Milisi Irak mengaku bertanggung jawab atas dua drone bunuh diri di Riyadh awal pekan ini - dan berjanji akan melakukannya lagi. Mereka menyarankan Saudi agar tertidur dengan "satu mata tetap terbuka".
Iklan
Dalam sepekan belakangan, dua proyektil misterius berhasil diblokir oleh sistem pertahanan udara Arab Saudi saat terbang di atas ibu kota Riyadh. Sabtu (29/01) lalu, saluran media milik negara mengatakan sebuah proyektil telah dicegat dan pada hari Selasa (26/01), namun ledakan terdengar lagi di kota itu sekitar tengah hari.
Di masa lalu, serangan pesawat nirawak (drone) di dekat atau ke negara Teluk telah dikaitkan dengan organisasi Houthi, yang berperang melawan Arab Saudi di Yaman. Tapi kali ini berbeda. Houthi membantah bertanggung jawab. Dan setelah serangan udara tersebut, sebuah kelompok yang berbasis di Irak bernama Alwiya Alwaad Alhaq, yang diterjemahkan sebagai "Brigade Janji Sejati," mengeluarkan pernyataan di saluran media sosial yang menyampaikan berita dari kelompok paramiliter Irak yang dikenal sebagai PMF.
Pesan berbahasa Inggris itu mengatakan grup yang baru dibentuk ini "secara terbuka menjadikan Arab Saudi sebagai target" pesawat bunuh diri tanpa awak, sebagai balas dendam atas bom bunuh diri baru-baru ini di pasar pusat Baghdad, Irak, yang menewaskan lebih dari 30 orang.
"Taman bermain baru" untuk drone dan serangan rudal
Dalam pesannya, kelompok ini menuduh bahwa Arab Saudi, negara mayoritas muslim Sunni, mensponsori kelompok ekstremis muslim Sunni yakni ISIS yang mengaku bertanggung jawab atas serangan mematikan pada tanggal 21 Januari di Baghdad. Sebagian besar kelompok PMF di Irak adalah muslim Syiah, dan beberapa bersekutu erat dengan Iran yang mayoritas berhaluan Syiah.
"Arab Saudi adalah lapangan bermain baru untuk serangan drone dan rudal," lanjut pesan itu. "MbS harus tidur dengan satu mata terbuka mulai sekarang," tambahnya, mengacu pada julukan populer Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman.
Meskipun milisi yang didukung Iran ini juga diduga berada di balik serangan drone dan rudal pada September 2019 di fasilitas minyak Aramco milik Saudi, ini adalah kali pertama mereka secara terbuka mengklaim bertanggung jawab atas hal seperti ini.
Lini Masa Pertikaian Arab Saudi dan Iran
Bukan kali pertama Iran dan Arab Saudi bersitegang. Sepanjang sejarahnya, hubungan kedua negara acap mengalami pasang surut menyusul konflik politik atau agama. Inilah sejarah modern permusuhan dua ideologi dalam Islam
Foto: DW Montage
Damai berbayang kecurigaan
Hubungan Iran dan Arab Saudi baru tumbuh sejak kekuasaan Syah Reza Pahlevi dan Raja Khalid. Kedua negara sebelumnya sering direcoki rasa saling curiga, antara lain karena tindakan Riyadh menutup tempat-tempat ziarah kaum Syiah di Mekkah dan Madinah. Perseteruan yang awalnya berbasis agama itu berubah menjadi politis seiring dengan eskalasi konflik di Timur Tengah dan Revolusi Islam 1979.
Foto: picture alliance/AP Images
Pendekatan usai Revolusi Islam
Raja Khalid sempat melayangkan ucapan selamat kepada Ayatollah Khomeini atas keberhasilan Revolusi Islam 1979. Tapi hubungan kedua negara memburuk menyusul perang Iran-Irak dan kisruh Haji 1987. Puncaknya, Riyadh memutuskan hubungan pada 1987, ketika Khomeini mengecam penguasa Saudi sebagai "Wahabi yang tidak berperikemanusiaan, ibarat belati yang menusuk jantung kaum Muslim dari belakang."
Foto: Getty Images/Afp
Keberpihakan dalam Perang Iran-Irak 1980
Saat berkobar perang Iran-Irak, Arab Saudi sejak dini menyatakan dukungan terhadap rejim Saddam Hussein di Baghdad. Riyadh memberikan dana sumbangan sebesar 25 milyar US Dollar dan mendesak negara-negara Teluk lain untuk ikut mengisi pundi perang buat Irak. Demi menanggung biaya perang, Arab Saudi menggenjot produksi minyak yang kemudian mengakibatkan runtuhnya harga minyak di pasar dunia.
Foto: picture-alliance/dpa
Kisruh Haji 1987
Mengikuti ajakan Ayatollah Khomeini, jemaah Iran setiap tahun berdemonstrasi di Mekkah dan Madinah menentang Israel. Tradisi sejak 1981 itu tidak pernah diperkarakan, kecuali pada 1987, ketika polisi memblokade jalan menuju Masjid al-Haram. Akibat bentrokan, 402 jemaah Iran tewas dan 649 luka-luka. Setelah kedutaannya di Teheran diserbu massa, Riyadh memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran.
Foto: farhangnews
Kontroversi program nuklir Iran
Arab Saudi sejak awal menolak program nuklir Teheran. Sikap itu tidak berubah bahkan setelah tercapainya Perjanjian Nuklir di Vienna tahun 2015. Riyadh menilai kesepakatan tersebut "sangat berbahaya." Desakan kepada Iran untuk bekerja sama dengan pengawas nuklir PBB juga disampaikan Saudi pada awal 2023.
Foto: Irna
Pemberontakan Houthi di Yaman, 2004
Hubungan Iran dan Arab Saudi kembali menegang setelah kelompok Syiah Zaidiyah di Yaman mengobarkan pemberontakan. Riyadh menuding Teheran mengompori perang bersaudara dan mencampuri urusan dalam negeri Yaman dengan memasok senjata. Iran sebaliknya menuding Arab Saudi menghkhianati perannya sebagai mediator konflik dengan membombardir minoritas Houthi di utara Yaman.
Foto: picture alliance/Y. Arhab
Perang proksi di Suriah, 2011
Dukungan Iran atas rejim Bashar Assad di Suriah sejak lama dianggap duri dalam daging oleh Arab Saudi. Sejak 2011, Riyadh aktif memasok senjata buat oposisi Sunni di Suriah. Kerajaan di Riyadh juga menjadi yang pertama kali mengecam Assad seputar "tindakan represif pemerintahannya terhadap demonstrasi anti pemerintah," ujar Raja Abdullah saat itu.
Foto: picture-alliance/AP/Vadim Ghirda
Tragedi Mina 2015
Bencana memayungi ibadah Haji 2015 ketika lebih dari 400 jemaah Iran meninggal dunia di terowongan Mina akibat panik massa. Iran menuding pemerintah Arab Saudi ikut bertanggungjawab. Riyadh sebaliknya menyelipkan isu bahwa tragedi itu disebabkan jemaah haji Iran yang tak mau diatur. Kisruh memuncak saat pangeran Arab Saudi, Khalid bin Abdullah, mendesak agar Riyadh melarang masuk jemaah haji Iran.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Eksekusi Mati Al-Nimr 2016
Sehari setelah pergantian tahun Arab Saudi mengeksekusi mati 46 terpidana, antara lain Syeikh Nimr al-Nimr, seorang ulama yang aktif membela hak-hak minoritas Syiah yang kerap mengalami represi dan diskriminasi di Arab Saudi. Al-Nimr didakwa terlibat dalam terorisme. Sebagai reaksi Pemimpin Spiritual Iran, Ayatollah Ali Khamenei melayangkan ancaman, bahwa Saudi akan mendapat "pembalasan tuhan."
Foto: picture alliance/dpa/Y. Arhab
Drama di Lebanon
Pada November 2017 Perdana Menteri Lebanon Saad Hariri mengumumkan pengunduran diri dari Riyadh, Arab Saudi, dan menyalahkan Iran terkait kebuntuan politik di Beirut. Langkah itu diyakini bagian dari manuver Arab Saudi untuk memprovokasi perang antara Iran dan Hizbullah dengan Israel. Saudi dan Iran berebut pengaruh di Lebanon pasca penarikan mundur pasukan Suriah 2005 silam.
Foto: picture-alliance/dpa/AP/Lebanese Official Government/D. Nohra
Narasi damai di awal 2023
Menyusul mediasi Cina, pemerintah Arab Saudi sepakat memulihkan hubungan dengan Ira pada Maret 2023. Kesepakatan tersebut disusul pembukaan kembali relasi dengan Suriah dan perundingan damai dengan pemberontak Houthi di Yaman. Sebelumnya, negara-negara Teluk juga sepakat mengakhiri perpecahan dengan Katar, sekutu dekat Iran di Teluk Persia.
Foto: Iran's Foreign Ministry/WANA/REUTERS
11 foto1 | 11
Fenomena baru
Ini adalah fenomena yang sangat baru, ujar Hamdi Malik, peneliti yang berbasis di London di Washington Institute for Near East Policy, yang berfokus pada kelompok paramiliter Irak. "Kami belum pernah mendengar kelompok Irak ini mengklaim serangan atas wilayah ini sebelumnya," katanya.
Dalam setahun terakhir, semakin banyak grup baru bermunculan dari grup PMF yang lebih besar di Irak. "Metodenya adalah dengan membuat kelompok palsu, mengklaim serangan menggunakan identitas kelompok ini, dan dengan demikian menutupi peran (milisi yang telah mapan) dalam serangan itu," demikian ungkap analis Michael Knights dalam laporan untuk Pusat Pemberantasan Terorisme di akademi militer AS West Point pada Oktober 2020.
Meskipun semua kelompok tersebut berikrar setia kepada Iran, mereka memiliki tujuan politik yang berbeda.
Serangan drone 'tidak dapat dilakukan tanpa izin Iran'
"Namun ketika ada serangan terhadap negara lain [seperti yang terjadi saat itu], itu tidak dapat dilakukan tanpa izin Iran karena potensi konsekuensinya sangat besar bagi Irak dan Iran," kata Malik.
Serangan lain yang dilakukan oleh kelompok milisi baru Irak ini terkadang mendapat kecaman dari rekan-rekan mereka, atau bahkan diabaikan. Tetapi drone bunuh diri di Riyadh mendapatkan komentar dan dirayakan oleh semua paramiliter loyalis Iran. Bagi Malik, tanggapan serupa ini menunjukkan bahwa serangan pesawat tak berawak kemungkinan besar disetujui oleh Iran.
Analis tersebut percaya bahwa serangan ini adalah bagian dari kampanye Iran untuk menekan pemerintahan baru Biden guna mencabut sanksi terhadap negara itu dan kembali ke kesepakatan nuklir Iran 2015 yang disepakati dengan pemerintahan Obama, yang dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA).
Mantan Presiden Donald Trump menarik AS keluar dari kesepakatan pada 2018, dan menerapkan sanksi "tekanan maksimum" terhadap Teheran. Saat ini, Iran berada di bawah tekanan ekonomi yang sangat besar, dan akan berdampak pada pemilihan presiden Iran yang dijadwalkan pada bulan Juni. Akibatnya, para analis mengatakan bahwa kepemimpinan Iran ingin supaya Presiden AS Joe Biden secepat mungkin kembali ke JCPOA.
Iklan
Melintasi 'garis merah'?
"Tujuan Iran adalah menghapus sanksi," kata Malik. "Jadi, mereka berusaha menekan di tiga area utama," termasuk di pengayaan uranium yang pada akhirnya dapat digunakan untuk membuat senjata nuklir, serta melakukan latihan dengan rudal dan drone. "Ini juga termasuk memberikan lebih banyak tekanan pada sekutu AS seperti Arab Saudi," ujarnya.
"Bagi Iran, status quo tidaklah berkelanjutan dan, diam-diam, ada pemahaman di antara semua pihak yang terlibat bahwa Iran harus terus menekan," Justin Bronk, seorang peneliti di Royal United Services Institute, sebuah wadah pemikir kebijakan pertahanan yang berbasis di London, mengatakan kepada DW.
Tapi semua itu mesti dilakukan tanpa melampaui garis merah Amerika, apalagi sampai membunuh warga negara Amerika, yang akan memaksa AS melakukan tanggapan militer terhadap Iran. "Ini adalah sesuatu yang tidak ingin mereka lakukan," ujar Bronk.
7 Fakta Program Nuklir Arab Saudi
Mohammed bin Salman berambisi menguasai teknologi nuklir buat menyaingi Iran. Namun AS bersikap mendua lantaran mendapat penolakan dari Israel. Apakah program nuklir Arab Saudi akan mengubah lanskap politik Timur Tengah?
Foto: picture-alliance/empics/V. Jones
Negeri Minyak Melirik Nuklir
Tahun 2016 silam pangeran Mohammed bin Salman memublikasikan program jangka panjang bernama Vision 2030 untuk mentransformasi perekonomian Arab Saudi setelah era kejayaan minyak berakhir. Salah satunya adalah diversifikasi sumber energi, antara lain melalui energi nuklir. Dalam 25 tahun kedepan, Arab Saudi berniat membangun sedikitnya 16 reaktor nuklir dengan biaya lebih dari 80 milyar Dollar AS.
Foto: Getty Images/AFP/G. Cacace
Senjata Pemusnah Massal?
Dalam sebuah wawancara Pangeran Mohammed bin Salman mengutarakan ambisinya mengembangkan senjata nuklir untuk mengimbangi Iran. "Arab Saudi tidak menginginkan senjata nuklir, tapi jika Iran memiliki senjata nuklir, kami akan mengikutinya." Kepemilikan senjata nuklir oleh Arab Saudi diyakini akan memperuncing Perang Dingin di Timur Tengah dan menempatkan kawasan dalam bahaya kiamat nuklir.
Foto: picture-alliance/dpa/US Department of Energy
Poros Nuklir
Meski keberatan terhadap eksistensi program nuklir di negara Arab, Amerika Serikat berkepentingan mendikte transfer teknologi nuklir kepada Arab Saudi, ketimbang mengalah pada Cina atau Rusia. Namun Riyadh tidak ingin menunggu lampu hijau dari Washington. Saat ini Arab Saudi diisukan aktif menjalin komunikasi dengan Rusia terkait alih teknologi nuklir.
Foto: picture-alliance /ZUMAPRESS/P. Golovkin
Tekanan dari Israel
Iran aktif menyimak perkembangan program nuklir Arab Saudi. Sementara Israel melobi pemerintah Amerika Serikat untuk tidak menjual teknologi nuklir kepada negeri Wahabi tersebut. Ketika Donald Trump menolak keberatan Yerusalem, PM Benjamin Netanyahu mendesak agar AS setidaknya melarang Arab Saudi memperkaya uranium di dalam negeri.
Foto: picture-alliance/AP Photo/E. Vucci
Ultimatum bin Salman
Namun Riyadh justru mendesak mendapat hak serupa Iran untuk bisa memperkaya Uranium di dalam negeri. Mohammed bis Salman berdalih, selain memiliki cadangan uranium dalam jumlah tinggi, Arab Saudi juga bisa melepas kebergantungan energi dengan memiliki fasilitas pengolahan uranium milik sendiri.
Foto: picture-alliance/empics/V. Jones
Tersandung Perjanjian Nuklir Iran
Tidak sedikit politisi di Washington dan Yerusalem yang meyakini, satu-satunya cara membatasi penyebaran teknologi nuklir di Timur Tengah dan meredakan ambisi atom Riyadh adalah dengan mengubah atau membatalkan sepenuhnya perjanjian atom Iran. Dalam hal ini Iran sudah mengantongi dukungan Rusia, Cina dan Uni Eropa untuk tetap mempertahankan perjanjian nuklir sebagaimana adanya.
Foto: Getty Images/AFP/A. Kenare
Demam Nuklir di Timur Tengah
Arab Saudi bukan satu-satunya negara Timur Tengah yang melirik energi nuklir. Uni Emirat Arab sudah mulai mengoperasikan pembangkit listrik pertama dengan nilai 25 miliar Dollar AS. Sementara Mesir telah menandatangani perjanjian pembangunan empat pembangkit listrik tenaga nuklir senilai 30 miliar Dollar AS dengan Rusia. Yordania juga menggandeng Rusia buat mengawal program nuklirnya.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Gambarini
7 foto1 | 7
Bronk, yang juga ahli pertahanan udara, mengatakan drone bersenjata yang dikenal sebagai "amunisi terapung" sangat cocok untuk ini. Pesawat nirawak ini harganya relatif murah dan dapat dibuang, dan dapat membawa sekitar 30 kilogram bahan peledak. Jumlah ini cukup untuk membuat kerusakan dan mungkin membunuh, tetapi potensi daya rusaknya terbatas. "Semuanya dikalibrasi dengan cermat," katanya.
Serangan drone seperti ini juga dapat dianggap sebagai pendorong moral bagi milisi anti-Saudi atau anti-AS, tambahnya.
Seberapa berbahaya ancaman ini bagi Saudi?
"Masalah bagi Arab Saudi adalah bahwa ini adalah negara yang sangat besar," ujar Bronk. "Sebagian besar tidak ada apa-apa (kecuali gurun). Namun ini berkaitan dengan infrastruktur kritis, banyak di antaranya cukup rentan karena, misalnya, berurusan dengan bahan yang mudah terbakar, seperti di industri minyak. Saat ini, Iran dapat menyerang Sekutu Amerika di kawasan itu tanpa memicu tanggapan militer AS, jadi saat ini saya akan lebih khawatir jika saya adalah sekutu Amerika yang berada di kawasan itu, dibandingkan jika saya duduk di kedutaan AS."
Sementara bagi keluarga kerajaan Saudi, Bronk berpendapat mereka dapat terus tidur nyenyak. Memang, tidak semua infrastruktur dapat dilindungi dari serangan udara, tetapi keluarga tersebut terlindungi dengan baik oleh apa yang disebutnya "deretan sensor dan penembak yang signifikan." ae/yp