Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, yang lebih populer dengan panggilan Ahok, meminta dukungan kepolisian untuk menuntaskan soal sampah.
Iklan
Ahok hari Jumat (06/11/15) mengundang Kapolda Metro Jaya Inspektur Jendral Polisi Tito Karnavian untuk membahas masalah tempat pembuangan sampah terpadu (TPST) Bantar Gebang di Bekasi, Jawa Barat.
"Karena bersama dengan Polda Metro Jaya, kami sudah mencanangkan program Lima Tertib di ibukota, salah satunya tertib soal buang sampah. Makanya, kita bahas ini sekarang," kata Ahok usai pertemuan dengan Kapolda Tito Karnavian di Balai Kota DKI Jakarta.
Gubernur DKI Jakarta mengatakan, dia akan menyelesaikan permasalahan sampah di ibukota, tapi semuanya harus dilakukan secara bertahap.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga berencana membangun fasilitas pengelolaan awal sampah di beberapa tempat di Jakarta.
"Sebelumnya, kami boleh buang sampah sampai tiga rit. Boleh lewat Bogor 24 jam. Tapi, sekarang dibatasi cuma boleh malam saja dan hanya satu rit. Silakan saja. Kami akan bilang ke Polda," kata Ahok, menanggapi ribut-ribut soal sampah dari Jakarta itu.
Kapolda Metro Jaya Tito Karnavian menyatakan siap mengerahkan anggota kepolisian untuk mengawal truk sampah DKI Jakarta yang menuju TPST Bantar Gebang.
"Dengan pengawalan itu, diharapkan tidak terjadi lagi aksi penghadangan. Kami berencana membentuk tim khusus bersama dengan Kapolres Metro Bekasi Kota untuk memastikan kelancaran truk sampah sampai Bantar Gebang," kata Tito.
Dengan nada memperingatkan, Kapolda Metro Jaya juga menegaskan, jika perlu para penghadang ditangkap.
"Kalau ada yang menghadang, saya perintahkan tangkap saja. Intinya, kami berupaya menjamin agar arus sampah dapat berjalan lancar dari Jakarta ke Bantar Gebang," tandasnya.
Senja di Bantar Gebang
Pemulung biasanya tidak mengenal kata pensiun. Jikapun ada, mereka tidak berhenti melainkan mewariskan pekerjaannya kepada anak-anaknya. Sebagian lain terpaksa mengais melewatii usia senja lantaran kondisi keuangan
Foto: DW
Minim Pengakuan
Muhaemin, 67, sudah mengais sampah di Bantar Gebang sejak 35 tahun. Ketika penglihatannya memburuk, ia memutuskan berhenti bekerja. Muhaemin dan isterinya tidak menerima uang kompensasi dari pemerintah kota. Keduanya dipersulit ketika hendak mengurus KTP lokal. Sebab itu ia masih membawa KTP dari Indramayu, kampung yang sudah ditinggalkannya sejak tiga dekade lalu.
Foto: DW/R. Nugraha
Pemberhentian Terakhir
Lebih dari 6000 ton sampah yang diangkut oleh 600 truk mendarat di Bantar Gebang setiap hari. Menjadikan tempat pembuangan akhir di Bekasi itu terbesar se Indonesia. 5000 pemulung mengais nafkah dan hidup dari sampah buangan penduduk. Kendati tidak diakui pemerintah lokal, keberadaan mereka tidak diusik.
Foto: DW
Turun Temurun
Muhaemin hidup di sebuah gubug berdinding rotan yang ditopang kayu bambu. Putra-puterinya hidup di gubug serupa berdampingan. Pria tua itu tergolong beruntung karena tidak lagi harus mengais sampah. Muhaemin mewariskan pekerjaannya itu kepada sang anak.
Foto: DW
Sepanjang Hari
Dayini, 57, menyortir sampah plastik buat dijual kepada penadah. Ia dan sang suami menempati sepetak tanah di atas tumpukan sampah untuk melakukan pekerjaan harian. Setiap hari keduanya mampu menjual lima keranjang sampah plastik yang bernilai kira-kira Rp. 30.000
Foto: DW
Ala Kadarnya
Pemulung biasanya mengenakan sepatu karet agar tidak terpapar zat-zat beracun selama bekerja di timbunan sampah. Tapi sebagian lain memilih cara yang lebih sederhana. Dayini misalnya memakai sepatu yang ia temukan di sampah. Penyakit bukan kekhawatiran terbesarnya. Ia sendiri bangga belum pernah sakit parah selama mengais di Bantar Gebang
Foto: DW
Ketergantungan
Rasja, 68, suami Dayini. Ia mendapatkan uang tambahan dengan menjahit karung buat dipakai para pemulung. Ia pernah bersumpah tidak akan meminjam uang dari penadah. Tapi kelahiran cucu pertama memaksanya berubah pikiran. Fenomena semacam ini menjamur di Bantar Gebang. Para penadah menjerat pemulung ke dalam ketergantungan melalui pinjaman berbunga tinggi.
Foto: DW
Kemiskinan
Rasja dan Dayini hidup beberapa ratus meter dari timbunan sampah, tanpa air bersih dan sanitasi yang memadai. Perlengkapan dapur yang mereka gunakan kebanyakan berasal dari sampah. Gambaran serupa sering ditemui di rumah-rumah pemulung di Bantar Gebang
Foto: DW
Kehidupan yang Lebih Baik
Rasja dan Dayini berharap nasib yang lebih baik jika sudah tidak lagi memulung. Keduanya berniat pulang ke kampung halamannya di Indramayu untuk menikmati sisa usia.