Akankah Perang Dingin Duterte Dengan Gereja Berakhir?
17 Januari 2019
Presiden Filipina Rodrigo Duterte kembali membuat kontroversi terkait pernyataanya. Dalam pidatonya ia menghina para uskup di Fipina dengan kata-kata yang tidak pantas. Pihak gereja pun akhirnya angkat bicara.
Iklan
Presiden Filipina, Rodrigo Duterte kembali membuat kontroversi dengan pernyataannya. Ia mencela para uskup di negara itu yang mayoritas penduduknya adalah penganut Katolik dengan sebutan yang tak pantas. Duterte diketahui beberapa kali sering mengkritik gereja-gereja yang ada di Filipina, ini merupakan balasan Sang Presiden atas protes yang dilancarkan pihak gereja terkait keputusannya dalam memerangi narkoba.
Sejak tahun 2016, Duterte giat mengkampanyekan perang melawan narkoba. Ia memerintahkan kepada aparat penegak hukum di Filipina untuk menembak mati mereka yang terlibat dengan obat-obatan terlarang.
Duterte sendiri tidak menyebutkan alasan khusus dibalik pernyataannya saat ia sedang meresmikan peletakan batu pertama pembangunan sebuah sekolah di bagian utara Manila, Filipina. Bahkan ia menuding sebagian besar uskup merupakan pecinta sesama jenis.
"Sebagian besar mereka semua adalah pecinta sesama jenis. Mereka harusnya mengakui secara terbuka, membatalkan janji suci, dan biarkanlah mereka memiliki kekasih." ujar Duterte dilansir dari Reuters.
Manila Yang Tercekik Sampah Plastik
Distrik Tondo yang berdiri di antara tumpukan sampah plastik, menghidupi sekitar 600.000 penduduk miskin di Manila. Tanpa kawasan kumuh tersebut, ibukota Filipina akan tertimbun limbah plastik yang tak kunjung surut.
Foto: Getty Images/J. Aznar
Sungai Plastik
Gambaran serupa juga dimiliki Indonesia: sebuah sungai di tengah kota yang dipenuhi sampah plastik. Sejak beberapa tahun terakhir organisasi lingkungan Greenpeace menempatkan ibukota Filipina, Manila, di urutan ke tiga dalam daftar sumber polusi sampah plastik terbesar di dunia, setelah Cina dan Indonesia.
Foto: Getty Images/J. Aznar
Happyland yang Penuh Sampah
Happyland adalah sebuah kampung miskin di jantung Manila. Meski namanya yang mengindikasikan hal berbeda, "Hapilan" - begitu warga Filipina menyebut kawasan kumuh itu, berarti "sampah berbau busuk" dalam bahasa Tagalog. Di sini penduduk miskin Manila hidup dari mengumpulkan dan menjual sampah.
Foto: Getty Images/J. Aznar
Plastik Bertukar Peso
Penduduk kawasan kumuh Happyland bekerja layaknya mesin daur ulang: Mereka mengumpulkan botol plastik dan jenis sampah daur ulang lain, memilah dan menjualnya kepada penadah untuk beberapa Peso. Hanya dengan cara itu mereka bisa bertahan hidup.
Foto: Getty Images/J. Aznar
Sampah Menggiurkan
Meski begitu Happyland memangku harapan ribuan kaum miskin di Manila. Lantaran bisnis daur ulang sampah plastik, penduduk kawasan kumuh ini bertambah pesat dari 3.500 orang di tahun 2006 menjadi 12.000 orang pada 2016.
Foto: Getty Images/J. Aznar
Berharap pada Pendidikan
Tidak sedikit anak-anak di bawah umur bekerja memulung sampah bersama orangtuanya. Kemiskinan yang menghimpit menjauhkan mereka dari sekolah. Namun kini muncul kesadaran orangtua untuk menyekolahkan anak mereka meski pendapatan yang ala kadarnya. Tanpa pendidikan, lingkaran kemiskinan di Happyland nyaris mustahil dipatahkan.
Foto: Getty Images/J. Aznar
Bermain di Pantai Sampah
Jika anak-anak di Manila bermain di atas pantai, mereka tidak lagi bisa berlari di atas pasir putih, melainkan timbunan sampah. Selain kawasan kumuh seperti Happyland, sebagian sampah yang diproduksi di ibukota mendarat di pantai. Lemahnya penegakan hukum memperparah situasi tersebut, klaim organisasi lingkungan Greenpeace.
Foto: Getty Images/J. Aznar
Kemasan Ramah Lingkungan?
Salah satu faktor maraknya sampah plastik adalah desain kemasan perusahaan besar. Greenpeace menuding Nestle atau Unilever ingin berhemat biaya dengan menjual kemasan sekali buang. Namun Nestle misalnya berjanji akan mengganti semua jenis kemasan menjadi lebih ramah lingkungan selambatnya tahun 2025.
Foto: Getty Images/J. Aznar
Duit Sengit Sampah Plastik
Happyland adalah bagian dari distrik Tondo yang menjadi kawasan miskin berpenduduk 600.000 orang di Manila. Di sinilah sebagian besar sampah ibukota diolah, meski tanpa infrastruktur dan fasilitas yang memadai. Kelangkaan infrastruktur pula yang membuat limbah dari Tondo mencemari sungai Pasig yang melintasi Manila.(Wagner/Kling/rzn)
Foto: Getty Images/J. Aznar
8 foto1 | 8
Biarkan apa adanya
Menanggapi pernyataan Duterte, Uskup Agung Lingayan-Dagupan, Socrates Villages, mengaku tidak ambil pusing. Justru ia prihatin dengan keadaan Sang Presiden.
"Karena gereja-gereja disini sudah ada selama 2.000 tahun lamanya atas kehendak Tuhan, itulah yang kami yakini. Bahkan gereja disini sudah melalui hal-hal yang lebih parah (dibanding pernyataan presiden) dalam kurun waktu tersebut. Saya khawatir dengaan keadaan presiden, karena itu tidak baik untuk kesehatannya." ujar Villages dilansir dari Philippine Star.
Sementara itu, dalam konferensi persnya juru bicara kepresidenan Salvador Panelo menghimbau masayarakat Filipina agar tidak terpancing polemik ini. "Presiden berhak mengutarakan pemikirannya akan hal apapun, menurutnya itu penting. Sama halnya juga untuk para uskup (mengutarakan pemikirannya), tak peduli apa yang mereka sampaikan." tandasnya.
Gerakan Duterte melawan narkoba dirasa ampuh memberikan efek jera kepada pengguna serta pengedar di negara tersebut, namun banyak pihak gereja yang juga mengkritik langkah pria berusia 73 tahun tersebut. Pihak gereja vokal dalam menyerukan keadilan dan tawaran perlindungan terhadap pengguna obat-obatan terlarang.
Belum lama ini, Filipina mengklaim telah menembak mati 5.000 orang dalam operasi anti-narkoba yang dilakukan oleh polisi di bawah arahan Rodrigo Duterte. Pihak kepolisian Filipina menolak tuduhan bahwa pembunuhan itu adalah eksekusi, dengan mengatakan pengguna dan pengerdar narkoba tewas dalam baku tembak. Polisi berdalih mereka melakukan itu atas dasar membela diri.