Perbudakan belum lenyap dari muka Bumi. Berapa jam pekerja rumah tangga Anda bekerja? Apakah gajinya telah sesuai dengan jam kerja? Inilah opini Wahyu Susilo.
Iklan
Salah satu tema menarik yang mengemuka dalam Sidang Majelis Umum PBB bulan September 2017 yang lalu adalah persoalan perbudakan modern. Salah satu bahasan yang berlangsung menyangkut soal itu adalah: "High Level Leaders Event: A Call to Action to End Forced Labour, Modern Slavery and Human Trafficking". Di dalam ‘event‘ ini, ada inisiatif petisi global yang diajukan oleh Perdana Menteri Inggris yang memimpin sesi tersebut. Petisi yang didukung oleh 37 negara ini bertujuan menghapus praktik perbudakan modern di muka bumi ini pada tahun 2030.
Pada saat yang hampir bersamaan Alliance 8.7 (Aliansi global multistakeholder untuk penghapusan perbudakan modern) meluncurkan laporan mengenai ‘Global Estimates on Modern Slavery and Exploitation Child Workers‘ yang diinisiasi oleh Global Slavery Index, ILO dan IOM. Laporan ini memperlihatkan peta masalah perbudakan modern dan eksploitasi buruh anak di berbagai sektor.
Perbudakan modern juga terjadi di Indonesia
Bagi Indonesia, keprihatinan global atas masih terjadinya praktik perbudakan modern terasa sangatlah relevan dengan situasi kerentanan yang dihadapi oleh warga negara Indonesia yang terperangkap dalam kondisi tersebut.
Kembali kita diingatkan atas tragedi kebakaran yang melanda gudang pabrik petasan di Kosambi, Tangerang yang menewaskan sekitar 48 pekerja. Tragedi ini membuka fakta praktik perbudakan masih terjadi di industri-industri berbahaya dan masih melibatkan pekerja anak serta dalam kondisi kerja yang tersekap, dimana seluruh pintu gerbang terkunci rapat-rapat.
Sebelumnya, sepanjang tahun 2014-2016, Global Slavery Index menempatkan Indonesia sebagai 10 besar negara dengan jumlah warga negara yang banyak berada dalam situasi perbudakan modern. Situasi ini dialami utamanya oleh mereka yang bekerja di sektor perkebunan, perikanan dan pekerja rumah tangga.
Inilah Negara Sarang Perbudakan
Sebanyak 45 juta manusia masih bekerja di bawah paksaan. Sebagian negara bahkan ikut memetik keuntungan dari praktik keji tersebut. Celakanya Indonesia masuk dalam daftar sepuluh besar Indeks Perbudakan Global 2016
Foto: picture-alliance/e70/ZUMA Press
1. India
Sekitar 270 juta penduduk India masih hidup di bawah garis kemiskinan. Menurut Indeks Perbudakan Global, negeri raksasa di Asia Selatan itu saat ini masih mencatat jumlah pekerja paksa sebanyak 18.354.700 orang. Sebagian besar bekerja di sektor informal. Sementara sisanya berprofesi prostitusi atau pengemis.
Foto: picture alliance/Photoshot
2. Cina
Maraknya migrasi internal kaum buruh menjadikan Cina lahan empuk buat perdagangan manusia. Pemerintah di Beijing sendiri mengakui hingga 1,5 juta bocah dipaksa mengemis, kebanyakan diculik. Saat ini lebih dari 70 juta penduduk hidup di bawah garis kemiskinan. Menurut Indeks Perbudakan Global, Cina masih memiliki sekitar 3.388.400 budak.
Foto: Reuters
3. Pakistan
Sebanyak 2.134.900 penduduk Pakistan bekerja sebagai budak di pabrik-pabrik dan lokalisasi. Angka perbudakan tertinggi tercatat di dua provinsi, Sindh dan Punjab. Sejumlah kasus bahkan mengindikasikan orangtua di sejumlah wilayah di Pakistan terbiasa menjual putrinya untuk dijadikan pembantu rumah tangga, pelacur, nikah paksa atau sebagai bayaran untuk menyelesaikan perseteruan dengan suku lain.
Foto: Roberto Schmidt/AFP/GettyImages
4. Bangladesh
Indeks Perbudakan Global mencatat sebanyak 1.531.500 penduduk Bangladesh bekerja sebagai budak. Hampir 80% di antaranya adalah buruh paksa, sementara sisanya dijual untuk dinikahkan atau dijadikan prostitusi. Saat ini Bangladesh mencatat 390.000 perempuan menjadi korban pelacuran paksa.
Foto: picture-alliance/e70/ZUMA Press
5. Uzbekistan
Uzbekistan adalah produsen kapas terbesar keenam di dunia. Selama musim panen ratusan ribu penduduk dipaksa bekerja tanpa bayaran. Pemerintah berupaya memerangi praktik tersebut. Tapi Indeks Perbudakan Global 2016 mencatat tahun lalu sebanyak 1.236.600 penduduk masih bekerja sebagai budak di Uzbekistan.
Foto: Denis Sinyakov/AFP/Getty Images
6. Korea Utara
Berbeda dengan negara lain, sebanyak 1.100.000 budak di Korea Utara bukan bekerja di sektor swasta, melainkan untuk pemerintah. Eksploitasi buruh oleh pemerintah Pyongyang sudah lama menjadi masalah. Saat ini sebanyak 50.000 buruh Korut dikirim ke luar negeri oleh pemerintah untuk bekerja dengan upah minim. Program tersebut mendatangkan lebih dari 2 miliar Dollar AS ke kas negara.
Foto: picture alliance/AP Photo/D. Guttenfelder
7. Rusia
Pasar tenaga kerja Rusia yang mengalami booming sejak beberapa tahun silam banyak menyerap tenaga kerja dari berbagai negara bekas Uni Sovyet seperti Ukraina, Uzbekistan, Azerbaidjan atau bahkan Korea Utara. Saat ini sebanyak 1.048.500 buruh paksa bekerja di Rusia. Celakanya langkah pemerintah yang kerap mendiskriminasi buruh dari etnis minoritas justru membantu industri perbudakan.
Foto: picture-alliance/dpa
8. Nigeria
Tidak sedikit perempuan Nigeria yang dijual ke Eropa untuk bekerja di industri prostitusi. Namun sebagian besar buruh paksa mendarat di sektor informal di dalam negeri. Tercatat sebanyak 875.500 penduduk Nigeria bekerja di bawah paksaan.
Foto: UNICEF/NYHQ2010-1152/Asselin
9. Republik Demokratik Kongo
Serupa dengan negara-negara Afrika Sub Sahara lain, Republik Demokratik Kongo mencatat angka tertinggi dalam kasus perbudakan anak. Sebagian besar bekerja di sektor informal, prostitusi atau bahkan dijadikan tentara. Jumlah budak di RD Kongo mencapai 873.100 orang.
Foto: AFP/Getty Images
10. Indonesia
Menurut catatan Walk Free Foundation, kebanyakan buruh paksa di Indonesia bekerja di sektor perikanan dan konstruksi. Paksaan juga dialami tenaga kerja Indonesia di luar negeri seperti di Arab Saudi atau Malaysia. Secara umum Indonesia berada di urutan kesepuluh dalam daftar negara sarang perbudakan dengan jumlah 736.100 buruh paksa.
Foto: Getty Images
10 foto1 | 10
Belum ada perlindungan
Estimasi dari hasil kajian ILO dan Jala PRT menunjukkan bahwa sekitar 10 juta warga negara Indonesia bekerja sebagai pekerja rumah tangga di Indonesia dan menurut data Kemnaker, Kemlu dan BNP2TKI sekitar 5 juta warga negara Indonesia bekerja ke luar negeri sebagai pekerja rumah tangga migran. Inilah wajah warga negara Indonesia yang potensial terjebak dalam praktik perbudakan modern dan mayoritas diantara mereka adalah perempuan dan anak!
Jika akhir bulan lalu, DPR-RI setelah selama hampir 7 tahun baru selesai menuntaskan Undang-undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, maka hingga saat ini belum ada perkembangan yang berarti dari proses legislasi untuk memberikan perlindungan bagi pekerja rumah tangga. Dalam proses legislasi di parlemen (DPR-RI) melalui skema Prolegnas (Program Legislasi Nasional), RUU ini hanya timbul tenggelam untuk diperdebatkan masuk dalam daftar prioritas atau daftar regular, namun belum pernah sekalipun berhasil menjadi RUU yang dibahas substansinya.
Inilah Kisah TKW Korban Perbudakan di Hong Kong
01:50
Realitas ini tentu ironis, apalagi jika merunut sejarah ke belakang. Pada bulan Juni 2010, Presiden RI waktu itu, Susilo Bambang Yudhoyono menjadi tamu penting di Sidang Tahunan ILO (International Labour Conference) yang membahas instrumen perlindungan dan kerja layak untuk pekerja rumah tangga. Dalam sidang tersebut, SBY menjanjikan Indonesia segera memiliki perundangan mengenai perlindungan pekerja rumah tangga. Namun janji tinggal janji, hingga akhir masa pemerintahnya, instrumen perlindungan untuk pekerja rumah tangga belum mewujud.
Di masa pemerintahan Jokowi, janji Nawacita juga menyebut adanya upaya untuk memberikan perlindungan bagi pekerja rumah tangga sebagai komitmen pemerintahan Jokowi dalam perlindungan perempuan dan anak. Namun demikian, janji tersebut juga belum terwujud, bahkan proses legislasinyapun macet.
Mengapa perlu menghadirkan instrumen yang memberikan perlindungan bagi pekerja rumah tangga?
Karena hingga saat ini semua UU ketenagakerjaan yang ada belum memberikan pengakuan dan –apalagi- perlindungan bagi pekerja rumah tangga, sementara dalam realitasnya sektor kerja ini memiliki kerentanan akan eksploitasi, termasuk soal jam kerja dan pengupahannya. Belum lagi soal tindak kekerasan, pelecehan seksual dan perkosaan. Atas situasi inilah, Konvensi ILO 189/2011 tentang Kerja Layak Bagi Pekerja Rumah Tangga ditetapkan.
Pelanggaran HAM oleh Delapan Putri Arab
Mereka datang dari Uni Emirat Arab dan bermukim berbulan-bulan di hotel mewah Belgia. Di sana mereka menyiksa para pembantu yang dibawa dari negara asal. Kini mereka dihadapkan ke pengadilan.
Foto: picture alliance/dpa
Delapan Putri dengan 20 Pembantu
Jika Putri Sheikha Hamda Alnehayan dan 7 putrinya datang ke Brussel, mereka tinggal di hotel mewah Conrad. Juga di tahun 2008. Mereka menyewa seluruh tingkat selama berbulan-bulan. 20 pembantu memenuhi kebutuhan mereka selama 24 jam, tanpa diberi makan, tanpa tempat tidur, tanpa izin tinggal dan tanpa izin kerja.
Foto: picture alliance/dpa/M.Gambarini
Penyiksaan di Hotel Mewah
Keluarga Alneyahan termasuk yang paling berpengaruh di UEA. Sebelumnya mereka membeli klub sepak bola "Manchester City". Delapan putri keluarga itu kini dihadapkan ke pengadilan dengan tuduhan perdagangan manusia dan pelanggaran UU pekerjaan.
Para pembantu juga harus tidur di lantai dan terus-menerus dimaki, kata Patricia Le Cocq dari organisasi HAM Myria. (Foto: Hotel Conrad)
Foto: Getty Images/AFP/H. Vergult
Diajukan ke Pengadilan
Situasi mengenaskan itu terungkap setelah salah seorang pembantu lari dan melapor ke polisi. Pihak berwenang kemudian menemukan bukti pelanggaran di hotel itu, dan diajukan ke pengadilan. Tapi baru 9 tahun setelahnya 8 putri itu harus menghadap hakim. Pengacara keluarga kerajaan itu mengkritik bahwa pemeriksaan polisi tidak sesuai hukum. Oleh sebab itu kasus harus diproses melalui banyak tangan.
Foto: DW/D. Pundy
Bukan Kasus Penganiayaan Satu-Satunya
Penyebab lain, kasus semacam ini jarang diberitakan media. Demikian Nicholas McGeehan dari HRW. Ini bukan pertama kalinya, pembantu dibawa dari negara-negara Arab ke Eropa tanpa ijin kerja, kemudian dianiaya. Januari 2017, sebuah keluarga Dubai membawa 3 pembantu asal Filipina ke Wina. Mereka bekerja tanpa henti dan dicaci-maki jika melakukan kesalahan hingga mereka takut akan mengalami kekerasan.
Foto: picture-alliance/dpa/F. Rumpenhorst
Selamat dengan Melarikan Diri
Mereka juga lari dan menuntut majikan. Dengan bantuan organisasi HAM Austria kasus mereka bisa sampai ke pengadilan Straßburg. Tapi pengadilan menutup kasus karena tidak ada kemungkinan menang. Antara Austria dan Dubai tidak ada perjanjian yang mengatur masalah seperti ini. Dan yang bertanggungjawab sudah lama meninggalkan Austria. Foto: Gedung kehakiman Belgia, di sini kasus 8 putri diproses.
Foto: DW/D. Pundy
Lari dari Kemiskinan
Organisasi HAM sudah lama mengecam perbudakan modern di negara-negara Teluk. Akibat kemiskinan, pria dan perempuan mencari pekerjaan kepada penyalur di negara asal, misalnya Bangladesh, India, Sri Lanka. Mereka dijanjikan gaji besar. Ketika tiba di Arab Saudi, Bahrain atau UEA mereka menghadapi realita hidup yang pedas. Foto: Pekerja imigran ilegal Indonesia bersiap untuk berangkat ke Arab Saudi
Foto: picture-alliance/dpa/M. Irham
Pelanggaran HAM "Diimpor" ke Eropa
Banyak orang kaya Arab adakan perjalanan ke Eropa untuk berlibur, berobat atau bekerja. Perlakuan buruk mereka terhadap pembantu tidak melanggar hukum di negara asal, seperti selalu dikatakan 8 putri dari keluarga Alnehayan untuk membela diri, kata Patricia le Cocq. Tetapi itu melanggar UU di negara-negara Eropa. Karena para pembantu tidak punya ijin kerja, Myria menyebutnya "perdagangan manusia".
Foto: DW/D. Pundy
Pengadilan Belgia Bisa Jadi Teladan
Kalau pengadilan memutuskan bersalah, 8 putri itu bisa divonis penjara atau ganti rugi. Tapi pelanggaran sudah terjadi 9 tahun lalu, sehingga hukuman bisa ringan. Selain itu, jika vonisnya penjara, diragukan bahwa pemerintah UEA akan menyerahkan 8 putri itu. Tapi HRW positif. Setidaknya kasus itu membuat orang lebih sadar akan pelanggaran HAM di negara-negara teluk. Penulis: N. Niebergall (ml/ap)
Foto: picture alliance/dpa
8 foto1 | 8
Keberadaan UU mengenai Perlindungan Pekerja Rumah Tangga juga menjadi hal yang penting dan memberi legitimasi yang kuat bagi Indonesia untuk mendesakkan adanya perlindungan pekerja rumah tangga migran Indonesia yang bekerja di luar negeri. Dalam berbagai negoisasi soal hal ini, Indonesia seringkali mendapatkan argumen yang mendelegetimasi tuntutan perlindungan PRT migran, karena di dalam negeri sendiri pun belum ada instrumen perlindungan untuk pekerja rumah tangga.
Nah, jika pemerintahan Jokowi ingin menjalankan amanat konstitusi dan visi misi Nawacita memberikan perlindungan bagi warga negara Indonesia, --terutama dalam mengakhiri praktik perbudakan--- maka harus ada langkah-langkah konkret untuk mengakhiri diskriminasi dan memberikan perlindungan bagi pekerja rumah tangga. Salah satu jalannya adalah segera membahas tuntas RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga serta meratifikasi Konvensi ILO 189/2011 tentang Kerja Layak bagi Pekerja Rumah Tangga.
Penulis: Wahyu Susilo (ap/vlz)
Pendiri Migrant CARE, sekaligus bekerja sebagai analis kebijakan di lembaga tersebut. Tahun 2007, meraih Hero-Acting to End Modern Slavery Award dari Department of State USA.
5 Negara Paling Berbahaya bagi Perempuan
Ancaman kesehatan, kekerasan seksual dan perbudakan harus dihadapi perempuan di banyak negara. Ini lima negara yang paling berbahaya menurut Thompson Reuters Foundation dan Foundation for Sustainable Development.
Afghanistan
Sejak kecil hidup adalah perjuangan bagi anak perempuan Afghanistan. 87% dibiarkan buta huruf, dan 70-80% dipaksa menikah. Punya keluarga juga jadi tantangan besar. Jumlah kematian perempuan ketika hamil dan 42 hari setelah keguguran mencapai 400 dari 100.000 (untuk bandingan: di Inggris hanya 8). Di samping itu tingkat KDRT sangat tinggi. Foto: perempuan sedang menunggu layanan medis di Kabul.
Foto: picture alliance/Ton Koene
Republik Demokratik Kongo
Kongo adalah salah satu negara dengan tingkat kekerasan bermotif seksual paling tinggi di dunia. American Journal of Public Health memperkirakan, 1.150 perempuan diperkosa tiap hari di negara ini, yang berarti 420.000 per tahun. Kondisi kesehatan perempuan juga sangat buruk, 57% perempuan hamil dinyatakan menderita anemia, atau kekurangan sel darah merah.
Foto: Phil Moore/AFP/Getty Images
Pakistan
Banyak praktek budaya dan agama di Pakistan jadi ancaman bagi perempuan, terutama nikah paksa, serangan air keras, hukum rajam. Menurut Komisi HAM Pakistan, per tahun lebih dari 1.000 anak dan perempuan jadi korban pembunuhan demi kehormatan. 90% alami kekerasan domestik. Foto: protes 29 Mei 2014 atas pembunuhan wanita hamil Farzana Parveen oleh keluarganya, karena kawin dengan pria pilihannya.
Foto: AAMIR QURESHI/AFP/Getty Images
India
Walaupun jadi negara demokrasi terbesar di dunia, contoh mengejutkan seperti pemerkosaan massal serta pembunuhan korban perkosaan menunjukkan, India bisa jadi tempat sangat berbahaya bagi perempuan. Peneliti memperkirakan, sekitar 50 juta kasus pembunuhan anak atau janin terjadi dalam tiga dekade terakhir. Jumlah anak yang dipaksa menikah dan penjualan manusia juga jadi ancaman besar.
Foto: Chandan Khanna/AFP/Getty Images
Somalia
Tingkat kematian perempuan saat mengandung, perkosaan, mutilasi genital dan kawin paksa sudah jadi masalah sehari-hari perempuan Somalia. Negara ini dianggap tidak punya hukum dan ketertiban. 95% perempuan Somalia menghadapi mutilasi genital pada usia sekitar 4-11 tahun. Dalam usia melahirkan, hanya sekitar 9% perempuan dapat melahirkan dengan fasilitas medis memadai.