1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikIndia

Akankah Pemilu Serentak Bakal Berhasil di India?

26 September 2024

Pemerintah India tengah mendorong rencana untuk mengubah sistem pemungutan suara sehingga pemilu untuk majelis negara bagian dan parlemen nasional akan berlangsung serentak pada hari yang sama.

Saat ini, pemilihan umum negara bagian tidak bertepatan dengan pemilihan umum nasional.
Saat ini, pemilihan umum negara bagian tidak bertepatan dengan pemilihan umum nasional, sehingga India menyelenggarakan satu pemilihan umum atau lainnya setiap beberapa bulan.Foto: Francis Mascarenhas/REUTERS

Kalau Indonesia punya pilkada serentak, india sekarang merencanakan hal serupa, hanya saja skalanya lebih besar lagi. Bayangkan negara sebesar India bakal mengadakan pemilu serentak di dalam satu hari! Pemilu yang dijanjikan Partai Bharatiya Janata BJP yang berkuasa di India menjelang pemilu 2024 adalah mengadopsi inisiatif "Satu Bangsa Satu Pemilu" atau ONOE.

Format pemilu yang diusulkan yakni penyelenggaran pemilu untuk majelis rendah parlemen India (Lok Sabha) akan dilakukan bersamaan dengan pemungutan suara untuk majelis negara bagian, kotamadya, dan dewan desa (panchayat). Jika rencara ini gol, maka akan dilakukan sekali setiap lima tahun.

ONOE akan menggantikan sistem pemilu India saat ini, di mana pemilu parlemen, majelis, dan badan lokal diadakan secara terpisah.

Perdana Menteri India Narendra Modi lebih lanjut menegaskan kembali komitmen pemerintahnya terhadap ONOE dalam pidato Hari Kemerdekaannya bulan lalu, dengan mengimbau semua partai politik untuk mewujudkan komitmennya.

Menyelaraskan siklus pemilu India

Minggu lalu, laporan soal ONOE disetujui oleh kabinet Modi setelah panel tingkat tinggi yang dipimpin oleh mantan Presiden Ram Nath Kovind menyampaikan rekomendasinya untuk menyelaraskan siklus pemilu pemerintah pusat dan negara bagian.

Pada langkah pertama, panel tersebut merekomendasikan pemilihan serentak untuk Lok Sabha dan majelis legislatif negara bagian..Langkah kedua — yang akan berlangsung dalam waktu 100 hari sejak langkah pertama — akan mencakup pemilihan umum untuk semua badan lokal pedesaan dan perkotaan.

Panel Kovind juga menyerukan pembentukan kelompok pelaksana untuk memastikan kelancaran peluncuran rekomendasi tersebut.

Menurut laporan itu, analisis komparatif negara-negara yang menyelenggarakan pemilihan umum serentak — seperti Jerman, Jepang, Indonesia, Filipina, dan Belgia — dilakukan untuk mengadopsi praktik terbaik bagi sistem ONOE. "Kami berencana untuk menerapkan satu negara satu pemilihan umum dalam masa jabatan pemerintahan ini," kata menteri dalam negeri Amit Shah, setelah menyelesaikan 100 hari masa jabatan.

BJP dengan tegas mendukung usulan tersebut. Partai pemerintah ini berpendapat bahwa ONOE akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, menyediakan tata kelola yang lebih baik, mengurangi pemborosan dana publik, dan akan mengatasi kelelahan pemilih serta meningkatkan partisipasi pemilih.

"Kita tidak bisa selalu berada dalam mode kampanye dan pemilihan umum. Pemilihan umum yang sering akan mengalihkan perhatian dari tata kelola, yang sangat penting bagi para pemilih," kata Shazia Ilmi, juru bicara BJP, yang menambahkan bahwa sistem ONOE akan memungkinkan para legislator untuk lebih fokus pada isu-isu lokal di daerah pemilihan masing-masing. "Kita harus terbuka terhadap gagasan ini dan mari kita lihat sisi positifnya," kata Ilmi kepada DW.

Para penentang memperingatkan risiko bagi federalisme

Para pengkritik langkah tersebut, terutama partai-partai oposisi arus utama, mengkhawatirkan bahwa pendekatan ini merusak federalisme dan berisiko menggeser India ke arah model pemilihan presiden. Beberapa kalangan meyakini bahwa langkah tersebut juga berupaya untuk memperkuat pemerintah pusat dan mempromosikan identitas Hindu-nasionalis pan-India.

"Kami tidak setuju dengan hal ini. ONOE tidak dapat bekerja dalam demokrasi. Pemilihan umum perlu diadakan sesuai kebutuhan jika kita ingin demokrasi kita bertahan," ujar Presiden Partai Kongres Mallikarjun Kharge kepada media lokal.

Partai-partai politik regional, yang juga mengecam langkah tersebut, mengatakan ONOE merupakan upaya untuk memusatkan dan menyeragamkan negara yang luas dan beragam yang tidak praktis karena mengabaikan struktur federal, yang pada dasarnya merupakan asosiasi negara-negara bagian.

"ONOE bertentangan dengan prinsip dasar federalisme yang tercantum dalam konstitusi India. Pemilihan negara bagian diperebutkan berdasarkan isu-isu regional dan dalam kasus ONOE, isu-isu nasional akan menang atas aspirasi regional," papar RP. Singh, penasihat politik untuk Partai Samajwadi kepada DW.

"Selain itu, ini penuh dengan konsekuensi yang mengancam bagi pemerintahan demokratis India meskipun ada klaim manfaat yang seharusnya," tambah Singh.

Asaduddin Owaisi, anggota parlemen yang tergabung dalam All India Majlis-e-Ittehadul Muslimeen, mengatakan kepada DW bahwa ONOE tidak dapat dipaksakan pada negara yang beragam dan pluralistik seperti India.

"Usulan muluk ini hanyalah taktik murahan lain dari BJP yang antidemokrasi. Mereka gagal menyadari bahwa usulan ini merupakan ancaman bagi partai-partai regional, federalisme, dan keberagaman India," kata Owaisi.

Para pendukung klaim pemilu serentak bakal menghemat biaya

Pendukung sistem pemilu serentak ONOE berpendapat bahwa pengeluaran anggaran merupakan alasan utama untuk mendukung gagasan tersebut. Saat ini, pemilihan umum diadakan pada waktu yang berbeda di seluruh India, yang membutuhkan pengeluaran besar-besaran. Menyelenggarakan semua pemilihan umum secara bersamaan dianggap dapat menghemat uang dan waktu.

Namun mantan Kepala Komisioner Pemilihan Umum SY. Quraishi menyatakan kekhawatiran tentang biaya yang dikeluarkan untuk ONOE dan persiapan ekstensif yang diperlukan.

"Sungguh mimpi buruk logistik, bahwa mereka akan membutuhkan tiga kali lipat jumlah mesin pemungutan suara elektronik dan jejak audit kertas yang dapat diverifikasi pemilih. Uang yang dibutuhkan sangat besar, padahal yang disebut gagasan di balik ONOE adalah untuk memangkas biaya," kata Quraishi kepada DW.

Ia lebih lanjut menunjukkan bahwa masalah biaya pemilihan umum dapat ditangani dengan lebih baik melalui reformasi dalam pembiayaan politik.

"Ada kesulitan praktis dan perlu diperdebatkan di parlemen. Selain itu, mengadakan pemilihan umum serentak untuk pemilihan umum, majelis negara bagian dan badan-badan lokal dapat mengakibatkan pengenceran akuntabilitas demokratis," tambahnya.

Rintangan di depan

Aliansi Demokratik Nasional NDA yang dipimpin BJP masih menghadapi rintangan signifikan karena implementasinya bergantung pada upaya mengamankan mayoritas dua pertiga di parlemen untuk melakukan amandemen terhadap konstitusi.

Tidak seperti dua periode sebelumnya, pemerintahan Modi sekarang harus mengandalkan sekutu dan partai-partai yang bersahabat untuk meloloskan Rancangan Undang-undang (RUU) tersebut.

Meskipun memiliki suara mayoritas di kedua majelis, aliansi yang berkuasa gagal mencapai target dua pertiga mayoritas yang disyaratkan dengan lebih dari 50 suara di majelis tinggi atau Rajya Sabha dan 72 suara di Lok Sabha. Selain itu, mendapat persetujuan dari semua negara bagian dan teritorial federal adalah hal wajib.

RUU tersebut diharapkan akan diperkenalkan pada sesi jelang akhir tahun parlemen mendatang. Namun, mengingat oposisi yang keras dan kurangnya jumlah anggota parlemen di pihaknya, partai yang berkuasa akan menghadapi rintangan.

"ONOE dimaksudkan untuk memaksakan satu narasi pada negara yang majemuk dan beragam," kata mantan menteri keuangan dan pemimpin kongres, P. Chidambaram, dan menambahkan bahwa ia berharap ONOE akan "mati saat waktunya tiba."

Berkaca pada pemilu serentak di Indonesia?

Usai Pemilihan Umum 2024 di mana pemungutan suara pemilihan presiden dan legislatif dilakukan serentak,  masyarakat Indonesia kembali dihadapkan pada Pilkada Serentak 2024. Jelang pemungutan suara pada 27 November 2024, suhu politik di tanah air kembali memanas. Demikian dikutip dari Kompas.

Baru-baru ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI mengumumkan, Pilkada Serentak 2024 yang diselenggarakan di 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota diikuti oleh 1.553 pasangan calon kepala daerah.

Hal ini merupakan rekapitulasi data usai penetapan pasangan calon kepala daerah dilakukan KPU masing-masing wilayah pada Minggu (22/09). "Dari total 1.561 pasangan calon yang mendaftar ke KPU, baik di tingkat provinsi, kemudian ke kabupaten/kota ... KPU, baik tingkat provinsi, kabupaten-kota, telah menetapkan 1.553 pasangan calon," kata anggota KPU RI, August Mellaz, dalam jumpa pers pada Senin (23/09). Dari jumlah itu, 103 di antaranya merupakan pasangan calon gubernur-wakil gubernur, 284 pasangan wali kota dan wakilnya, sedangkan 1.166 sisanya merupakan pasangan calon bupati dan wakilnya.

Dilansir dari Kompas, dengan demikian, ada 8 bakal pasangan calon yang tidak ditetapkan sebagai pasangan calon yang akan berlaga pada Pilkada 2024 karena dianggap tak memenuhi persyaratan.

Dari 1.553 pasangan calon kepala daerah tersebut, 1.500 di antaranya merupakan usungan partai politik/gabungan partai politik, sedangkan 53 sisanya merupakan pasangan calon jalur independen/nonpartai/perseorangan.

KPU juga mengonfirmasi bahwa pasangan calon tunggal yang berlaga pada Pilkada Serentak 2024 turun menjadi hanya 37 pasangan calon, dari sebelumnya 44 bakal pasangan calon tunggal yang mendaftar ke KPU setempat.

Setelah ini, para pasangan calon kepala daerah dapat mulai berkampanye selama masa kampanye yang berlangsung selama 60 hari, terhitung sejak 25 September sampai 23 November 2024. Adapun pemungutan suara Pilkada Serentak 2024 dijadwalkan pada 27 November 2024.
 

(Tambahan sumber: Kompas)

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait

Topik terkait

Tampilkan liputan lainnya