Akibat Krisis Ekonomi, Petani Lebanon Beralih Tanam Ganja
20 April 2021
Banyak petani di Lebanon kini menanam ganja untuk lepas dari krisis ekonomi yang tengah dihadapi. Pandemi corona telah memperparah perekonomian di negara itu.
Iklan
Selama tiga dekade Abu Ali menanam kentang untuk menafkahi keluarganya, tetapi krisis ekonomi yang melanda Lebanon telah menaikkan biaya produksi dan memaksanya untuk menukar tanaman dengan ganja. "Ini bukan karena cinta ganja," kata pria 57 tahun itu kepada AFP di wilayah Baalbek timur, jantung industri ganja di Lebanon. "Ini karena lebih murah daripada tanaman lain ... dan memungkinkan Anda untuk hidup dengan bermartabat."
Ketika nilai mata uang lokal jatuh di pasar gelap, harga bahan bakar impor, benih, pupuk dan pestisida yang dihargai dalam dolar meroket. Semakin banyak petani kecil, yang juga sebelum krisis sudah dalam kesulitan, memutuskan untuk beralih untuk menananm ganja. “Dengan pertanian, kami selalu merugi,” kata Abu Ali, yang meminta untuk menggunakan nama samaran karena masalah keamanan.
Setelah beberapa dekade diabaikan oleh pemerintah, banyak rekan Abu Ali yang meminjam uang dari bank atau lintah darat dan harus menjual tanah atau properti untuk membayar utang mereka. Untuk menghindari nasib yang sama, pada tahun 2019 Abu Ali mulai menanam ganja, yang benihnya empat kali lebih murah daripada kentang atau kacang hijau.
Bisnis Ganja Para 'Biarawati'
Mereka bukan suster biasa. Mereka tak berafiliasi pada agama apapun. Para perempuan berpakaian biarawati yang tergabung dalam "Sisters of the Valley" ini bekerja dalam misi untuk penyembuhan lewat produk ganja.
Foto: Reuters/L. Nicholson
Bertanam ganja
Dekat kota Merced di sebuah lembah di tengah California, para 'biarawati' yang tergabung dalam "Sisters of the Valley" ini bukan hanya bercocok tanam buah, sayur dan kacang-kacangan. Mereka juga bertanam dan memanen: ganja.
Foto: Reuters/L. Nicholson
Bukan biarawati biasa
Mereka bukanlah biarawati biasa yang dikenal akrab dengan ruang lingkup gereja Katholik. Meski berhaluan monatisisme, para biarawati tidak termasuk dalam ordo Katolik manapun, Namun para perempuan ini saling memanggil rekannya dengan istilah 'suster' atau saudara perempuan lebih karena kebiasaan. Persaudaraan itu berdiri sejak tahun 2014.
Foto: Reuters/L. Nicholson
Dari 'Sister Occupy' menjadi Suster Ganja
Tokoh di balik 'sisterhood' ini adalah Suster Kate yang bernama asli Christine Meeusen. Ia berpakaian ala biarawati Katholik, bergabung dengan gerakan protes Occupy Wall Street di AS tahun 2011. Ia mendorong orang-orang agar menaruh perhatian pada isu-isu publik.
Foto: Reuters/L.Nicholson
Menasbihkan diri sendiri
Para ‘suster’ ini menasbihkan diri mereka sendiri sebagai sekelompok biarawati, tapi tidak terkait dengan agama mana pun. Mereka menanam ganja yang nantinya dipanen dan dijual sebagai obat. Mereka mengklaim kalau produk yang mereka jual 100 persen organik. Produk yang mereka buat dari daun ganja pilihan dapat mengobati berbagai penyakit,
Foto: Reuters/L. Nicholson
Lima elemen
"Ketika orang mengatakan, 'Toh, mereka bukan biarawati sejati,' jawab Suster Kate: tidak ada biarawati. Mereka punah di negeri ini. "Jika Anda mencari apa yang mendorong persaudaraan perempuan, ada lima elemen ... Kita hidup bersama, kita mengenakan pakaian yang sama, kita bersumpah untuk mematuhi siklus bulan, kita bersumpah demi kesucian dan ekologi.”
Foto: Reuters/L. Nicholson
Mengeringkan daun ganja
Daun-daun ganja ini mereka keringkan sebelum diproduksi.
Foto: Reuters/L. Nicholson
Produk-produk berbasis ganja
Suster Freya membuat salep dan tonik dari bahan cannabidiol CBD yang memiliki sifat analgesik, anti-inflamasi dan anti rasa cemas. Para 'biarawati ganja' ini menjelaskan bahwa daun dan galur mariyuana, memiliki tingkat Tetrahydrocannabinol (THC) yang sangat rendah.
Foto: Reuters/L. Nicholson
Dikemas kecil-kecil
Minyak dan kandungan CNB dari ganja saat dikemas di dalam wadah kecil sebelum dipasarkan. Produk-produk mereka juga dijual lewat online ke Kanada.
Foto: Reuters/L. Nicholson
Obat migran dan penyakit lainnya
Namun, para “suster” ini mengatakan tidak pernah memproduksi zat THC yang dapat menyebabkan penggunanya mabuk. Mereka membuat minyak CBD yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit di antaranya migrain, pusing, sakit telinga, dan sakit gigi.
Foto: Reuters/L. Nicholson
Keuntungan dari bertanam ganja
Saat ini, Sisters of the Valley menjalankan toko yang sangat sukses yang menjual produk ganja di Etsy, dengan hasil penjualan setinggi US$ 40.000 per bulan. mereka meraup keuntungan ratusan ribu dollar AS pada tahun 2016. Keuntungan disumbangkan ke berbagai pihak dan diinvestasikan kembali dalam produk untuk pembibitan.
Foto: Reuters/L. Nicholson
Umat Katholik mentolerir para 'biarawati' ini?
Lebih dari dua lusin negara bagian AS telah melegalkan beberapa bentuk ganja untuk penggunaan medis atau rileksasi, namun obat tersebut tetap ilegal di tingkat federal. Kalifornia melegalkan penggunaan ganja untuk rileksasi pada November 2016. “Sejauh ini, umat Katolik memahami apa yang sedang kami lakukan," klaim Suster Kate.
Foto: Reuters/L. Nicholson
Pantang mundur
Bisnis “biarawati” ini terancam ditutup akibat rencana pelarangan pertanian ganja di wilayah Mercer, Kalifornia.Pemerintahan Donald Trump dan Jaksa Agung Jeff Sessions, pengkritik legalisasi ganja, telah jadi kekhawatiran beberapa industri ganja yang baru dilegalkan di negara ini. Tapi "biarawati gulma" itu mengatakan bahwa pemerintahan baru tak kendurkan tekad mereka.
Foto: Reuters/L. Nicholson
Produk lainnya
Tak hanya minyak, tonik dan salep, ada pula produk lain ynag diproduksi para 'Sistes of the valley' ini. Sabun ini juga terbuat dari bahan mariyuana. Namanya: Sabun Kudus.
(Ed:Purwaningsih/Farid)
Foto: Reuters/L. Nicholson
13 foto1 | 13
Tanaman ini juga membutuhkan lebih sedikit air dan pupuk. Dan dengan permintaan pasar yang kuat berarti, Abu Ali memiliki pendapatan yang stabil untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun. "Ketika kami menanam sayuran, kami bahkan tidak bisa membeli bahan bakar untuk pemanas," kata Abu Ali.
Ladang ganja seluas dua hektar yang dimiliki Abu Ali setiap musim panennya menghasilkan sekitar 100 kilogram. Satu kilogram dijual dengan harga rata-rata dua juta pound Lebanon atau sekitar 1.325 dollar AS. Dan harganya bisa mencapai lima juta pound tergantung pada kualitas. "Saya tidak menjalani kehidupan mewah, tapi, saya bisa memberi makan dan menghidupi keluarga saya," kata Abu Ali.
Seorang petani lain yang meminta dipanggil Mohammad bercerita bahwa ia mulai menanam ganja pada tahun 2018 setelah lebih dari 20 tahun menanam kentang. Dia mengalokasikan lebih dari satu hektar lahan untuk menanam ganja. Ganja, bahkan ia peroleh sebagai pembayaran yang diberikan tetangganya yang mengambil air dari sumurnya.
Mohammad mengaku, tidak berniat untuk kembali sebagai petani kentang. "Dengan kentang, Anda mendapat untung satu tahun dan rugi selama tiga tahun setelah itu," kata pria berusia 60 tahun itu. "Dengan ganja tidak ada kerugian.Jika bukan karena menanam ganja, kami tidak akan bisa makan."
Menurut laporan Perserikatan Bangsa Bangsa tahun 2020, Lebanon merupakan produsen ganja terbesar keempat di dunia setelah Maroko, Afghanistan, dan Pakistan. Setidaknya 40.000 hektar lahan ditanami ganja, kata PBB. April tahun lalu, untuk mendongkrak perekonomian dan meningkatkan pendapatan negara, Parlemen Lebanon telah melegalkan penanaman ganja untuk penggunaan medis. Meskipun demikian, penjualan dan konsumsinya secara resmi dilarang di Lebanon. yf/hp (afp)