen gagal dan banyak hewan mati, yang berarti banyak orang tidak punya cukup makanan. William Ruto mengatakan kekeringan telah "menjadi kesengsaraan bagi jutaan orang" dan telah menyebabkan kerugian ekonomi lebih dari satu miliar dolar.

Negara-negara Afrika, serta negara-negara rentan iklim lainnya, menuntut mekanisme resmi harus menerima biaya kompensasi dari negara-negara pencemar kaya untuk menutupi biaya kerugian dan kerusakan parah yang disebabkan oleh pemanasan global. Namun, negara-negara kaya sejauh ini gagal memenuhi komitmen mereka untuk menyediakan USD100 miliar per tahun pada tahun 2020 untuk membantu negara-negara berkembang. 

Instalasi tenaga angin di KenyaFoto: www.vestas.com

Afrika, benua yang berlimpah dengan energi hijau

Ahli lingkungan dan mantan Wakil Presiden AS Al Gore mengatakan pada konferensi iklim hari Senin (07/11) bahwa Global North harus "bergerak melampaui era kolonialisme bahan bakar fosil." Alih-alih mendukung transisi ke energi terbarukan, negara-negara Eropa berebut untuk menemukan alternatif bahan bakar fosil Rusia dan berada dalam "perburuan gas" di negara-negara Afrika.

Al Gore menyebut langkah itu sebagai "jalan pintas untuk meninggalkan negara-negara di dunia menghadapi kekacauan iklim dan miliaran aset yang terdampar, terutama di sini, di Afrika."

Hanya 2% dari investasi global dalam energi terbarukan selama 20 tahun terakhir dilakukan di Afrika, menurut Badan Energi Terbarukan Internasional (IRENA), sebuah badan antar pemerintah yang mempromosikan penggunaan energi hijau.

Padahal Afrika memiliki potensi besar, kata Nemat Shafik, ekonom terkemuka dan Direktur London School of Economics, kepada para pemimpin dunia di COP. "Banyak negara Afrika berlimpah akan sinar matahari, angin, sungai, dan hutan. Dengan dukungan, mereka dapat melompati sistem energi kotor di masa lalu," kata Nemat Shafik.

"Revolusi industri hijau bisa menjadi kisah pertumbuhan baru untuk Afrika," tegasnya.

(hp/yf)

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait