"Sistem Peringatan Tsunami Berfungsi dan Sudah Digunakan"
3 Oktober 2018
Sistem peringatan tsunami di Indonesia tidak gagal, kata Jörn Lauterjung dari Geoforschungszentrums (GFZ) di Potsdam, yang turut membangun sistem itu tahun 2005.
Iklan
Setelah bencana tsunami Aceh dan Sumatera Utara tahun 2004, di Indonesia dipasang sistem peringatan dini tsunami dengan bantuan dana dari Jerman dan di bawah koordinasi pusat penelitian geologi Geoforschungszentrums (GFZ) di Potsdam. Anggota tim ahli Jerman yang turut membangun sistem itu, Jörn Lauterjung mengatakan dalam wawancara dengan DW, sistemnya berfungsi.
Deutsche Welle: "Dr. Jörn Lauterjung, jurubicara Badan Nasional Penanggulangan Bencana di Indonesia mengatakan, sistem peringatan dini tsunami yang turut Anda bangun sudah tidak berfungsi sejak 2012, karena masalah dana. Apakah sistemnya tidak berfungsi sebagaimana mestinya?
Jörn Lauterjung: Sistemnya berfungsi sesuai rencana dan sudah dioperasikan sejak lama. Lima menit setelah gempa (di Sulawesi Tengah), pusat pemantauan di Jakarta mengeluarkan peringatan tsunami, bahwa ada ancaman tsunami setinggi 30 centimeter sampai 3 meter. Mungkin yang dimaksud pejabat Indonesia itu adalah sistem dengan buoy di tengah laut.
Buoy ini di masa lalu memang sering rusak tertabrak perahu nelayan. Apakah sistemnya masih bisa mengeluarkan peringatan untuk kawasan-kawasan yang terancam?
Karena dulu memang sering ditemukan rusak, kami sudah memutuskan untuk tidak mengoperasikan buoy-buoy itu lagi. Tapi sistemnya berfungsi, juga tanpa buoy, karena kami selama menjalankan proyek ini sudah punya cukup banyak pengalaman. Saat ini kami sudah bisa mengukur gerakan-gerakan vertikal di dasar laut melalui stasiun-stasiun GPS yang dipasang di darat. Itu berfungsi sama baiknya.
Instansi terkait di Indonesia mengeluarkan peringatan dini tsunami, namun memcabutnya lagi setelah kira-kira setengah jam. Apa itu sesuai prosedurnya?
Menurut prosedur internasional yang kami sepakati bersama dalam kasus seperti itu, sebenarnya peringatan tsunami harus berlangsung paling sedikit selama dua jam. Tapi dalam kasus ini, pembatalan peringatan tsunami oleh instansi terkait di Indonesia, yaitu BMKG, sebenarnya tidak memainkan peran lagi, karena menurut informasi yang ada, gelombang tsunami saat itu sudah berlalu. Gempa bumi terjadi sekitar pukul 18. Lalu peringatan tsunami dikeluarkan pukul 18.07. Sedangkan gelombang tsunami melanda palu pukul 18.25. Peringatan tsunami dicabut sekitar pukul 18.36.
Berarti, sebenarnya ada peringatan kepada penduduk tentang tsunami?
Gempa dan Tsunami Mengguncang Palu
Gempa 7,7 SR yang guncang Donggala memicu gelombang tsunami di Palu. Gempa dua kali terjadi sebelum tsunami menerjang dan menyebabkan nyaris 400 korban tewas. Gempa dan tsunami sudah pernah terjadi di Sulawesi Tengah.
Foto: picture alliance/AP Photo/M. Rifki
Korban tewas bertambah
Seorang ayah menggendong jenazah anaknya yang tewas akibat tsunami di Palu, Sulawesi Tengah. Tsunami lebih dari 2 meter menyapu pesisir Palu dan Donggala. Sebagian besar korban yang ditemukan awalnya hanya di Palu, Sementara lokasi terparah di Donggola, Sigi dan Parigi sulit dicapai tim evakuasi, sehingga perkiraan jumlah korban jiwa diduga mencapai ribuan.
Foto: picture alliance/AP Photo/M. Rifki
Terjebak di bawah reruntuhan
Diperkirakan banyak korban yang terjebak bangunan yang roboh akibat gempa. Di Palu, fokus pencarian di antaranya Hotel Roa-Roa, Mal Ramayana, Restoran Dunia Baru, Pantai Talise dan Perumahan Balaroa. Di Balaroa, akibat proses likuifaksi ada bagian jalanan yang naik dan perumahan warga yang ambles sedalam 5 meter. Sekitar 90 warga diduga terjebak di dalam reruntuhan.
Foto: Reuters/Antara Foto
Identifikasi korban
Meski jumlah korban tewas yang dievakuasi mencapai ratusan korban, namun yang dapat diidentifikasi melalui lima rumah sakit di Palu menurut catatan BNPB terbatas. "Jumlah itu juga sebagian karena tsunami, sebagian karena gempa sebelumnya yang mengakibatkan tsunami itu. Misalnya saat gempa itu tertimpa reruntuhan," papar juru bicara BNPB, Sutopo Purwo Nugroho.
Foto: picture alliance/AP Photo/M. Rifki
Ratusan terluka
Ratusan orang terluka dan terpaksa dirawat di luar rumah sakit. Sebagian besar terluka akibat tertimpa reruntuhan, atau saat menyelamatkan diri. Saat gempa banyak tembok bangunan yang roboh. Komang Adi Sujendra, Direktur Rumah Sakit Palu meminta bantuan. "Kami membutuhkan rumah sakit lapangan, tim medis, obat-obatan dan selimut."
Foto: Getty Images/AFP/M. Rifki
Pemakaman massal
Banyaknya jumlah korban serta demi mencegah penyebaran penyakit menyebabkan pemakaman massal menjadi pilihan. 18 jenazah yang dimakamkan pada tahan awal telah diidentifikasi sebelumnya di RS Bhayangkara Polri.
Foto: DW/Nurdin Amir
Ratas di Palu
Joko Widodo langsung memimpin rapat terbatas setibanya di Palu, Sulawesi Tengah. Proses evakuasi, pembenahan akses jalan dan komunikasi jadi prioritas utama tanggap darurat saat Jokowi mengunjungi lokasi terdampak bencana gempa dan tsunami.
Foto: Biro Pers Setpers
Mengantre BBM
Antrean panjang terjadi di berbagai SPBU di Palu. Aliran listrik yang terputus, membuat warga terpaksa mengantre hingga malam. Selain warga, tempat yang juga mendesak membutuhkan pasokan BBM adalah rumah sakit.
Foto: DW/N. Amir
Tanpa listrik
Pasca gempa, infrastruktur hancur dan saluran komunikasi terputus. Warga bertahan di lapangan terbuka, karena takut berada di dalam bangunan bila gempa susulan terjadi.
Foto: picture-alliance/AP Photo/Y. Litha
Akses jalan terputus
Akibat gempa dan tsunami, jalanan di Palu, Sulawesi Tengah, sulit diakses akibat jalan yang menghubungkan Poso dan Palu terputus. Bukan hanya di dalam kota, akses di wilayah perbatasan dengan kota tetangga juga terdampak gempa. Donggala, wilayah yang terkena dampak terparah sulit dicapai, sehingga evakuasi korban terhambat.
Foto: picture alliance/AP
Evakuasi daerah terparah
Warga turut membantu proses evakuasi para korban pasca gempa mengguncang Sulawesi Tengah, Jumat (28/09). Presiden Jokowi juga memerintahkan Menko Polhukam untuk mengkoordinasi BNPB serta menginstruksikan TNI untuk melakukan penanganan darurat baik pencarian korban, evakuasi, maupun penyiapan kebutuhan-kebutuhan dasar yang diperlukan korban selamat.
Foto: Getty Images/AFP/M. Rifki
Masjid Baiturrahman
Masjid Baiturrahman tak begitu jauh dari pesisir Pantai di Palu. Ketika gelombang tsunami terjadi, banyak umat yang bersiap melakukan sholat maghrib.
Foto: BNPB
Jembatan Kuning Ponulele
Dari pantauan udara terlihat, jembatan setinggi 20,2 meter yang jadi ikon Kota Palu luluh lantak akibat terjangan tsunami yang dahsyat. Jembatan lengkung pertama di Indonesia yang membentang di atas Teluk Talisa itu roboh dan turut membawa mobil yang melintas di atasnya.
Foto: BNPB
Tsunami 5 meter
BNPB menyebutkan tsunami yang menghantam Palu sempat mencapai ketinggian lima meter. Saat terjadi gempa yang disusul tsunami sebagian besar warga masih tetap melanjutkan aktivitas.
Foto: Getty Images/AFP/O. Gondronk
Tak segera lari
Jumlah korban diperkirakan masih akan bertambah, sebab diketahui ada "puluhan hingga ratusan" orang yang sedang berkumpul melakukan perayaan di pantai Talise, Palu saat tsunami terjadi. "Ketika peringatan tsunami terjadi kemarin, warga tetap melanjutkan aktivitas mereka di dekat pantai dan tidak segera berlari dan mereka menjadi korban," ungkap juru bicara BNPB, Sutopo Purwo Nugroho.
Foto: Getty Images/AFP/B. Ismoyo
Peringatan tsunami
Sebelum gempa berkekuatan 7,7 SR yang memicu tsunami terjadi, sekitar tiga jam sebelumnya, gempa pertama terjadi di Donggala. Peringatan dini tsunami segera aktif saat gempa terjadi, namun sesudah setengah jam dan situasi dianggap kondusif, peringatan tsunami diakhiri. Peringatan dicabut berdasarkan pemantauan visual dan peralatan di laut.
Foto: picture-alliance/AP Photo/Y. Litha
Penyebab gempa dan tsunami Donggala dan Palu
Gempa 7,7 SR yang mengguncang Donggala memicu gelombang tsunami di Kabupaten tersebut dan Kota Palu. Gempa bumi tersebut merupakan gempa tektonik yang dangkal akibat aktivitas Sesar Palu-Koro. Patahan Palu-Koro merupakan patahan dengan pergerakan terbesar kedua di Indonesia, setelah patahan Yapen, dengan pergerakan mencapai 46 mm/tahun.
Foto: Getty Images/AFP/M. Rifki
Gempa dan tsunami pernah terjadi
Bukan pertama kali gempa dan tsunami terjadi, baik di Donggala maupun Palu. Lokasinya yang berada di Sesar Palu-Koro menjadikan wilayah itu rawan gempa dan tsunami. BNPB merilis gempa dan/atau tsunami pernah terjadi 10 kali. Gempa pertama tercatat terjadi 1 Desember 1927 di Teluk Palu. Sedangkan tsunami setinggi 3,4 meter pernah terjadi tahun 1996 di Donggala. (Ed: ts/yp)
Foto: AFP/Getty Images/J. Samad
17 foto1 | 17
Ya, peringatan itu disampaikan kepada pemerintahan setempat dan semua instansi yang dengan penanggulangan bencana pada tingkat lokal. Lalu mereka yang seharusnya menyebarkan peringatan secepatnya kepada masyarakat lokal. Dari berita-berita media disebutkan, penduduk tidak menerima peringatan itu. Apa sebabnya, saya tidak mampu mengatakan, sebab sejujurnya, terlalu sedikit informasi untuk menilai apa yang sebenarnya terjadi saat itu.
Mungkinkah infrastruktur untuk penyebaran informasi di kawasan pantai tidak ada, sehingga peringatan tsunami tidak bisa langsung disampaikan kepada penduduk setempat?
Ya mungkin saja, karena misalnya jaringan listrik mati setelah gempa sebelumnya. Lalu jaringan listrik darurat tidak berfungsi, atau ada alasan lain. Saya tidak punya informasi, tentang apa yang terjadi di lokasi saat itu. Tentu saja bisa dimengerti, kalau orang-orang di Indonesia saat ini punya masalah lain, daripada menjawab pertanyaan-pertanyaan dari Jerman. Tapi yang jelas, peringatan tsunami sampai ke pemerintahan lokal dan lembaga-lembaga terkait. Apa yang kemudian terjadi, kami tidak tahu.
Apakah sebagai konsekuensinya perlu dipikirkan perbaikan-perbaikan teknis, sehingga dalam kasus bencana informasi itu bisa dijamin sampai kepada penduduk yang membutuhkannya?
Tentu saja selalu harus dipikirkan solusi teknis yang lebih baik. Tapi menurut saya, kita juga harus memperhatikan bagaimana caranya meningkatkan pengetahuan dan perhatian masyarakat, jika ada peringatan seperti itu. Ini kelihatannya yang tidak berfungsi, karena penduduk tentu merasakan telah terjadi gempa. Mereka pasti merasakan sendiri, gempa itu cukup kuat dan lama, sehingga mereka bisa menyimpulkan sendiri, tanpa mendapat peringatan dari Jakartam bahwa orang harus cepat menyingkir dari kawasan pantai menuju tempat yang lebih tinggi.
Mungkin justru karena orang tidak mendengar ada peringatan tsunami, sehingga mereka berpikir, gempa bumi itu tidak mengakibatkan gelombang pasang yang hebat?
Saya kira sebaliknya: Lebih baik kita lari lebih dulu, sekalipun ternyata percuma, daripada tewas diterjang tsunami. Di Jepang misalnya, sering sekali ada alarm tsunami, yang ternyata tidak terjadi. Tapi orang-orang tidak mengatakan "Alarmnya salah", melainkan mereka mengatakan "kita kali ini beruntung".
Ahli seismologi Indonesia Widjo Kongko dalam wawancara dengan DW mengatakan, sistem yang sekarang kurang memadai dan ahrus ada sensor yang dipasang di dasar laut. Bagaimana pendapat Anda?
Ketika sistem peringatan dini tsunami di Indonesia dirancang dan dibangun tahun 2005, Widjo Kongko sedang menyelesaikan program S3-nya di tempat kami. Memang benar apa yang dia katakan. Tentu saja lebih baik lagi, kalau kita bisa memasang seismometer di dasar laut, karena kita akan bisa menghitung dampak gempa lebih akurat lagi. Misalnya memasang kabel di lepas pantai, lalu seismometer dipasang di kabel pada jarak tertentu. Tapi ini tentu akan mahal, kalau kita mau memasangnya di seluruh lepas pantai Indonesia. Ada juga ilmuwan Rusia yang misalnya mengatakan, fenomena tsunami sebelumnya bisa diamati dari atmosfir. Tapi itu sama sekali belum terbukti. Tentu saja, kalau kita bisa memprediksi gempa bumi sebelum itu terjadi, kita tidak perlu sistem peringatan dini tsunami. Tapi kita tidak bisa memprediksi dengan tepat, kapan gempa akan terjadi, juga di tahun-tahun mendatang kita tidak akan bisa melakukannya. jadi saya tidak melihat alternatif untuk sistem peringatan dini yang kita miliki sekarang.
Dr. Jörn Lauterjung adalah Direktur Divisi "Data, Informasi dan Jaringkan Teknologi Informasi (IT)" di GFZ Potsdam. Wawancara dilakukan oleh editor DW Alexander Freund (hp)
Ketika Bumi Meluapkan Amarahnya
Setiap tahun sekitar 10.000 orang meninggal akibat gempa bumi di seluruh penjuru dunia. Getarannya kadang memancing tsunami atau kerusakan alam lainnya. DW menelisik berbagai bencana terdasyat selama seabad terakhir.
Foto: Getty Images/AFP/J. Barret
Terdahsyat Dalam Catatan Sejarah
Gempa bumi terhebat dalam sejarah terjadi di Chili tahun 1960. Gempa berkekuatan 9.5 Skala Richter tersebut mengguncang Chili selama 10 menit dan menyebabkan 5.700 orang tewas dan kerusakan infrastruktur yang masif. Gempa juga memicu tsunami di tempat lain. Akibatnya 130 orang tewas di Jepang dan 61 orang di Hawaii. Gambar memperlihatkan reruntuhan Pelabuhan Corral di provinsi Valdivia, Chili.
Foto: Getty Images/AFP
Bencana Atom Jepang
Anjing Penyelamat dikerahkan untuk mencari korban di balik reruntuhan. 21.000 tewas dan lebih 4.000 dinyatakan hilang, akibat tsunami yang melanda Fukushima 11 Maret 2011 yang dipicu gempa berkekuatan 9.1 Skala Richter. Bencana ini turut menggoncang dan membocorkan pembangkit listrik tenaga nuklir Daiichi dan tercatat sebagai bencana atom terburuk di dunia selama 25 tahun terakhir.
Foto: Getty Images/AFP/Y. Chiba
Tsunami Aceh
Gempa bumi tektonik berkekuatan hampir 9.1 Skala Richter memicu gelombang tinggi yang menyapu pesisir di sepanjang pantai Samudra Hindia. Tsunami setinggi 30 meter tersebut mengakibatkan sekitar 280.000 orang tewas di 14 negara yang berbeda. Bencana tsunami ini tercatat sebagai salah satu bencana alam paling mematikan dalam sejarah.
Foto: Getty Images/P.M. Bonafede/U.S. Navy
Gempa di kaki Himalaya
Dikhawatirkan hingga 10.000 orang tewas akibat gempa berkekuatan 7.9 Skala Richter dengan episentrum 80 km di barat ibu kota Kathmandu, yang mengguncang Nepal 25 April 2015. Gempa juga memicu longsor salju (avalanche) yang menewaskan 250 warga dan puluhan pendaki gunung di Himalaya. Sejauh ini dikonfirmasi lebih 7.300 tewas, namun banyak warga yang masih dinyatakan hilang..
Foto: Reuters/N. Chitrakar
Gempa Mematikan di Tiongkok
Foto kereta api yang terlantar ini adalah suasana di Tangshan, Tiongkok pasca gempa bumi yang menghancurkan kota industri tersebut pada 28 Juli 1976. Gempa berkekuatan 7.4 SR yang mengguncang kawasan industri di provinsi Hebei itu dan menewaskan sedikitnya 242.000 orang. Namun dipercaya jumlah sebenarnya lebih tinggi lagi. Perkiraan korban tewas mencapai sekitar 500.000 orang.
Foto: Getty Images/Keystone/Hulton Archive
Gempa Haiyuan yang Menggigil
Gempa berkekuatan 8.3 SR meluluhlantakkan wilayah Haiyuan, provinsi Ningxia pada musim dingin tahun 1920. Gempa susulan terus terasa hingga hampir tiga tahun setelahnya. Jumlah korban yang tewas akibat gempa diperkirakan sekitar 235.000 orang. Namun korban tewas di tenda-tenda darurat terus bertambah akibat kedinginan .
Foto: Getty Images/AFP
Gempa Haiti
Seorang pria berjalan di antara reruntuhan di Port-au-Prince pasca gempa yang mengguncang Haiti 12 Januari 2010. Gempa berkekuatan 7.0 SR tersebut menewaskan sekitar 200.000 orang dan mengakibatkan ribuan gedung rata dengan tanah.