Di tengah pertumpahan darah di Jalur Gaza, Arab Saudi sibuk menyelenggarakan forum ekonomi dan investasi. Analis memprediksi seberapa besar krisis di Timur Tengah berdampak terhadap iklim investasi.
Iklan
Lima tahun lalu, di hadapan pelaku usaha dan investor yang memenuhi Hotal Ritz Carlton di Riyadh, Arab Saudi, Pangeran Mohammed bin Salman, mengatakan betapa dirinya meyakini bahwa Timur Tengah bisa menjadi "Eropa baru."
"Pencerahan global selanjutnya, dalam 30 tahun ke depan, akan berada di Timur Tengah," kata pemimpin otoriter dalam konferensi Inisiatif Investasi Masa Depan yang digelar Saudi pada tahun 2018.
"Ini adalah perangnya Saudi. Ini adalah perang saya," lanjutnya. "Saya tidak ingin meninggalkan dunia ini sebelum saya melihat Timur Tengah berada di garis terdepan dunia."
Tahun ini, konferensi investasi yang dijuluki "Davos di tengah gurun pasir" karena menyerupai Forum Ekonomi Dunia tahunan di Swiss itu dibayangi perang antara Hamas dan Israel di Jalur Gaza. Namun selain pembatalan oleh segelintir undangan, forum yang digelar Saudi akan disambangi oleh investor paling mapan di dunia, antara lain BlackRock, Blackstone, Citigroup, Goldman Sachs dan JP Morgan Chase.
Inisiatif Investasi Masa Depan diharapkan bisa menghasilkan kesepakatan bisnis, seperti rencana pembangunan pabrik otomotif di Saudi lewat kerja sama dengan produsen Korea Selatan, Hyundai, senilai USD 500 juta, yang diumumkan Senin (30/10).
Why is Saudi Arabia investing billions in sports?
21:10
Dibayangi perang di Gaza
Ada banyak alasan akal untuk berada di Saudi meskipun apa yang terjadi di Gaza, kata Karen E. Young, peneliti senior di Pusat Kebijakan Energi Global Universitas Columbia, kepada DW.
Iklan
"Investor membayar banyak untuk menghadiri konferensi tersebut. Mereka melihat Saudi dan PIF sebagai sumber utama investasi dan peluang,” jelasnya. "Ada ketertarikan untuk mencoba memahami bagaimana negara-negara Teluk dan dana investasi mereka akan merespons krisis ini.”
Diperkirakan 6.000 warga Palestina, hampir setengahnya adalah anak-anak, tewas terbunuh akibat pemboman Israel yang masih berlangsung, menurut otoritas kesehatan yang dikelola Hamas di Gaza. Jumlah korban tewas dikabarkan terus meningkat. Serangan Israel merupakan respons terhadap teror Hamas yang menewaskan lebih dari 1.200 orang pada 7 Oktober silam.
Apa yang saat ini terjadi di Gaza "membayangi segalanya,” tulis harian AS, The Wall Street Journal mengutip pernyataan Menteri Investasi Arab Saudi, Khalid al-Falih. "Tetapi demi kebaikan mereka dan demi kemanusiaan, kita harus tetap fokus pada kesejahteraan rakyat kita.”
Kepala eksekutif Citibank Jane Fraser mengatakan sulit untuk tidak bersikap pesimis mengingat keadaan yang ada. Adapun Direktur Utama BlackRock Larry Fink menyatakan bahwa pertempuran di Ukraina dan Gaza mulai mengendurkan semangat dan harapan investor. Hal ini dikhawatirkan bakal membebani sentimen konsumen dan pada akhirnya memperlambat pertumbuhan ekonomi, kata dia.
Lini Masa Pertikaian Arab Saudi dan Iran
Bukan kali pertama Iran dan Arab Saudi bersitegang. Sepanjang sejarahnya, hubungan kedua negara acap mengalami pasang surut menyusul konflik politik atau agama. Inilah sejarah modern permusuhan dua ideologi dalam Islam
Foto: DW Montage
Damai berbayang kecurigaan
Hubungan Iran dan Arab Saudi baru tumbuh sejak kekuasaan Syah Reza Pahlevi dan Raja Khalid. Kedua negara sebelumnya sering direcoki rasa saling curiga, antara lain karena tindakan Riyadh menutup tempat-tempat ziarah kaum Syiah di Mekkah dan Madinah. Perseteruan yang awalnya berbasis agama itu berubah menjadi politis seiring dengan eskalasi konflik di Timur Tengah dan Revolusi Islam 1979.
Foto: picture alliance/AP Images
Pendekatan usai Revolusi Islam
Raja Khalid sempat melayangkan ucapan selamat kepada Ayatollah Khomeini atas keberhasilan Revolusi Islam 1979. Tapi hubungan kedua negara memburuk menyusul perang Iran-Irak dan kisruh Haji 1987. Puncaknya, Riyadh memutuskan hubungan pada 1987, ketika Khomeini mengecam penguasa Saudi sebagai "Wahabi yang tidak berperikemanusiaan, ibarat belati yang menusuk jantung kaum Muslim dari belakang."
Foto: Getty Images/Afp
Keberpihakan dalam Perang Iran-Irak 1980
Saat berkobar perang Iran-Irak, Arab Saudi sejak dini menyatakan dukungan terhadap rejim Saddam Hussein di Baghdad. Riyadh memberikan dana sumbangan sebesar 25 milyar US Dollar dan mendesak negara-negara Teluk lain untuk ikut mengisi pundi perang buat Irak. Demi menanggung biaya perang, Arab Saudi menggenjot produksi minyak yang kemudian mengakibatkan runtuhnya harga minyak di pasar dunia.
Foto: picture-alliance/dpa
Kisruh Haji 1987
Mengikuti ajakan Ayatollah Khomeini, jemaah Iran setiap tahun berdemonstrasi di Mekkah dan Madinah menentang Israel. Tradisi sejak 1981 itu tidak pernah diperkarakan, kecuali pada 1987, ketika polisi memblokade jalan menuju Masjid al-Haram. Akibat bentrokan, 402 jemaah Iran tewas dan 649 luka-luka. Setelah kedutaannya di Teheran diserbu massa, Riyadh memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran.
Foto: farhangnews
Kontroversi program nuklir Iran
Arab Saudi sejak awal menolak program nuklir Teheran. Sikap itu tidak berubah bahkan setelah tercapainya Perjanjian Nuklir di Vienna tahun 2015. Riyadh menilai kesepakatan tersebut "sangat berbahaya." Desakan kepada Iran untuk bekerja sama dengan pengawas nuklir PBB juga disampaikan Saudi pada awal 2023.
Foto: Irna
Pemberontakan Houthi di Yaman, 2004
Hubungan Iran dan Arab Saudi kembali menegang setelah kelompok Syiah Zaidiyah di Yaman mengobarkan pemberontakan. Riyadh menuding Teheran mengompori perang bersaudara dan mencampuri urusan dalam negeri Yaman dengan memasok senjata. Iran sebaliknya menuding Arab Saudi menghkhianati perannya sebagai mediator konflik dengan membombardir minoritas Houthi di utara Yaman.
Foto: picture alliance/Y. Arhab
Perang proksi di Suriah, 2011
Dukungan Iran atas rejim Bashar Assad di Suriah sejak lama dianggap duri dalam daging oleh Arab Saudi. Sejak 2011, Riyadh aktif memasok senjata buat oposisi Sunni di Suriah. Kerajaan di Riyadh juga menjadi yang pertama kali mengecam Assad seputar "tindakan represif pemerintahannya terhadap demonstrasi anti pemerintah," ujar Raja Abdullah saat itu.
Foto: picture-alliance/AP/Vadim Ghirda
Tragedi Mina 2015
Bencana memayungi ibadah Haji 2015 ketika lebih dari 400 jemaah Iran meninggal dunia di terowongan Mina akibat panik massa. Iran menuding pemerintah Arab Saudi ikut bertanggungjawab. Riyadh sebaliknya menyelipkan isu bahwa tragedi itu disebabkan jemaah haji Iran yang tak mau diatur. Kisruh memuncak saat pangeran Arab Saudi, Khalid bin Abdullah, mendesak agar Riyadh melarang masuk jemaah haji Iran.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Eksekusi Mati Al-Nimr 2016
Sehari setelah pergantian tahun Arab Saudi mengeksekusi mati 46 terpidana, antara lain Syeikh Nimr al-Nimr, seorang ulama yang aktif membela hak-hak minoritas Syiah yang kerap mengalami represi dan diskriminasi di Arab Saudi. Al-Nimr didakwa terlibat dalam terorisme. Sebagai reaksi Pemimpin Spiritual Iran, Ayatollah Ali Khamenei melayangkan ancaman, bahwa Saudi akan mendapat "pembalasan tuhan."
Foto: picture alliance/dpa/Y. Arhab
Drama di Lebanon
Pada November 2017 Perdana Menteri Lebanon Saad Hariri mengumumkan pengunduran diri dari Riyadh, Arab Saudi, dan menyalahkan Iran terkait kebuntuan politik di Beirut. Langkah itu diyakini bagian dari manuver Arab Saudi untuk memprovokasi perang antara Iran dan Hizbullah dengan Israel. Saudi dan Iran berebut pengaruh di Lebanon pasca penarikan mundur pasukan Suriah 2005 silam.
Foto: picture-alliance/dpa/AP/Lebanese Official Government/D. Nohra
Narasi damai di awal 2023
Menyusul mediasi Cina, pemerintah Arab Saudi sepakat memulihkan hubungan dengan Ira pada Maret 2023. Kesepakatan tersebut disusul pembukaan kembali relasi dengan Suriah dan perundingan damai dengan pemberontak Houthi di Yaman. Sebelumnya, negara-negara Teluk juga sepakat mengakhiri perpecahan dengan Katar, sekutu dekat Iran di Teluk Persia.
Foto: Iran's Foreign Ministry/WANA/REUTERS
11 foto1 | 11
Ancaman lonjakan inflasi
Dalam jangka pendek, masalah ekonomi terbesar yang disebabkan oleh konflik di Gaza adalah pasokan dan fluktuasi harga energi, kata para ekonom. Dalam skenario terburuk, jika konflik menyebar ke luar Israel, harga minyak bisa naik hingga $150 per barel, tulis analis di Bloomberg minggu ini. Harga saat ini masih bertengger di kisaran $90 per barel. Kenaikan harga energi akan menyebabkan lonjakan inflasi dan memperlambat pertumbuhan.
Risiko lain yang lebih mendesak adalah peningkatan arus pengungsi, kenaikan biaya asuransi, dan ancaman terhadap negara-negara di kawasan yang bergantung pada pendapatan pariwisata.
Menteri Keuangan Saudi, Mohammed al-Jadaan, sudah bertekad bahwa krisis di Gaza tidak akan mengganggu rencana investasi Arab Saudi. "Kami melakukan banyak upaya bersama mitra kami untuk memastikan agar segalanya kembali seperti dulu," ujarnya.
"Kepemimpinan Saudi memahami bahwa isu Palestina masih membebani isu domestik dan internasional, serta relasi dengan AS dan rivalitas dengan negara-negara muslim lain," kata Yamine Farouk, peneliti Timur Tengah di Carnegie Endowment for International Peace, sebuah lembaga wadah pemikir AS.
"Hal terakhir yang diinginkan Saudi adalah kekacauan regional yang menghadang pembangunan proyek Visi 2030," pungkasnya, merujuk pada ambisi Riyadh membangun kota futuristis di tepi Laut Merah.