1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Aksi Militer NATO terhadap Taliban

5 September 2006

Aksi militer besar-besaran pasukan NATO 'Medusa' di Afghanistan untuk menghancurkan milisi Taliban di selatan negara itu, dilancarkan nyaris bertepatan dengan peringatan lima tahun serangan teror 11 September 2001.

Pasukan NATO dan Afghanistan dalam persiapan serangan di selatan Kandahar
Pasukan NATO dan Afghanistan dalam persiapan serangan di selatan KandaharFoto: AP

Operasi Medusa tersebut berhasil menewaskan lebih dari 200 tersangka milisi Taliban. Tapi juga menelan korban tewas di kalangan prajurit NATO, terutama tentara Inggris.

Berkaitan dengan aksi militer NATO di Afghanistan itu, harian liberal Inggris The Independent yang terbit di London berkomentar: Dengan kesombongan luar biasa dilancarkan aksi militer terhadap Taliban.

"Sekarang sudah jelas, program perang melawan terorisme yang digagas Amerika Serikat dan Inggris lima tahun lalu, dapat terjerumus ke dalam kekacauan hebat. Dalam konflik Afghanistan, pejabat tinggi pemerintahan di London bersikap sangat sombong, dengan merasa yakin bahwa kehadiran segelintir tentara Inggris di selatan Afghanistan, sudah cukup untuk menghancurkan milisi Taliban."

Mengomentari tewasnya 14 tentara Inggris di Afghanistan, harian liberal kiri Inggris The Guardian yang terbit di London menulis:

"Pemerintah Inggris harus menjawab banyak pertanyaan menyangkut Afghanistan. Pemerintah harus menjelaskan, mengapa muncul gambaran bahwa tentara Inggris memikul beban terlalu berat, moral pasukan yang buruk serta persenjataan yang tidak memadai. Setelah tewasnya puluhan tentara Inggris, publik harus diberitahu dengan jujur, bagaimana situasi sebenarnya di Afghanistan."

Sedangkan harian Jerman Rhein-Neckar Zeitung yang terbit di Heidelberg berkomentar: Pertanda dari Afghanistan adalah eskalasi kekerasan.

"Di Afghanistan terus berlangsung perang melawan teror yang semakin sengit. Tapi harus diingat, semakin banyak milisi Taliban yang terbunuh, semakin atraktiv pula penampilan Al Qaida. Juga hingga kini tidak terlihat tanda-tanda penyelesaian. Yang sudah pasti, Barat memasuki jalan buntu di Afghanistan. Perang melawan teror terbukti tidak dapat dimenangkan dengan cara militer."

Tema lainnya yang masih disoroti harian-harian internasional adalah sengketa atom Iran. Sikap pemerintah di Teheran yang mengulur waktu dan memanfaatkan perpecahan di Dewan Keamanan PBB, disoroti dengan tajam.

Mengomentari tema ini, harian liberal kiri Hungaria Nepzabadsag yang terbit di Budapest menulis: Perang maupun sanksi terhadap Iran tidak akan berdampak.

"Setelah dilancarkannya perang Irak dan perang Libanon, opsi pemecahan militer dalam konflik atom Iran harus disingkirkan. Pasar Iran sangat penting bagi Rusia dan minyaknya amat berharga bagi Cina. Yang kini tersisa hanyalah harapan, bahwa suatu hari nanti, Presiden Mahmud Ahmadinejad disingkirkan oleh kelompok moderat di negaranya sendiri, sebelum ia berhasil membuat bom atom."

Sementara harian Swiss Basler Zeitung yang terbit di Basel berkomentar: Eropa menunjukan kelemahannya dalam sengketa atom Iran.

"Tidak usah heran, jika Iran secara demonstrativ menolak ultimatum Dewan Keamanan dengan melanjutkan program pengayaan uraniumnya. Sekarang, jika Eropa hendak mencegah uni-lateralismus AS terulang kembali, mereka harus berani menanggung risiko menjatuhkan sanksi terhadap Iran, walaupun dampaknya adalah terjadinya krisis minyak di Eropa."