1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Akankah Tragedi 1998 Terulang?

24 Oktober 2017

Ketika WNI keturunan yang mengungsi sejak tragedi 1998 berjuang agar tidak dideportasi dari Amerika Serikat, warga etnis Tionghoa di Indonesia menghadapi sentimen anti Cina yang kian marak setelah Pilkada DKI Jakarta

Indonesien Feier Chinesisches Neujahr
WNI merayakan tahun baru Cina di JakartaFoto: Getty Images/O. Siagian

Ingatan adalah beban. Ketika 1998 Sylvia Agustina menyaksikan ayahnya pergi ke Amerika Serikat untuk mencari suaka dan membangun kehidupan baru buat keluarga, dia perlahan telah berpisah dari tanah airnya. Buat perempuan berdarah Tionghoa itu Indonesia tidak lagi sama setelah bulan Mai di tahun jahanam tersebut.

"Mereka memerkosa dan membunuh warga keturunan," kata ibu satu anak yang kini menetap di AS. "Mereka membakar dan membom gereja. Sangat berbahaya untuk hidup di sana saat itu," imbuhnya kepada Fosters, sebuah koran lokal di Dover, New Hampshire.

Kini keluarga kecil itu berjuang menghindari gelombang deportasi yang mengancam ribuan WNI. Kebanyakan yang warga keturunan Tionghoa tersebut mengikuti program Operation Indonesian Surrender untuk bisa hidup di AS pasca kerusuhan 1998. Namun sejak Donald Trump berkuasa, mereka terancam dipulangkan secara paksa.

Setelah mengungsi dari Indonesia kebanyakan keluarga menghadapi perjalanan panjang dan melelahkan buat mendapat izin tinggal tetap. Ayah Agustina dideportasi 2008 silam setelah ditangkap polisi dalam sebuah pemeriksaan rutin. Keduanya tidak pernah lagi bertemu selama 12 tahun.

Nasib serupa akan dihadapi sejumlah WNI keturunan Tionghoa di Indonesia yang hidup dalam bayang-bayang kerusuhan 1998. Harian Hong Kong, South China Morning Post, baru-baru ini menulis betapa banyak keluarga keturunan yang menyiapkan rencana melarikan diri jika kerusuhan etnis kembali berkecamuk.

Christine Tjhin, peneliti Centre for Strategic and International Studies di Jakarta, mengatakan banyak orangtua yang menganjurkan agar anaknya yang mengenyam pendidikan di luar negeri agar mencari kerja di luar Indonesia. "Jangan pulang dulu. Belum aman," ujarnya menirukan pesan para orangtua tersebut.

"Keputusan untuk melarikan diri kebanyakan didasarkan pada rasa takut," imbuhnya,

Ketakutan tersebut kian menguat menyusul sentimen anti Cina yang bergelora di sela-sela Pilkada DKI Jakarta. Banyak WNI keturunan yang mengaku mengalami diskriminasi dan gelombang kebencian, terutama setelah bekas Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dijebloskan ke penjara lantaran terjerat pasal penodaan agama.

Penggantinya, Anies Baswedan, yang ikut menumpang arus kebangkitan kelompok konservatif Islam untuk merebut kursi DKI-1, tidak banyak membantu meredakan ketegangan etnis ketika menggunakan kata "pribumi" dalam pidatonya. Kendati ia berdalih sedang bertutur dalam konteks sejarah, istilah "pribumi" membangkitkan kengerian 1998 di kalangan WNI keturunan.

Kepada South China Morning Post, Daisy Santoso, seorang WNI keturunan Tionghoa yang membangun label fesyen di Jakarta, menceritakan pengalamannya menghadapi sentimen anti-Cina yang kembali marak. "Seorang perempuan yang saya jumpai di sebuah toilet mengira saya memotong antrian. Dia memaki 'dasar Cina!'. Ada lagi pengemis yang saya tolak secara sopan memanggil saya dasar kafir."

Kengerian semacam itu yang kini dihadapi oleh Sylvia Agustina dan WNI lain di AS. Senin (23/10) Gubernur New Hampshire, Chris Sununu, menulis surat kepada Donald Trump agar menunda deportasi terhadap WNI yang tinggal di wilayahnya. Desakan serupa dilayangkan Senator Jeanne Shaheen kepada Gedung Putih.

"Kita tidak bisa menempatkan keluarga-keluarga ini dalam bahaya dengan mengusir mereka ke negara di mana presekusi agama masih menjadi ancaman nyata," tulisnya.

rzn/vlz (dari berbagai sumber)