Politik identitas yang dimulai sejak berbulan-bulan di Jakarta kini berakhir bahagia. Tidak ada utang yang tersisa di antara jenderal, komandan, para prajurit, serta rakyat. Simak opini Geger Riyanto
Iklan
Bagaimana kita tega mengatakan politik identitas yang berlarut-larut beberapa bulan ini tidak berakhir bahagia? Anies, yang peruntungan politiknya selalu naas, akhirnya memperoleh mandat politik yang sepadan dengan predikat-predikat intelektualnya.
Satu tombol ditekannya untuk menanggalkan identitasnya yang selama ini identik dengan "Islam liberal” dan "Syiah,” lantas ia memperoleh satu jabatan yang merenggut perhatian tidak adil dari media massa.
Presiden Anies Rasyid Baswedan Ph.D.? Orang nomor satu Indonesia yang merupakan cendekiawan sekaligus figur pemimpin Islam? Ini pun kini bukannya mustahil apabila ia menjalani jabatannya dengan siraman cinta tak henti dari para pendukungnya.
Prabowo, yang terus-menerus ditusuk oleh insan-insan yang dibesarkannya sendiri, dari Jokowi hingga Ahok, pun memperoleh pembalasan yang didapatkan Mande Rubayah—Ibu Malin Kundang.
Prabowo berterima kasih kepada semua orang yang bisa dihaturkannya ucapan terima kasih. Kita dapat memahami ini. Ia adalah sang ayah yang akhirnya berhasil menyaksikan anak-anak yang durhaka mendapat ganjarannya. Ditambah, ia kini mempunyai kuda hitam yang dapat memberikannya kesempatan menandingi Jokowi di pemilihan mendatang.
FPI puas, umat pun puas?
Rizieq Shihab memenangkan perjuangan akbar yang telah dirintisnya berbulan-bulan silam. Gelar imam besar Islam yang disandangkan kepadanya oleh kelompoknya sendiri akan diakui meluas. Ia akan dikenal sebagai sosok penggerak umat tanpa tandingan.
Dan umat, tentu saja, yang menginginkan pimpinan yang tak menista agama, akhirnya mempunyai pemimpin yang mereka yakini Islami. Tak peduli sebelumnya ia disandingkan dengan macam-macam dakwaan sesat. Tak peduli sebelumnya ia berdiri jauh di seberang ormas-ormas radikal yang kini merengkuhnya.
Politik identitas, yang telah merusak hubungan pertemanan banyak orang, mengisap perhatian semua provinsi secara tak perlu, menghamburkan berlimpah-limpah uang dan sumber daya, berakhir dengan indah. Apa yang kurang?
Ada beberapa. Tapi, tentu saja, tidak banyak dan tidak terlalu penting. Isu ketimpangan dan marjinalisasi, contohnya saja, tidak pernah mewarnai pekik-pekik yang diteriakkan para pembela identitas. Faktanya, penggusuran dalam kurun dua tahun terakhir di Jakarta telah menuai korban yang jumlahnya bisa jadi melampaui periode kepemimpinan gubernur-gubernur sebelumnya. LBH Jakarta mencatat korban penggusuran yang dilakukan Ahok sebesar 25.533 korban. Dari semua penggusuran yang dilakukan, hanya 5 persen dari antaranya yang dilangsungkan setelah melalui mekanisme musyawarah.
Angka-angka dramatis ini tidak penting. Kalau ia penting, ia tak seharusnya raib di belantara hingar-bingar perjuangan melengserkan sang penista dari jabatannya. Demikian juga dengan perbincangan perihal program-program yang akan menyangkut jaminan sosial yang dibutuhkan warga. Perbincangan tentang KJS, KJP, rumah DP 0 persen tidak cukup penting dan, karenanya, ia tak pernah terdengar di antara seruan-seruan untuk mengangkat seorang pemimpin yang seagama.
Pat Gulipat ala Rizieq Shihab
Rizieq Shihab yang dulu gemar beradu otot dengan penguasa kini menjadi primadona politik jelang Pilkada. Tapi meski kian berpengaruh, sepak terjangnya kerap membuat gaduh. Kini Rizieq kembali digoyang.
Foto: Getty Images/Adek Berry
Pelarian Terakhir
Sejak 2014 Rizieq Shihab menjadi pelarian terakhir buat calon pejabat tinggi yang kekurangan suara buat memenangkan pemilu. Saat itu Front Pembela Islam (FPI) didekati duet Prabowo dan Hatta hanya sebulan menjelang pemilihan umum kepresidenan. Kini pun Rizieq kembali dirayu dua pasangan calon gubernur DKI yang butuh dukungan buat menggusur Basuki Tjahaja Purnama.
Foto: picture-alliance/dpa/B.Indahono
Tolak Perempuan
Rekam jejak politik FPI sudah berawal sejak era Megawati. Dulu Rizieq menggalang kampanye anti pemimpin perempuan. Saat itu organisasi bentukannya mulai mendulang dukungan lewat aksi-aksi nekat seperti menggerudug lokasi hiburan malam. Namun di tengah popularitasnya yang meluap, Rizieq dijebloskan ke penjara karena menghina Sukarno dan Pancasila.
Foto: Adek Berry/AFP/Getty Images
Tanpa Daya Pikat
Sebulan menjelang pemilihan presiden pertama 2009, FPI mendeklarasikan dukungan buat Jusuf Kalla dan Wiranto. Serupa 2014, saat itu pun deklarasi dukungan oleh Rizieq gagal mendatangkan jumlah suara yang diharapkan. Pengamat sepakat, ormas agama serupa FPI belum memiliki daya pikat untuk menyihir pemilih muslim.
Foto: picture-alliance/dpa
Perang di Jakarta
Namun roda nasib berbalik arah buat Rizieq. Sejak 2013, dia telah menggalang kampanye menentang Gubernur Petahana Basuki Tjahaja Purnama lantaran tidak beragama Islam. Puncaknya pada 14 Oktober 2014 FPI menggalang aksi demonstrasi sejuta umat. Namun yang datang cuma ribuan orang. Pilkada DKI Jakarta 2016 akhirnya menawarkan panggung buat FPI untuk kembali menanamkan pengaruh.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Kampanye Anti Gubernur Kafir
Pidato Ahok yang mengritik politisasi Al-Quran untuk pemilihan umum dan pilkada menjadi umpan buat FPI. Bersama GNPF-MUI, Rizieq menyeret Ahok ke pengadilan dengan dakwaan penistaan agama. Ia pun menggelar aksi protes melawan Ahok yang kali ini mengundang ratusan ribu umat Muslim dari seluruh Indoensia. Manuver tersebut coba dimanfaatkan pasangan calon lain untuk menggembosi dukungan terhadap Ahok
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Koalisi Oposisi
Rizieq lagi-lagi naik daun. Ia pun didekati Agus Yudhoyono dan Anies Baswedan yang membutuhkan suara tambahan buat memenangkan pilkada. Untuk pertamakalinya FPI berpeluang memenangkan salah satu calon untuk merebut kursi strategis. Tapi serupa 2003, kali ini pun sepak terjang Rizieq di arena politik mendatangkan lawan yang tak kalah garang.
Foto: AFP/Getty Images
Pertaruhan Terakhir
Saat posisinya melambung, Rizieq Shihab terancam kembali diseret ke penjara dengan berbagai dakwaan, antara lain penghinaan simbol negara dan pornografi. Tapi sang Habib tidak tinggal diam dan memilih melancarkan serangan balik kepada Ahok, seakan nasibnya ditentukan pada hasil Pilkada DKI. Pertaruhan Rizieq menyimpan risiko tinggi. Namun jika berhasil, maka kuasa adalah imbalannya.
Foto: Getty Images/Adek Berry
7 foto1 | 7
Bila Anda belum mendengarnya, Anda mungkin perlu mendengar satu hal ini: temuan exit poll Indikator Politik Indonesia menunjukkan, 58 persen pemilih kandidat nomor tiga memilih dengan pertimbangan mereka mempunyai agama yang sama dengannya. Para pemilih yang memilih dengan pertimbangan program kandidat terpilih meyakinkan? Tak lebih dari tujuh persen. Dengan pertimbangan kandidat terpilih akan membawa perubahan? Sembilan persen. Dan yang kian memukau adalah ini menjadi pertimbangan memilih di satu tempat di mana empat orang terkaya menguasai kekayaan setara dengan 100 juta warga termiskin.
Tetapi, bukankah kita memang tak pernah terlalu muluk-muluk menuntut perubahan riil dalam pusparagam ajang yang silih berganti meminta kita mengamanahkan mandat kepada orang-orang yang tidak kita kenal? Bukankah kita, memang, tak pernah mempunyai ekspektasi yang sama luar biasanya untuk figur-figur yang menjajakan janji-janji luar biasa itu?
Selepas sang pemimpin terpilih, mereka jamak menghilang ke balik tabir tak terjangkau. Mereka beranjak ke kehidupannya yang baru, yang lebih bermartabat, dan yang bertaburan peluang-peluang menarik. Kita kembali ke kehidupan yang fana dan penat—persis atau mungkin lebih tak menyenangkan dibandingkan sebelum pemilihan. Kita bukan hanya sudah tahu ini. Kita sudah terlalu dibiasakan dengan ini. Dan kita, tetap saja, senang dengan janji-janji baru yang ditawarkan beberapa tahun selepasnya.
Dengan perulangan-perulangan yang melelahkan itu, maka janji yang paling bisa dipegang dalam perhelatan politik adalah janji kemenangan dalam sebuah perang imajinatif. Sebuah janji yang tak perlu repot-repot dituntaskan. Janji yang tunai tepat sesudah satu kandidat terpilih.
7 Fakta Pilkada 2017
Pilkada Jakarta menjadi salah satu pertempuran politik panas dalam era demokratisasi di tanah air. Pertarungan untuk memimpin kota berpenduduk lebih dari 10 juta jiwa itu memicu ketegangan politik.
Gubernur petahana ini mengambil alih kepemimpinan Jakarta tahun 2014, setelah Joko Widodo memenangkan kursi kepresidenan.Di era reformasi, ia jadi gubernur Jakarta pertama beretnis Cina-beragama Kristen. Saat proses Pilkada berjalan, ia tersandung kasus dugaan penistaan agama. Komitmen Ahok termasuk penganggulangan banjir kronis, mengatasi kemacetan lalu lintas & meningkatkan kinerja birokrasi.
Foto: Reuters/Antara Foto/H. Mubarak
Dari militer ke politik: Agus H. Yudhoyono
Dia adalah putra tertua mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan pensiun dari militer pada usia 38 tahun dan ingin menjadi gubernur. Dia didukung oleh Partai Demokrat dan beberapa partai-partai Islam. Kampanye Agus yang didampingi Sylviana Murni berfokus pada peningkatan kehidupan kaum miskin Jakarta dan berjanji menyokong dana tunai untuk keluarga berpenghasilan rendah.
Foto: Reuters/Antara Foto/R. Esnir
Calon akademisi: Anies Baswedan
Baswedan, 47, adalah mantan menteri pendidikan di pemerintah Joko Widodo.Dia didukung oleh Gerindra, partai yang dipimpin Prabowo Subianto. Kampanye Anies Baswedan dan pasangannya pengusaha Sandiaga Uno berfokus pada peningkatan pendidikan publik dan memerangi tingginya biaya hidup di ibukota.
Foto: Reuters/Antara Foto/M. Agung Rajasa
Proses voting di Jakarta
Hasil resmi pemungutan suara diperkirakan akan diumumkan 08-10 April 2017. Jika tidak ada kandidat mencapai suara mayoritas di babak pertama, maka dua kandidat yang mengamankan suara terbanyak akan kembali bersaing di putaran kedua. Kandidat yang tidak puas dengan hasil pemilu dapat membawa sengketa hasil pemungutan suara ke Mahkamah Konstitusi.
Foto: Reuters
Situasi khusus
Jika Ahok memenangkan pemilihan di Jakarta tapi divonis bersalah di pengadilan untuk kasus hukum dugaaan penistaan agama, maka ia masih diperbolehkan tetap menjabat sebagai gubernur selama proses banding masih berlangsung.
Foto: picture alliance / dpa
Fokus KPU: ancaman keras bagi politik uang
Dalam UU Pilkada diatur: "Setiap orang yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada WNI untuk mempengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, gunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara jadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu diancam penjara antara 36-72 bulan dan denda Rp.200 juta- 1 milyar.
Foto: Reuters
Bukan hanya di Jakarta
7,1 juta orang terdaftar untuk memilih di Jakarta. Namun, pilkada bukan hanya diadakan di Jakarta. Pilkada serentak diikuti 101 daerah yang tersebar di 31 provinsi. Tujuh provinsi termasuk Jakarta akan memilih gubernur. Di 31 provinsi berlangsung pemilihan walikota dan bupati. Ed: ap/yf (rtr/kpu)
Foto: picture-alliance/dpa
7 foto1 | 7
"Perang Badar"sudah dimenangkan
Dan inilah mengapa kita bisa mengatakan politik identitas yang dimulai sejak berbulan-bulan silam di Jakarta kini berakhir bahagia. Tidak ada utang yang tersisa di antara jenderal, komandan, para prajurit, serta rakyat yang terlibat dalam perjuangan. "Perang Badar" sudah dimenangkan. Dan selanjutnya, orang-orang—para elite, tepatnya—akan belajar bahwa mengumpamakan kampanye mereka dengan perang adalah hal yang paling ampuh menggugah emosi serta menggerakkan orang-orang. Bonusnya, mereka tak perlu menjajakan janji apa pun yang akan membuatnya terikat dengan pemilihnya.
Memang, politik identitas tidak berakhir indah bagi segelintir kecil orang yang nama komunitas etnis, agamanya menjadi sasaran empuk ujaran-ujaran kebencian yang terus-menerus mencuat darinya. Mereka, memang, tersisih dari akhir bahagia. Dan, bukan hal yang hanya sekali-dua kali mereka tak hanya lekat dengan dakwaan-dakwaan menyakitkan melainkan juga terenggut semua yang dimilikinya. Tetapi, jumlah mereka toh secuil. Kita tak harus menyaksikan wajah cemas dan gusar mereka karena mereka jauh di luar dinding di mana kita merayakan kemenangan.
Maka, ini adalah akhir terbaik yang mungkin didapatkan semuanya. Kalaupun kita tak memperoleh apa pun nantinya dari oligarki baru yang terbentuk setelah ini, kita masih bisa mengatakan, kita pernah meraih satu kemenangan simbolik. Satu kisah yang bisa diceritakan dengan bangga setidaknya.
Penulis:
Geger Riyanto
Esais dan peneliti sosiologi. Mengajar Filsafat Sosial dan Konstruktivisme di UI. Bergiat di Koperasi Riset Purusha.
@gegerriy
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Wara Wiri Gubernur Petahana
Meski segudang prestasi, gaya kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama di Jakarta banyak mendulang kontroversi. Ini sejumlah skandal yang digunakan musuh politiknya untuk menohok bekas Bupati Belitung Timur tersebut
Foto: picture-alliance/AP Photo/D. Alangkara
Pro dan Kontra
Gayanya yang blak-blakan dan terbuka kerap memicu perang mulut dengan sejumlah politisi atau pejabat di Jakarta. Ahok yang mengincar kursi DKI 1 pada Pilkada 2017 harus menghadapi sejumlah skandal untuk bisa melanjutkan masa jabatannya. Mampukah musuh-musuh politiknya menjungkalkan Ahok?
Foto: picture-alliance/epa/B. Indahono
Singkat Kata Penistaan Agama
Berawal dari pidatonya di Pulau Seribu ihwal politisasi surat Al-Maidah 51, Ahok kini berseteru dengan kelompok Islam konservatif yang digalang FPI buat mencari keadilan di depan meja hijau. Polemik penistaan agama menjadi bola liar pada pilkada, lantaran dampaknya pada elektabilitas yang dinamis dan sulit diukur. Sidang kasus penodaan agama menjadi batu sandungan terbesar ahok menuju kursi DKI 1
Foto: Reuters/B. Indahono/Pool
Reklamasi Sarat Kontroversi
Simpang siur soal kewenangan pemberian izin reklamasi pantai utara Jakarta adalah batu sandungan terbesar buat Ahok jelang Pilkada 2017. Sang gubernur diyakini menyalahi aturan soal pemberian izin. Proyek raksasa tersebut akhirnya ditunda setelah pemerintah turun tangan. KPK menangkap anggota DPRD DKI Sanusi dan Direktur Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja, atas dugaan kasus suap reklamasi.
Foto: Fotolia/aseph
Sumber Waras Tanah Bertulah
Berawal dari audit Badan Pemeriksa Keuangan, pembelian lahan di rumah sakit Sumber Waras memicu kontroversi karena diindikasikan sarat korupsi. Kasusnya hingga ditangani KPK. Negara ditengarai merugi sekitar 191 miliar Rupiah lantaran pembengkakan harga tanah. Tapi pemerintah daerah DKI meragukan keabsahan audit BPK karena dinilai menghitung harga tanah di jalan yang salah.
Foto: Gacad/AFP/Getty Images
Tumbang Luar Batang
Dengan rencana menata kampung Luar Batang dan Pasar Ikan di Jakarta Utara untuk dijadikan Kawasan Wisata Bahari Sunda Kelapa, Ahok menggusur rumah penduduk yang berdiri di atas tanah ilegal. Penggusuran itu mendulang kritik karena dinilai merugikan kaum miskin. Pemda DKI berkilah telah menyediakan rumah susun yang lebih layak untuk penduduk Luar Batang.
Foto: Reuters/Beawiharta
Darah Kurban di Jalur Hijau
Menjelang hari raya Idul Adha ratusan massa Front Pembela Islam menyantroni Gedung DPRD DKI Jakarta. Mereka mengecam Ahok karena telah melarang penyembelihan dan penjualan hewan kurban. Pemda DKI sebaliknya mengatakan cuma menjalankan peraturan daerah yang melarang penjualan hewan kurban di jalur hijau.
Foto: Reuters/Darren Whiteside
Geger Kalijodo
Selama berpuluh tahun Kalijodo dibiarkan menjadi sarang prostitusi gelap. Ahok nekad menggusur kawasan tersebut untuk dijadikan jalur hijau. Langkah pemda DKI disambut gugatan di PTUN oleh sejumlah tokoh masyarakat Kalijodo. Ahok juga dikritik lantaran menyertakan 1000 tentara dan polisi untuk mengawal penggusuran. Kisruh langsung mereda setelah penggusuran berakhir.
Foto: Imago/Xinhua
Kisruh Bantar Gebang
Berawal dari keluhan DPRD Bekasi soal sampah Jakarta, kisruh seputar TPS Bantar Gebang kembali bergulir. Ahok sebaliknya menuding pengelola TPS, PT. Godang Tua wanprestasi. Hasilnya truk-truk sampah DKI dihadang massa tak dikenal. Ahok pun bentrok dengan DPRD. Kisruh berakhir setelah Presiden Joko Widodo turun tangan.
Foto: Reuters/D. Whiteside
Anggaran Siluman
Akhir 2014 Ahok murka lantaran menemukan dana siluman sebesar 8,8 trilyun dalam rancangan APBD 2015 yang telah digodok DPRD DKI. Setelah coret sana-sini, APBD kembali diserahkan kepada parlemen untuk dibahas. Namun DPRD memilih berpolemik karena merasa tudingan Ahok soal adanya indikasi mafia anggaran tidak berdasar. APBD DKI akhirnya baru disahkan bulan Februari dengan menggunakan pagu ABPD 2014.