Ahok dan Trend Persekusi Politik yang Mengatasnamakan Agama
11 Desember 2017
Menurut Foreign Policya, Ahok masuk jajaran para pemikir dunia Dipenjaranya seorang Ahok merupakan titik awal aktifnya kembali politik Islam di Indonesia.
Iklan
Semua berawal dari sebuah transkrip yang salah, singkatnya pidato seorang Basuki ‘Ahok' Tjahaja Purnama menjadi viral dan memicu protes dari kelompok Islam, tanpa mereka melakukan ricek terhadap transkrip tersebut. Padahal jelas, sang pentraksrip Buni Yani lalai melengkapi transkrip tersebut dengan kata ‘pakai'.
Tentu saja pemakaian kata ‘pakai' membuat pidato Ahok bermakna beda. Ahok saat itu mengatakan, "Bapak Ibu nggak bisa pilih saya, karena dibohongin (pakai) surat Al Maidah 51 macem-macem itu.” Penghilangan kata pakai bermakna sangat dahsyat, yakni Alquran lewat Surat Al Maidah 51 telah membohongi umat selama ini. Namun jika ditambahkan kata ‘pakai' artinya ada pihak tertentu yang menggunakan ayat ini sebagai alat politik agar tidak memilihnya sebagai gubernur DKI Jakarta berikutnya, bukan kitabnya.
Bukan bermaksud membuka luka lama pendukung Ahok yang kecewa dengan manuver kelompok tertentu mendeskreditkan kandidat mereka dengan isu SARA dan akhirnya mengantarkan idola mereka mendekam di penjara. Tapi kasus Ahok ini menjadi pelajaran penting bukan saja bagi Indonesia, tapi dunia. Saya menyebutnya sebagai persekusi politik.
Persekusi politik dulu pernah menimpa kelompok kiri ketika Soeharto hendak meneguhkan kekuasaanya di Indonesia. Sejarah yang selalu disembunyikan oleh negara kita sendiri hingga hari ini.
Saya sendiri tidak setuju Ahok disebut penista agama seperti yang diputuskan majelis hakim. Bagi saya Ahok adalah penista para penista agama yang menggunakan ayat Al Quran sebagai alat untuk mempengaruhi pemilih dengan dasar yang tidak logis: Meminta seseorang memilih orang yang seagama. Apa iya, kita mau menyerahkan tugas itu pada yang bukan ahlinya hanya karena dia seagama dengan kita?
Dan 1000 Lilin Pun Menyala di Kota Bonn....
Aksi keprihatinan atas politisasi agama dan semakin melemahnya nilai-nilai toleransi di Indonesia, mendorong warga Indonesia di Bonn, Jerman berkumpul bersama menyuarakan perdamaian di negara yang berbhinneka, Indonesia
Foto: DW/A. Purwaningsih
Solidaritas dari Bonn
Hari Minggu (14/05) di lapangan Kaiserplatz, Bonn, Nordrhein Westfalen, Jerman, seratusan warga Indonesia berkumpul bersama dalam aksi mendukung Bhinneka Tunggal Ika. Mereka menyuarakan keprihatinan bersama atas membesarnya bentuk-bentuk diskriminasi, intoleransi dan kebencian antar sesama warga negara di Indonesia.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Menolak politisasi agama
Mereka menolak dipakainya sentimen agama dan ras diluar batas etika dan kemanusiaan untuk kemenangan politik sesaat pada proses pemilihan elektoral di ibukota, sehingga berujung perpecahan di negara yang kaya kemajemukan ini. Acara juga dihadiri oleh beberapa orang Jerman yang peduli Indonesia.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Tolak dominasi elite
Para peserta aksi tak ingin kehidupan bersaudara antar agama, suku, ras di Indonesia dikuasai dan didominasi oleh segolongan mayoritas saja. Dalam pernyataan sikapnya, mereka menyatakan keprihatinannya atas perilaku elite, politisi, partai politik dan pemimpin agama yang dianggap telah mengutamakan kepentingan kekuasaan daripada kesatuan dan persatuan negara, sehingga berbuntut perpecahan.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Solidaritas bagi korban pasal penistaan agama
Bagi para peserta aksi, keputusan pengadilan dalam kasus pidana Gubernur DKI Jakarta non aktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dianggap sebagai preseden buruk bagi peradilan Indonesia. Menurut mereka, goyahnya independensi pengadilan tak lain adalah akibat tekanan massa dan kepentingan politik golongan.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Lilin: menyalakan akal sehat
Beberapa peserta aksi mengharapkan proses pengadilan banding yang akan dijalani Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) akan lebih utamakan keadilan. Sebagaimana diketahui, Ahok divonis dua tahun penjara atas kasus penistaan agama, pasal karet yang banyak dikritisi dunia internasional. Cahaya lilin dianggap menjadi simbol penerang dalam kegelapan yang memburamkan akal sehat.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Saat doa dipanjatkan
Doa-doa dari berbagai keyakinan dipanjatkan. Di antaranya berupa: permohonan agar kebhinnekaan di tanah air tetap terpelihara, Indonesia rukun dan damai. Dalam doa itu juga tersisip pesan, agar kaum dewasa mampu mendidik generasi anak-anak kini membangun toleransi yang besar terhadap perbedaan suku, agama dan ras.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Lagu-lagu patriotik pun dikumandangkan
Sebagian besar dari mereka mengenakan pakaian yang didominasi warna gelap, sebagai ungkapan berkabung. Pekik merdeka berkumandang berulang kali. Sementara lagu-lagu patriotik dengan semangat dikumandangkan bersama. Ekspresi semangat dan optimisme menyeruak di wajah peserta aksi yang lantang menyanyikan Indonesia Raya, Garuda Pancasila, hingga Berkibarlah Benderaku serta lagu-lagu lainnya.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Diprakarsai ibu di hari ibu
Aksi ini digerakkan oleh ibu-ibu Indonesia di Bonn yang prihatin dengan melebarnya intoleransi di tanah air, di antaranya Lisa, Shinta dan Nana. Selain momentumnya bersamaan dengan aksi-aksi 1000 lilin serupa di seluruh dunia, aksi di Bonn juga digelar bertepatan dengan peringatan Hari Ibu di Jerman. Anak-anak muda yang tergabung dalam Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) juga tampak hadir.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Merah Putih tetap berkibar
Saat lagu Indonesia Pusaka dikumandangkan, tampak keharuan menyeruak, dimana beberapa peserta aksi mulai menyeka air mata. Namun ketika lagu Bendera dari grup warna Cokelat dinyanyikan, beberapa anak muda tampak kembali semangat menghentak kaki dan mengepal tangan. Beberapa anak muda dalam aksi ini mengaku tak rela tanah air mereka terpecah akibat kepentingan kelompok.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Demi NKRI
Meski jauh dari kampung halaman, ingatan sebagian besar masyarakat Indonesia yang ikut dalam aksi peduli ini kembali ke tanah air. Mereka tak ingin segala bentuk perpecahan menghancurkan keberagaman yang telah menjadi nadi bangsa Indonesia. Perhimpunan masyarakat Indonesia-Jerman pun berpartisipasi di acara ini.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Solidaritas berbangsa dalam kemajemukan
Warga masyarakat yang berhimpun dalam aksi 1000 lilin di Bonn ini, bukan hanya dihadiri warga Kota Bonn, namun juga dari berbagai kota-kota lain di Bonn, seperti Düsseldorf, Aachen dan Dresden. Bahkan beberapa orang yang berdomisili di Indonesia, namun tengah menjalani kegiatan di kota Bonn, juga menyempatkan diri ambil bagian dalam aksi ini.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Pergi bersih, pulangpun bersih
Aksi berakhir, para peserta aksi segera membereskan lilin-lilin yang telah dipakai. Mereka segera bergotong royong membereskan dan membersihkan arena aksi. Lelehan lilin yang sempat menetes dikikis hingga kembali bersih, agar tak ada orang tergelincir keesokan harinya.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Di bawah payung hitam
Aksi di Bonn usai, hujan pun turun, namun sebagian warga masih bertahan. Mereka kembali menyanyi dan menaruh harap, di masa depan perdamaian akan menyelimuti zamrud kathulistiwa yang kaya akan keragaman. Di kota-kota lainnya, sebagian warga Indonesia yang berdomisili di Jerman mengadakan aksi serupa.
(Ed: Purwaningsih/Setiawan)
Foto: DW/A. Purwaningsih
13 foto1 | 13
Padahal jika mencari kelemahan Ahok untuk kampanye (tak perlu kampanye hitam), kelompok oposisi sangat mudah menemukannya. Misal soal penataan kota yang dinilai tidak partisipatif. Toh kelompok oposisi juga sudah membina warga anti penggusuran (Dari penyelidikan saya, kelompok FPI merangkul warga korban penggusuran). Tapi kampanye partai oposisi menjadi sangat dangkal, berkelibat di urusan SARA.
Karena itu, tak heran jika sosok Ahok kemudian menarik perhatian media asing, salah satunya adalah Majalah Foreign Policy yang baru saja menobatkan ia sebagai pemikir global 2017.
Dalam tulisan Benjamin Soloway itu, Ahok digambarkan sebagai sosok yang punya program pasti untuk menata kota, meski tak semua rencana tata kotanya diamini warga yang tinggal di bantaran kali.
Tapi Ahok pribadi juga digambarkan sebagai seorang Tionghoa dan Kristen yang menempuh karir berbeda dari lingkungannya (Orang Tionghoa jarang aktif di politik tapi dunia bisnis) dan memilih berterus terang tentang latar belakangnya ini. Keterusterangannya itu mungkin yang membuat Foreign Policy tertarik untuk mengulasnya dan menobatkannya sebagai salah satu pemikir global. Dan ia juga menentang kelompok fundamentalis yang mencoba menjatuhkannya dengan menggunakan keminoritasannya itu.
Geger Pacinan: Sejarah Kelam Batavia 1740
Tumpahnya darah etnis Tionghoa di Batavia tahun 1740 menjadi bagian sejarah kelam ibukota metropolitan yang gemerlap ini.
Foto: Public Domain
Membangun Batavia
Awal abad ke-17, Belanda membutuhkan bantuan dalam pembangunan kota pesisir di Hinda Belanda. Kaum migran Tionghoa bekerja sebagai tukang bangunan, buruh pabrik gula dan berdagang. Sebagian tinggal di dalam tembok Batavia, sisanya di luar tembok. Beberapa di antara mereka menjadi kaya karena berdagang, namun tidak sedikit yang miskin dan dimanfaatkan oleh VOC.
Foto: Public Domain
Merosotnya pendapatan VOC
Awal awad ke 17, Kamar Dagang VOC kalah bersaing dengan maskapai dagang Inggris, Britisch East India Company. Alhasil VOC pusat menekan VOC Hindia Belanda untuk menaikkan pendapatan. Meningkatnya imigran Tionghoa yang masuk ke Batavia bukan lagi dianggap bantuan, melainkan ancaman. Tahun 1719, jumlah etnis Tionghoa lebih dari 7500 jiwa, sementara tahun 1739 melonjak jadi lebih dari 10 ribu.
Foto: public domain
Gula dunia merosot
Di pasar dunia, harga gula yang menjadi andalan VOC menurun, akibat banyaknya ekspor gula ke Eropa. Hal ini menyebabkan pabrik gula di Hindia Belanda terus merugi. Angka pengangguran termasuk para buruh gula Tionghoa di Batavia pun meningkat.
Foto: public domain
Aturan izin tinggal diperketat
Gubernur Jendral Hindia Belanda saat itu Adriaan Valckeneir memberlakukan aturan izin tinggal yang ketat. Ancamannya: penjara, denda atau di deportasi. Para etnis Tionghoa kaya merasa diperas. Semenatara itu isu berkembang, jika aturan izin tinggal tak dipenuhi, para buruh dan pengangguranTionghoa dikirim ke Zeylan (Sri Lanka). Etnis Tionghoa didera kecemasan.
Foto: Public Domain
Korupsi merajalela
Sementara kaum Tionghoa terdiskriminasi oleh pembatasan itu, oknum pejabat diduga memanfaatkan aturan untuk meraup duit ke kocek mereka sendiri. Situasi itu menciptakan rasa frustrasi yang berlanjut dengan perlawanan terhadap VOC. Perlawanan terjadi tanggal 7 Oktober 1740. Ratusan etnis Tionghoa menyerbu pabrik gula, pos-pos keamanan VOC, disusul serangan ke Benteng Batavia keesokan harinya.
Foto: Public Domain
Konflik internal di Dewan Hindia
Kebijakan pembatasan etnis Tionghoa sebenarnya ditentang keras oleh beberapa kalangan lain di Dewan Hindia, misalnya mantan gubernur Zeylan, Gustaaf Willem baron van Imhoff, yang datang kembali ke Batavia tahun 1738. Namun Valckeneir tetap mengambil tindakan tegas dan mematikan dalam mengatasi kerusuhan di bawah otoritasnya.
Foto: Public Domain
Pecah pemberontakan
Situasi itu menciptakan rasa frustrasi yang berlanjut dengan perlawanan terhadap VOC. Perlawanan memuncak pada tanggal 7 Oktober 1740. Ratusan etnis Tionghoa menyerbu pabrik gul, pos-pos keamanan VOC, disusul serangan ke Benteng Batavia kesokan harinya.
Foto: Public Domain
Pembumihangusan rumah kaum Tionghoa
9 Oktober 1740, tentara VOC mengatasi pemberontakan, berbalik mengejar pemberontak. Rumah-rumah & pasar warga Tionghoa dibumihanguskan. Ratusan warga Tionghoa lari ke kali, diburu & dibantai tanpa ampun. Kali Angke & Kali Besar banjir darah. Razia etnis Tionghoa berlanjut. Bahkan Dewan Hindia menjanjikan hadiah per kepala etnis Tionghoa yang dipancung. Hal itu memancing etnis lain ikut memburu.
Foto: Public Domain
Gustaaf Willem van Imhoff gantikan van Valkeneir
Diperkirakan hanya sekitar 600 hingga 3000 etnis Tionghoa yang selamat akibat insiden itu. Valckeneir ditarik kembali ke Belanda dan tahun 1742 ia digantikan Gustaaf Willem Imhoff yang berhasil meyakinkan pemegang saham utama VOC, bahwa Valckenier yang memicu pembantaian di Batavia.
Foto: Public Domain
9 foto1 | 9
Apakah penghargaan ini bias?
Dari kacamata sebagian orang Indonesia, isu dipenjaranya Ahok mungkin sekedar isu ‘penista agama'. Kita memang tidak bisa lepas dari agama, di KTP pun harus mencantumkan agama. Apalagi Indonesia disebut semakin relijius.
Tentu saja dugaan ini bukan isapan jempol. Setahun yang lalu saya pernah menulis tentang “Apakah Islam di Indonesia sedang dipimpin kelompok garis keras?”. Di tulisan yang juga opini itu saya menceritakan bagaimana secara perlahan gerakan Islam konservatif tumbuh subur di Indonesia. Pelan-pelan peran dua organisasi Islam tradisional seperti NU dan Muhammadiyah digantikan oleh kelompok Tarbiyah, Salafi, dan Hizbut Tahrir Indonesia. Sebagian anggota Muhammadiyah sendiri akhirnya bergabung dengan kelompok Tarbiyah. (Bagi yang tidak tahu Tarbiyah, kelompok ini banyak diasosiasikan dengan PKS)
Karena akulturasi budaya ‘pemikiran baru' dari kelompok Islam yang masih berusia muda dibanding kelompok pendahulunya ini berlangsung sangat perlahan dengan proses yang cermat, hampir tak ada yang menyadari bahwa memang konservatisme agama di Indonesia meningkat dibanding zaman ketika Soeharto masih berkuasa. Tentu saja ini adalah bagian yang pahit dari kebebasan pasca reformasi.
Narasi Makar Hizb Tahrir
Keberadaan Hizb Tahrir sering dianggap duri dalam daging buat negara-negara demokrasi. Pasalnya organisasi bentukan Yusuf al-Nabhani itu giat merongrong ideologi sekuler demi memaksakan penerapan Syariah Islam.
Foto: picture alliance/dpa/A.Hashlamoun
Buah Perang Arab-Israel
Adalah Yusuf al-Nabhani yang mendirikan Hizb Tahrir di Yerusalem tahun 1953 sebagai reaksi atas perang Arab-Israel 1948. Tiga tahun kemudian tokoh Islam Palestina itu mendeklarasikan Hizb Tahrir sebagai partai politik di Yordania. Namun pemerintah Amman kemudian melarang organisasi baru tersebut. Al Nabhani kemudian mengungsikan diri ke Beirut.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Mimpi Tentang Khalifah
Dalam bukunya Al Nabhani mengritik kekuatan sekular gagal melindungi nasionalisme Palestina. Ia terutama mengecam penguasa Arab yang berjuang demi kepentingan sendiri dan sebab itu mengimpikan kekhalifahan yang menyatukan semua umat Muslim di dunia dan berdasarkan prinsip Islam, bukan materialisme.
Foto: picture-alliance/dpa/L.Looi
Anti Demokrasi
Tidak heran jika Hizb Tahrir sejak awal bermasalah dengan Demokrasi. Pasalnya prinsip kedaulatan di tangan rakyat dinilai mewujudkan pemerintahan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan sesuai hukum Allah. Menurut pasal 22 konstitusi Khilafah yang dipublikasikan Hizb Tahrir, kedaulatan bukan milik rakyat, melainkan milik Syriah (Hukum Allah).
Foto: picture alliance/dpa/A.Hashlamoun
Kudeta Demi Negara Islam
Hizb Tahrir Indonesia pernah mendesak TNI untuk melakukan kudeta. “Wahai tentara, wahai polisi, wahai jenderal-jenderal tentara Islam, ini sudah waktunya membela Islam, ambil kekuasaan itu, dan serahkan kepada Hizbut Tahrir untuk mendirikan khilafah!” tegas Ketua DPP HTI Rokhmat S Labib di hadapan simpatisan HTI pada 2014 silam.
Foto: Reuters/Beawiharta
Kemanusiaan Semu di Jantung Khalifah
Buat HT, asas kebebasan sipil seperti yang terkandung dalam prinsip Hak Azasi Manusia merupakan produk "ideologi Kapitalisme" yang berangkat dari prinsip "setiap manusia mewarisi sifat baik, meski pada dasarnya manusia hanya menjadi baik jika ia menaati perintah Allah."
Foto: Reuters
Tunduk Pada Pemerintahan Dzhalim
Kekhalifahan menurut HT mengandung sejumlah prinsip demokrasi, antara lain asas praduga tak bersalah, larangan penyiksaan dan anti diskriminasi. Namun masyarakat diharamkan memberontak karena "Syariah Islam mewajibkan ketaatan pada pemegang otoritas atas umat Muslim, betapapun ketidakadilan atau pelanggaran terhadap hak sipil yang ia lakukan," menurut The Ummah’s Charter.
Foto: Reuters
Diskriminasi Terhadap Perempuan
Pluralisme dalam kacamata Hizb Tahrir sangat berbahaya, lantaran "merusak Aqidah islam," kata bekas Jurubicara HTI Muhammad Ismail Yusanto, 2010 silam. Perempuan juga dilarang menduduki kekuasaan tertinggi seperti gubernur atau hakim, meski diizinkan berbisnis atau meniti karir. "Pemisahan jender adalah fundamental", tulis HT dalam pasal 109 konstitusi Khilafah. (Ed: rzn/ap)
Foto: picture alliance/dpa/M.Fathi
7 foto1 | 7
Sementara itu bagi orang di luar Indonesia, kabar dijeratnya Ahok dengan pasal penistaan agama dianggap sebagai kemunduran dalam kebebasan ekspresi dan beragama di Indonesia sekaligus pertanda bahwa diskriminasi terhadap minoritas non muslim masih kuat dan semakin menguat.
Jadi tentu saja penilaian dan penghargaan yang diberikan Ahok tidak bias, karena dalam konteks global, dunia sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan berekspresi yang bersifat umum terutama yang terkait dengan agama. Karena itu dunia mengecam pemenjaraan jurnalis di Turki, blogger Vietnam yang dipenjara 10 tahun, dan memprotes pelarangan buku Muhammad Faisal Musa yang kerap dituduh Syiah di Malaysia.
Di Indonesia sendiri, ada kasus Syiah, Gafatar, dan Ahmadiyah yang selama ini dianggap ‘kafir' oleh kelompok mayoritas muslim.
Indonesia benar di persimpangan jalan
Arti lain dari divosnisnya Ahok adalah, klusul penistaan agama ini telah memasuki ranah politik dan semakin mengkhawatirkan. Sebelumnya ada yang pernah divonis dengan pasal yang sama, tapi mereka bukan politisi. Seperti Lia Aminudin atau Lia Eden yang mengaku sebagai imam Mahdi dan mendapat wahyu dari malaikat Jibril; Arswendo Atmowiloto, penulis yang dijeboloskan penjara karena survei tabloid Monitor; HB Jassin yang menerbitkan cerpen yang dinggap menghina Nabi Muhammad; Eks pemimpin Gafatar Abdussalam alias Ahmad Mushaddeg yang dihukum pidana penjara lima tahun setelah dinyatakan terbukti bersalah menista agama.
Artinya apa untuk dunia politik kita? Indonesia mengikuti trend dunia politik kawasan yang ternyata juga secara tidak sengaja atau sengaja mengalami peningkatan level konservatisme agama. Sebut saja Malaysia dan Brunei Darussalam yang mengontrol politik negaranya menggunakan agama. Di Malaysia misalnya, Pemimpin oposisi Anwar Ibrahim pernah membela wakil presiden PAS Mohamad Sabu yang telah dituduh sebagai pengikut Syiah.
Belum lagi sejak Akta Mesin Cetak dan Penerbitan 1984 resmi diumumkan, penulis di Malaysia harus berhati-hati memproduksi karya dalam bentuk foto sampai musik, sebab seluruh hasil penerbitan yang "memudaratkan ketenteraman awam, kemoralan, keselamatan atau yang menggemparkan fikiran orang ramai” diharamkan, dilarang dan dapat dikenakan denda oleh pemerintah negeri Jiran. Salah satu penulis yang akhirnya terkena penalti Akta itu adalah Faisal Musa aka Faisal Tehrani. Ia pun sering dituduh sebagai syiah.
Sensor Malaysia Nilai Despacito "Tidak Islam"
Malaysia melarang pemutaran video lagu Despacito, yang jadi hit di banyak negara, di media milik pemerintah, karena dinilai "cabul" dan "tidak Islam." Sebelumnya sudah ada kasus-kasus serupa.
Foto: Youtube
Bernyanyi Tanpa Mengerti
Lirik lagu Despacito, yang dinyanyikan penyanyi Luis Fonsi, dalam bahasa Spanyol. Partai Islam Amanah yang mengecam lagu itu berargumentasi, "banyak anak kecil menyanyikan lagu itu tanpa mengerti kata-katanya.
Foto: picture alliance/AP Photo/L.Sladky
Ada Yang Lolos
Tapi sejumlah orang Malaysia berkomentar di media sosial, bahwa ada lagu-lagu lain yang juga cabul tapi lolos sensor, karena liriknya tampak tidak berbahaya. Misalnya "Milkshake" oleh Kelis, "Whistle" oleh Flo Rida, atau hit tahun 1997 "Barbie Girl" oleh Aqua.
Foto: picture-alliance/dpa
Sering Diputar
Sejumlah situs juga memberikan daftar lagu yang sebaiknya ditarik dari daftar pemutaran karena sering terdengar diputar di media. Misalnya "Bang Bang" oleh Ariana Grande, Jessie J and Nicki Minaj. Sebuah situs menambahkan catatan untuk lagu ini: "bukan tentang tembakan senjata."
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Sayles
Urusan Politik
Sensor tidak hanya terbatas karena isi yang "berbau" seks, narkotika, alkohol atau tidak senonoh. Kata-kata "Mazel Tov", yang dalam bahasa Ibrani berarti "semoga beruntung" disensor di Malaysia dari lagu band Black Eyed Peas yang berjudul "I Gotta Feeling." Penyebabnya: Malaysia tidak mengakui negara Israel, tidak punya hubungan diplomatis dan melarang warganya untuk berkunjung ke Israel.
Foto: picture alliance / abaca
Jangan Ikutkan Kepercayaan
Kata-kata Halleluyah dalam lagu Justin Bieber "As Long As You Love Me" juga jadi korban sensor Malaysia. Tapi lagu "Take Me To Church" oleh Hozier boleh diputar. Sebuah situs online mengutip perkataan seorang mantan DJ radio milik negara yang mengatakan, jika liriknya "rancu" bisa lolos dari sensor.
Foto: Getty Images/AFP/T. A. Clark
Terlalu Linglung untuk Punya Adat?
Lagu Lady Gaga yang berjudul "Born This Way", yang liriknya antara lain berbunyi: "tidak peduli homoseksual, heteroseksual atau bi, lesbian, transgender, aku dalam jalan yang benar" dinilai "menghina jika dipandang dari segi ketaatan sosial dan agama." Itu pernah menyulut kemarahan si penyanyi, juga kelompok LGBT di Malaysia.
Foto: picture alliance/dpa/F. von Erichsen
Kami Pilih "Tidak"
Tahun 2011, Komisi Komunikasi dan Multimedia Malaysia melarang "Undilah" (yang bermakna "pergi berikan suara") karena isinya dinilai "menghina segmen-segmen masyarakat tertentu. Lirik lagu ini adalah campuran bahasa Malay, Inggris dan Mandarin. Videonya menampilkan sejumlah tokoh lokal (dan beberapa politisi oposisi), dan isinya mendorong rakyat untuk mendaftarkan diri dan memberikan suara.
Foto: Youtube
Satu Bahasa Saja
2004 lagu-lagu Malaysia yang berisi lirik dalam bahasa Inggris dilarang setelah pemerintah dikritik dan dituduh mengizinkan mereka "mencemari kemurnian dan kesucian bahasa Malaysia." Ironisnya, sensor terhadap Despacito menyulut tumbuhnya cover version dan parodi, misalnya lagu berjudul "Incognito", lagu lucu versi Malaysia tentang pria yang diputus pacar (foto). Penulis: Brenda Haas (ml/hp)
Foto: Youtube
8 foto1 | 8
Di Brunei Darusallam, kerajaan diduga menggunakan Syariat Islam untuk mengukuhkan kekuasaan mutlaknya lewat Sharia Penal Code 2013. Segala bentuk aktivitas yang bertentangan dengan Islam dilarang. Contoh peraturannya, warga non muslim dilarang menyebut tuhan mereka sebagai ‘Allah'. Hukuman dari penistaan agama di Brunei bisa berujung pada kematian. Sementara itu, media Australia pernah meliput tentang wanita-wanita simpanan si Sultan yang ternyata melanggar kebiasaan dalam syariat Islam. Sangat bertolak belakang dengan apa yang selama ini dikampanyekan oleh kerajaan.
Level pertama dari trend ini memang meningkatnya konservatisme, lalu penggunaan agama sebagai alat politik, dan akhirnya menjadi sangat jelas seperti Brunei. Ketika agama adalah satu-satunya alat kuasa mutlah.
Model politik ini tentu saja bukan yang pertama bagi Indonesia, pada saat perang dingin, negara barat yang sedang memerangi komunisme pernah memakai kelompok agama untuk menumpas kelompok kiri. Jutaan dari mereka dibantai, dipenjara, dan dituduh ateis. Padahal tak semua kiri atau komunis itu ateis. Kini ateisme itu telah diganti dengan kata ‘kafir'.
Negara-negara Tak Bertuhan
Dua pertiga penduduk Bumi mengaku beragama, tapi sisanya tidak bertuhan. Negara mana yang paling banyak menampung kaum ateis? Uniknya Asia justru berada di urutan terdepan
Foto: picture-alliance/ David Wimsett/UPPA/Photoshot
#1. Cina
Tradisi Cina tidak mengenal istilah agama dalam prinsipnya yang mengatur hubungan antara manusia dan Tuhan, melainkan ajaran nenek moyang yang terwujud dalam bentuk Taoisme atau Khonghucu. Sebab itu tidak heran jika dalam jajak pendapat lembaga penelitian Gallup, sekitar 61% penduduk Cina mengaku tidak bertuhan. Sementara 29% mengaku tidak taat beragama.
Foto: picture-alliance/dpa
#2. Hong Kong
Sebagian besar penduduk Hongkong menganut kepercayaan tradisional Tionghoa. Sementara lainnya memeluk agama Kristen, Protestan, Taoisme atau Buddha. Namun menurut jajak pendapat Gallup, sekitar 34% penduduk bekas jajahan Inggris itu mengaku tidak percaya kepada Tuhan.
Foto: Getty Images/AFP/P. Lopez
#3. Jepang
Serupa Cina, sebagian besar penduduk Jepang menganut kepercayaan etnis Shinto alias agama para dewa. Dalam hakekatnya Shintoisme tidak mengenal prinsip ketuhanan seperti agama samawi. Sebab itu pula banyak penganut Shinto yang mengaku tidak bertuhan. Gallup menemukan sekitar 31% penduduk Jepang mengklaim dirinya sebagai Atheis.
Foto: Reuters
#4. Republik Ceko
Sekitar 30% penduduk Republik Ceko mengaku tidak bertuhan. Sementara jumlah terbesar memilih tidak menjawab perihal agama yang dianut. Faktanya, agama sulit berjejak di negeri di jantung Eropa tersebut. Penganut Katholik dan Protestan misalnya cuma berkisar 12 persen dari total populasi.
Foto: picture-alliance/dpa/Xamax
#5. Spanyol
Katholik mewakili porsi terbesar dari penduduk Spanyol yang beragama. Sementara sisanya tersebar antara Protestan atau Islam. Uniknya kendati beragama, sebagian besar penduduk Spanyol mengaku tidak taat menjalani ritual keagamaan. Sementara 20% mengaku atheis atau agnostik.
Foto: Biel Alino/AFP/GettyImages
5 foto1 | 5
Indonesia sebagai negara yang sejak awal sudah berkomitmen untuk berbhineka tunggal ika, dan semoga ini bukan slogan saja, seharusnya mengambil pelajaran serius dari kasus Ahok dan mengakui bahwa memang arah politik kita kini lebih banyak disetir kelompok Islam konservatif. Tidak masalah sebenarnya jika kelompok Islam berpolitik, tapi ketika berpolitik menggunakan nama Islam, tentu saja itu masalah.
Maka dari itu, saya yakin, peristiwa pemenjaraan Ahok dan adalah sebuah awal dari kebangkitan politik Islam yang mirip dengan Malaysia dan Brunei. Kemudian penobatannya sebagai tokoh pemikir global adalah bentuk kekhawatiran dunia akan berkembangnya politik yang intoleran dan diskriminatif terhadap minoritas.
Indonesia memang benar di persimpangan jalan, tapi persimpangan jalan itu kali ini menjadi maha penting karena menjadi titik tolak masa depan pergerakan politik di tanah air.
Pertanyaannya adalah, lalu apakah sikap kita? Seperti pesan Barack Obama kepada rakyat Amerika saat Donald Trump terpilih menjadi presiden, sepertinya cocok buat kita semua dalam situasi seperti saat ini. "Saya meminta anda untuk percaya - tidak dalam kemampuan saya untuk menciptakan perubahan, tapi di tangan anda.” Perubahan itu ada di tangan anda.
Penulis:
Febriana Firdaus adalah jurnalis lepas yang fokus pada investigasi. Ia menulis untuk publikasi dalam dan luar negeri. Ia juga relawan di IPT 65 dan Ingat 65.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Ahok dan Penggusuran
Pemerintah ibukota terus lakukan penggusuran. Di tengah aksi penolakan warga, pemerintah DKI Jakarta menggusur Pasar Ikan Luar Batang di Jakarta Utara.
Foto: Reuters/Beawiharta
Ribuan Aparat Diturunkan
Meski diwarnai protes, pemerintah DKI Jakarta tetap lakukan penertiban bangunan di zona satu dan zona dua kawasan Pasar Ikan Luar Batang, Penjaringan, Jakarta Utara. Lebih 4000 aparat gabungan Polda Metro Jaya TNI dan satuan pamong praja diturunkan ke lokasi. Untuk antisipasi demonstrasi, petugas juga membawa water cannon.
Foto: Reuters/Beawiharta
Kericuhan Pecah
Petugas memperingatkan warga sebelum mesin-mesin berat meluluhlantakkan perumahan nelayan di Luar Batang. Penduduk tak mau menyerah begitu saja. Sebagian berusaha pertahankan rumah mereka dan berdiri menantang petugas, sebelum pada akhirnya petugas tetap hancurkan rumah mereka.
Foto: Reuters/Beawiharta
Warga Berhadapan dengan Petugas
Warga yang menentang penggusuran tampak berhadap-hadapan dengan petugas. Menurut Pemprov DKI Jakarta dari total 240 kios yang ada di dekat kawasan Museum Bahari itu, sekitar 100 kios di antaranya justru dijadikan tempat tinggal. Pemprov DKI juga mengatakan, setelah akuarium raksasa dipindahkan ke Ancol, banyak warga memasuki lokasi ini.
Foto: Reuters/Beawiharta
Nasib Pemukim Dipertanyakan
Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mengatakan tidak akan meratakan seluruh bangunan di sekitar Museum Bahari-Pasar Ikan, melainkan mengembalikan konsep kios di Pasar Ikan Luar Batang seperti zaman kolonial Belanda dahulu. Namun bagaimana nasib para pemukim ini kemudian?
Foto: Reuters/Beawiharta
Kemana Mereka Pergi?
Tampak warga menggotong barang miliknya, ketika alat berat mulai meratakan bangunan yang dikategorikan ilegal di Luar Batang 11 April 2016.
Foto: Reuters/Beawiharta
Hujan Kritikan
Kebijakan penggusuran yang dilakukan pemprov DKI Jakarta mendulang kritik, di antaranya dari Konsorsium Masyarakat Miskin Kota (Urban Poor Consortium-UPC), yang melihat rakyat kecil selalu menjadi korban, dengan alasan menempati tanah negara. Padahal menurut UPC, banyak oknum di pemerintahan yang menjual lahan kepada warga, namun pemerintah tidak menindak oknum-oknum tersebut.
Foto: Reuters
Sebelumnya Kalijodo
Akhir Februari lalu, Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama melakukan penggusuran kawasan Kalijodo, guna kembalikan fungsi lahan. Warga terkejut karena merasa kurangnya sosialisasi. Warga yang punya KTP disediakan rumah susun, sementara yang tak punya KTP ditawarkan pulang ke kampung halaman. Pemerintahan Ahok juga menggusur warga di kolong tol Pluit.
Foto: Reuters/Antara Foto/W. Putro
Penggusuran demi Penggusuran
Sebelumnya juga telah dilakukan penggusuran di beberapa wilayah lain, seperti Bukit Duri, Jakarta Selatan yang ingin dibuat tanggul. Lalu Kampung Pulo, Jakarta Timur yang merupakan langganan banjir. Mei 2015, pemprov DKI juga melakukan penggusuran di kawasan bantaran Ancol, Pinangsia.