Sejak lama Jerman ingin memiliki pusat pendidikan agama Islam sendiri, sehingga tidak perlu mendatangkan imam dari luar negeri. Sebanyak 20 persen mahasiswa angkatan pertama di akademi ini adalah perempuan.
Iklan
Setelah masa persiapan yang panjang, Akademi Pendidikan Agama Islam pertama di Jerman akhirnya diresmikan di kota Osnabrück, dengan nama resmi Islamkolleg Deutschland - IKD. Bagi Ender Cetin, 45 tahun, itu adalah "langkah yang tepat ke arah yang benar" yang sudah lama ditunggu. Dia lahir dan besar di Berlin, dan sekarang menjadi mahasiswa angkatan pertama di Sekolah Tinggi Agama Islam. Pusat pendidikan itu diresmikan Selasa, 15 Juni 2021, setelah beberapa kali tertunda karena pandemi corona.
Ender Cetin, yang sudah melakukan kegiatan sebagai imam, mengaku senang dengan kemungkinan mengikuti pendidikan imam Islam di Jerman, profesi yang baginya "menawarkan perspektif masa depan."
Islamkolleg Deutschland di Osnabrück adalah bagian dari program khusus yang dirancang di Kementerian Dalam Negeri. Di Jerman, Kemendagri juga bertanggung jawab atas urusan agama dan kepentingan kelompok-kelompok agama.
Didanai Kementerian Dalam Negeri Jerman
Setiap tahun, Konferensi Islam yang mempertemukan organisasi-organisasi Islam dengan pejabat pemerintahan Jerman dan wakil-wakil institusi terkait digelar di Jerman. Dalam Konferensi Islam yang terakhir tahun lalu, Menteri Dalam Negeri Horst Seehofer menyambut rencana pembukaan Islamkolleg Deutschland di Osnabrück sebagai "kabar baik bagi umat Islam di Jerman".
Iklan
Tujuan pendirian Perguran Tinggi Agama Islam di Jerman itu terutama untuk meningkatkan jumlah imam, yang juga bisa berkhotbah dalam bahasa Jerman, kata Horst Seehofer. Kementerian Dalam Negeri menyediakan dana awal untuk pendirian perguruan tinggi itu.
Angkatan pertama yang akan mengikuti pendidikan Teologi Islam di Osnabrück terdiri dari 50 peserta. Profesor Studi Islam Bülent Ucar mengatakan, para peserta angkatan pertama antara lain berlatar belakang Turki, Arab dan Bosnia – dan ini mewakili keragaman Islam di Jerman. Dua puluh persen mahasiswa adalah perempuan.
"Kesempatan unik"
Bülent Ucar mengatakan, beberapa komunitas Muslim di Jerman yang lahir dan besar di negeri ini "tidak bisa lagi mengerti" para imam yang tidak bisa berhahasa Jerman. Kesenjangan komunikasi ini dapat menyebabkan anggota komunitas yang lebih muda dengan cepat terbujuk konten-konten online para ekstremis.
"Di sini kami memiliki kesempatan unik untuk melayani kebutuhan praktis di masjid-masjid,” kata Aiman Mazyek, Ketua Dewan Pusat Muslim di Jerman kepada DW. Tantangan berikutnya adalah, lanjut dia, memenangkan hati dan penerimaan komunitas Muslim bagi para imam yang dididik di Jerman.
"Saya pikir ini adalah titik balik bagi sejarah Muslim di Jerman," kata Ender Cetin, peserta pendidikan angkatan pertama. Pengalamannya sendiri menunjukkan bahwa "semakin banyak orang muda lebih suka berbicara tentang agama mereka dalam bahasa Jerman."
(hp/gtp)
Menyusuri Jejak Islam di Jerman
Beragam masjid dan komunitas Islam, sebagian kecil tempat menarik yang dikunjungi 14 intelektual Muslim Indonesia saat studi trip "Life of Muslims in Germany". Lokasi mana saja yang mereka singgahi? Berikut rangkumannya.
Foto: Privat
Singgah di Masjid Indonesia
Masjid Al-Falah, nama masjid milik warga Indonesia yang terletak di Berlin. Masjid yang dikelola Indonesische Weisheits und Kulturzentrum (IWKZ) dulunya merupakan pub. Para Intelektual muda yang mengikuti study trip Goethe tersebut tiba tepat Sholat Jumat sehingga bisa menikmati kuliner indonesia yang dijual untuk membiayai operasional masjid. Tiap tahun 4000 Euro harus dikumpulkan secara swadaya.
Foto: DW
Mengapa Warga Indonesia Berbeda?
Ketua IWKZ Dimas Abdirama menceritakan bahwa kegiatan di Masjid lebih berfokus sebagai ruang belajar bagi mahasiswa. "Dibandingkan pendatang lainnya, kita mempunya daya pikat kepada pemerintah Jerman yang membutuhkan banyak tenaga ahli," ujar ahli bioteknologi medis itu. Ada sekitar 4000 mahasiswa Indonesia studi di Jerman. Potensi ini menurut Dimas membuat orang Indonesia mudah diterima.
Foto: DW
Melihat Toleransi di Neukölln
Lewat program "Life of Muslims in Germany", 14 kaum intelektual muda Indonesia tidak hanya diajak berkenalan dengan Muslim Indonesia. Mereka juga diajak ke Neukölln untuk melihat bagaimana umat Muslim dari beragam aliran dapat hidup berdampingan. Masjid Al-Salam NBS milik aliran Sunni itu menurut Syekh Muhammad Thaha tidak hanya digunakan sebagai tempat keagamaan tapi juga kegiatan kemanusiaan.
Foto: DW/K. Salameh
Masjid yang Terbuka
Meski mayoritas umatnya adalah Sunni, namun menurut Syekh Thaha, masjid Al-Salam terbuka untuk seluruh jamaah, termasuk Syiah. "Kami tidak memaksakan ajaran tertentu, siapapun bisa datang ke masjid ini,"katanya. Masjid ini juga terbuka bagi seluruh warga Jerman yang ingin mengenal Islam atau warga imigran yang ingin belajar bahasa Arab.
Foto: DW
Alevi, Minoritas yang Mudah Diterima
Di Jerman, mayoritas umat Islam adalah Sunni (74%), namun di posisi ke dua ditempati kelompok asal Turki bernama Alevi (13%). Menurut Claudia Dette, pemandu perjalanan kami, Alevi kelompok yang paling mudah berintegrasi setelah Ahmadiyah. Rahasianya menurut Kadin Sahir adalah karena Syariah bagi Alevi adalah tunduk mengikuti konstitusi yang ada di negara di mana mereka berada.
Foto: DW
Masjid Dalam Gereja
Ibn-Ruysd Goethe, "Masjid Liberal" yang mengakui imam perempuan di Jerman dan terletak di gereja turut disambangi rombongan. "Masjid ini hadir sebagai bentuk protes atas paham ekstrimis di Jerman. Mereka menyebut diri liberal untuk memahami Islam pada konteks sekarang. Pada titik ini mungkin kita bisa sepakat dalam rangka mengaktualkan Islam," kata Ahmad Muttaqin, salah seorang peserta study trip.
Foto: Getty Images/S. Gallup
Menangkal Radikalisme Lewat Masjid
Sebanyak 50,6% 2,2 juta umat Islam di Jerman memiliki latar belakang keturunan Turki, itulah sebabnya di salah satu masjid terbesar milik warga Turki di Berlin, masjid Sehitlik, program yang ditawarkan lebih khusus lagi. Para peserta yang disambut Pinar Cetin, pemimpin Bahira menjelaskan organisasinya bertugas untuk melakuan konsultasi demi mencegah anak muda Muslim terhindar dari paham radikal.
Foto: DW
Mari Belajar Bersama
Tak melulu mengunjungi masjid. Peserta "Life of Muslims in Germany" juga singgah ke lembaga swadaya Morus14. Sebanyak 100 sukarelawan dari berbagai latar belakang budaya dan kelompok meluangkan waktunya mendampingi dan mengajar anak-anak berlatarbelakang imigran. Program seperti ini bertujuan untuk menanggulangi masalah integrasi yang kerap menjadi pekerjaan besar di Jerman.
Foto: DW
Merawat Ingatan
Beberapa museum yang dikunjungi terkait dengan Islam, namun di Museum The Story of Berlin, para peserta berkenalan dengan sejarah Jerman. Kisah Jerman Barat dan Timur serta diskirimasi di era NAZI jadi pengingat bagaimana perbedaan dapat memicu konflik. "Kita kerap melihat sejarah hal yang jauh dari kehidupan. Sementara bagi mereka sejarah hidup bersama kita sekarang," kata Heychael berkomentar.
Foto: DW
Mudah dan Nyaman
Selama berkeliling di Berlin, para peserta hilir mudik menggunakan beragam alat transportasi, seperti kereta bawah tanah. Jadwal yang teratur serta tempat yang nyaman menjadi pengalaman berbeda yang didapat bila dibandingkan dengan transportasi di tanah air. Tak sedikit yang terheran-heran ketika mengetahui sebagian besar tahanan di Berlin justru penumpanjg yang tertangkap tidak membeli tiket.
Foto: DW
Life of Muslims in Germany
Selama hampir 2 minggu, 14 intelektual muda Muslim Indonesia dari berbagai latar belakang komunitas Islam dan profesi di Indonesia tersebut diajak merasakan seperti apa kehidupan umat Muslim di Jerman. Lewat study trip "Life of Muslims in Germany" yang digagas Goethe Insitut Indonesia, peserta dapat mengenal kebijakan Jerman atas 4,7 juta warga Muslim yang hidup di negeri itu. (ts/rzn) Ed:ap