1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Aksi Kamisan Sepanjang Hayat

Indonesien Blogger Aris Santoso
Aris Santoso
10 Desember 2020

Sebagaimana subkultur pada umumnya, tentu gerakan itu memiliki nafas panjang, ketika negara tetap saja bungkam. Aksi Kamisan berlangsung sepanjang hayat, meski rezim telah berganti berkali-kali. Opini Aris Santoso.

Demonstrasi di deoan Istana Negara tahun 2019Foto: picture-alliance/ZUMA/N. Hanoatubun

Sejatinya sudah sejak lama masyarakat merasa pesimistis, terhadap  komitmen  rezim Jokowi dalam menyelesaikan masalah HAM.  Pesimisme itu bahkan sudah muncul sejak periode pertama pemerintahan Jokowi (2014-2019). Komunitas yang masih gigih menagih janji adalah mereka yang tiap Kamis sore menggelar "Aksi Kamisan” di seberang Istana Merdeka. 

Dalam pengamatan sekilas, Aksi Kamisan sudah menjadi subkultur tersendiri, mengingat gerakan ini sudah tersebar di kota lain, seperti Bandung, Yogyakarta, Malang, Surabaya, dan seterusnya. Sebagaimana sebuah subkultur pada umumnya, tentu gerakan itu memiliki stamina dan nafas panjang, ketika negara tetap saja bungkam. Aksi Kamisan akan berlangsung sepanjang hayat, meski rezim telah berganti berkali-kali.

Penulis: Aris SantosoFoto: privat

Kehendak politik Jokowi

Masalah HAM selalu menjadi mimpi buruk bagi siapa pun yang berkuasa di negeri ini. Bagi para penguasa, isu HAM ibarat palang pintu kereta, yang hanya menghambat saat mobil melaju kencang.Seperti yang dihadapi Jokowi, di saat sedang gencar-gencarnya membangun infrastruktur, buat apa pula mengurus masalah HAM, yang hanya menambah beban saja.

Pada Juni 2015, Jokowi menandatangani Perpres No 75 tentang Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM) 2015 – 2019. Sayang regulasi ini hanya bagus di judul, karena bila kita telusuri, tidak ada penjelasan bagaimana peta jalan pemerintah tentang penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu.
Komitmen penyelesaian masalah HAM  tidak pernah terucap dari Jokowi sendiri, jadi publik tidak tahu bagaimana sebenarnya kehendak Jokowi. Soal ini selalu didelegasikan pada orang kepercayaanya, seperti Luhut Binsar Panjaitan, saat masih menjabat Menkopolhukam. Saat menjabat Menkopolhukam, Luhut pernah berjanji akan menyelesaikan 11 pelanggaran HAM di Papua pada akhir Desember 2016. Hingga periode pertama Jokowi berakhir, janji Luhut itu tidak jelas kabarnya.

Berdasarkan pengamatan selama ini, kemampuan  negara memang serba terbatas dalam isu HAM. Dan bila negara memang tidak mampu menyelesaikan masalah HAM, sebaiknya negara  menyatakan saja secara terbuka. Ketidakpastian negara dalam penyelesaian masalah HAM, akan berpotensi menjadikan kasus HAM masa lalu sekadar komoditas politik instan untuk meraih kekuasaan.

Keterbatasan negara dalam penyelesaian masalah HAM, tidak bisa dipisahkan dari aspek kelembagaan. Lembaga-lembaga negara yang menjadi pemangku kepentingan isu pelanggaran HAM pada dasarnya juga tidak mampu, dan (mungkin) memang tidak bersedia menyelesaikan masalah pelanggaran HAM, seperti Kejaksaan Agung.

Satu lagi bukti keterbatasan negara, adalah ketika Menkopolhukam Wiranto menginisiasi pembentukan tim terpadu penyelesaian kasus HAM berat masa lalu dengan cara nonyudisial, atau dalam istilah Wiranto, penyelesaian secara adat. Alih-alih memberi solusi, inisiatif Wiranto justru membuat penyelesaian kasus HAM menjadi tidak jelas arahnya.

Saat memasuki periode kedua, Jokowi mengangkat Mahfud MD sebagai Menkopolhukam. Mahfud MD selama ini memang dikenal dengan gerakan civil society, namun tetap saja tidak ada kejelasan juga soal peta jalan penyelesaian kasus HAM berat. Diangkatnya Mahfud MD sebagai Menkopolhukam, belum sanggup menurunkan pesimisme publik, yang sudah demikian akut.

Konsolidasi masyarakat sipil

Salah satu bukti keterbatasan negara,  bisa dilihat pada performa Komnasham, yang kurang mendapat dukungan dari Istana. Sejak didirikan pada tahun 1990-an, belum pernah ada presiden yang sempat singgah ke Komnasham. Bisa jadi publik kurang menyadari soal keterbatasan Komnasham, sebuah situasi yang mungkin juga  terjadi di kalangan komisioner Komnas sendiri. Serangkaian aksi protes, tuntutan atau aspirasi lain yang disampaikan masyarakat ke Komnas, utamanya kasus pelanggaran HAM berat, bisa jadi salah alamat,  seperti kasus HAM di Aceh, Papua, dan  tragedi 1965.

Keterbatasan Komnas merupakan cerminan dari lemahnya gerakan civil society selama ini, yang terfragmentasi. Segenap elemen berjalan sendiri-sendiri, bahkan tak jarang saling berpotongan, seperti dalam kasus pembubaran ormas HTI tiga tahun lalu. Sebagai salah satu simpul gerakan civil society, Komnasham juga seolah berjalan sendiri, selalu berjarak dengan aktivis HAM di lapangan. 

Dalam pengamatan penulis, belum pernah ada komisioner Komnasham yang berpartisipasi dalam Aksi Kamisan. Dengan kata lain, Komnasham tidak berupaya menggalangan dukungan publik, wajar jika terkesan ada gap antara Komisioner dan pembela HAM (human right defender). Mengingat para komisioner lebih memposisikan diri sebagai birokrat, ketimbang sebagai human right defender sejati. Bila masih berperilaku sebagai birokrat, tentu akses pada sumber-sumber  kasus akan semakin terbatas.

Kiranya perlu ada semacam revitalisasi Komnasham, mengingat posisinya  yang dilematis sekarang. Di satu sisi, sebagai institusi pembela HAM, perannya sudah banyak digantikan oleh CSO (civil society organization) , seperti KontraS, YLBHI, Imparsial, Lokataru, dan seterusnya. Oleh karenanya dibutuhkan sinergi di antara pembela HAM, dengan mengurangi ego sektoral masing-masing. 

Dua kasus mendesak

Dari sekian banyak kasus HAM, setidak ada dua kasus yang mendesak untuk diselesaikan, mengingat dua kasus ini memiliki karakter khas, masing-masing adalah pelanggaran HAM di Papua dan Peristiwa 1965. Kasus pelanggaran HAM di Papua eskalasinya sangat tinggi, bisa jadi tiap hari ada pelanggaran HAM oleh aparat, hanya mungkin tidak terpantau oleh media dan publik. Sementara Peristiwa 1965 adalah beban sejarah bangsa yang tak kunjung selesai.

Masalah HAM di Papua sangat kompleks, karena tumpang tindih dengan isu "referendum”.Ekspresi masyarakat Papua selama ini selalu  dihadapi dengan kekerasan  aparat, yang justru menambah rumit situasi. Karena tindak kekerasan aparat bisa masuk kategori pelanggaran HAM pula, dan itu berdampak pada dendam, yang akan menimbulkan konflik-konflik lanjutan. Ibarat lingkaran setan yang tak jelas ujung pangkalnya.

Salah satu opsi untuk kasus HAM Papua adalah dialog intensif, antara elite di Jakarta dan rakyat Papua. Hanya masalahnya, komunitas atau elemen mana yang representantif dalam membawa aspirasi masyarakat Papua. Bagian ini yang membedakan antara perjuangan rakyat Papua dan rakyat Timor Timur (masa lalu). Di Timtim dulu, antara aktivis kemerdekaan yang tersebar di kota-kota di tanah air, rakyat biasa, birokrat dengan para gerilyawan di belantara, mereka satu derap langkah, aspirasi mereka sama.

Sementara di Papua, para birokrat bisa berbeda aspirasi dengan rakyat biasa. Rakyat biasa menyalurkan aspirasinya melalui kepala suku, yang bisa jadi kepala suku memiliki kepentingan subyektifnya sendiri, karena kedekatan khusus dengan elite politik setempat, dan tentu kompensasi (baca: finansial) ikut bicara.

Tampaknya jalan menuju dialog masih panjang, namun tetap perlu dilakukan. Sambil menunggu delegasi yang representatif, para aparat dan korporasi di Papua hendaknya melakukan moratorium, dengan cara memperlakukan masyarakat Papua dengan lebih manusiawi, mengingat para aparat dan korporasi itu "numpang hidup” di tanah Papua. Konflik horisontal bernuansa etnis seperti pernah terjadi di Wamena dan Tolikara, diharapkan tidak  pernah terulang kembali.

Selanjutnya soal penyelesaian pelanggaran HAM terkait tragedi 1965, sebenarnya lebih mudah lagi. Para korban dari segi usia umumnya sudah tua, di atas 70 tahun, sejatinya tidak ada tuntutan apa-apa dari mereka terhadap pemerintah, bahkan sekadar kata “maaf” sekalipun. Mereka sudah pasrah menjalani hidup, sembari menunggu hari menuju keabadian.

Bedakan antara sikap korban dengan kajian sejarah terkait peristiwa tersebut. Bila kajian kita tidak pernah tahu kapan akan berakhir, sementara bagi korban, peristiwa itu sudah selesai. Kini bola ada di tangan rezim Jokowi, bagaimana harus bersikap terhadap korban 1965, seandainya tidak melakukan tindakan apa-apa, para korban juga tidak mempermasalahkan. Dalam kasus ini, negara sungguh diringankan.

Kepasrahan mereka terlihat ketika terjadi insiden di kantor YLBHI (Jakarta Pusat) beberapa waktu lalu, di tengah keberingasan ormas vigilante yang mengintimidasi mereka, para korban tetap tenang. Justru beban moral sebenarnya ada di kelompok demonstran, apa lagi yang akan mereka tuntut dari para insan lanjut usia tersebut. Kelompok aksi terlihat begitu bersemangat saat menteror para lansia yang sedang duduk tenang tanpa ekspresi.  Wajar, tindakan konyol  memang tidak perlu direspons.

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di bawah ini. Terima kasih.