1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Aksi Protes di Hong Kong Peringatan Bagi Taiwan?

William Yang
29 Juli 2019

Hong Kong sedang mengalami gerakan protes terbesar sejak kembali berada di bawah kekuasaan Cina, 1997. Perkembangan itu diamati dengan cermat di Taiwan, yang demokratis tapi diklaim Cina sebagai wilayahnya.

Hongkong l Andauernde Proteste in Yuen Long - Ausschreitungen
Foto: Reuters/T. Siu

Sekalipun ada penyerbuan geng kriminal pro Beijing dan peringatan keras polisi, warga Hong Kong tetap menggelar aksi protes menuntut hak-hak demokratisnya yang dijamin oleh Konstitusi Hong Kong.

Ketika Cina mengambil alih kembali kekuasaan di Hong Kong dari Inggris tahun 1997, Beijing memang berjanji menerapkan prinsip "satu negara dua sistem" selama 50 tahun. Maksudnya, sistem di Cina daratan tetap menerapkan sistem otoriter dengan kekuasaan tunggal Partai Komunis Cina, sedangkan Hong Kong dijamin akan tetap "demokratis" dengan hak-hak yang dinimati warganya selama berada di bawah kekuasaan Inggris.

Aksi protes belakangan ini yang dimulai sebagai protes terhadap RUU ekstradisi yang kontroversial, kini meluas menjadi protes terhadap aparat keamanan, yang dituduh membiarkan geng-geng kriminal menyerbu dan memukuli peserta protes dengan brutal akhir minggu lalu. Bahkan ada yang menuduh polisi berkolaborasi dengan anggota geng.

Anggota geng terekam menyerbu dan memukuli peserta aksi protes Hong Kong dengan brutal, tanpa ada tindakan pencegahan dari polisi, 21 Juli 2019Foto: Reuters/Stand News/Social Media

Kondisi di Hong Kong jadi pelajaran bagi Taiwan

Presiden Taiwan Tsai Ing-wen, sejak awal pecahnya gerakan protes di Hong Kong  telah berulang kali menyatakan dukungan bagi aksi itu di berbagai platform media sosial. Ternyata, sebagian besar warga Taiwan menyambut baik sikap presidennya itu. Popularitas Presiden Tsai Ing-wen dari Partai Progresif Demokratik DPP meningkat sampai 10 persen dari sebelumnya.

Menteri luar negeri Taiwan, Joseph Wu, mengutuk kekerasan yang terjadi terhadap pengunjuk rasa dan menekankan bahwa "jalan ke depan adalah dengan pemilihan demokratis sejati".

Selama ini, memang ada sebagian warga Taiwan yang mengusulkan penyatuan kembali dengan Cina dengan menerapkan prinsip "satu negara dua sistem" seperti di Hong Kong. Namun perkembangan akhir-akhir ini ibaratnya jadi peringatan keras bagi banyak orang di Taiwan, apa yang akan terjadi seandainya Taiwan menjadi bagian dari Cina.

Taiwan selama ini memang negara yang berdaulat, walaupun kedaulatannya ditolak oleh Beijing yang menekan negara-negara lain, juga Indonesia, untuk tidak mengakui kedaulatan itu. Namun sejauh ini, Taiwan tetap menerapkan sistem demokratis dan mengakui hak-hak politik warganya, berbeda dari situasi di Cina daratan.

Presiden Taiwan Tsai Ing-wenFoto: Reuters/J. Moon

Taiwan terima pelarian aktivis Hong Kong

"Hong Kong telah menjadi peringatan bagi warga Taiwan, dan membantu mereka untuk lebih memahami resiko politik apa yang ada di balik membangun hubungan yang lebih dekat dengan Cina," kata Wie Ting Yen, asisten profesor di Franklin and Marshall College di AS kepada DW. "Bentrokan kekerasan di Hong Kong juga mengingatkan kembali para manula di Taiwan, tentang taktik serupa yang digunakan pemerintah Taiwan selama era darurat militer."

Presiden Taiwan Tsai Ing-wen memang selama ini menolak prinsip "satu negara dua sistem" yang diterapkan Cina di Hong Kong. Gerakan protes RUU Ekstradisi jadi semacam mekanisme peringatan, bahwa apa yang terjadi di Hong Kong bisa juga "terjadi esok hari di Taiwan".

Sejak Juni lalu, berbagai demonstrasi solidaritas untuk gerakan protes di Hong Kong telah digelar di seluruh Taiwan, diikuti oleh ribuan orang. Seiring tumbuhnya solidaritas terhadap warga Hong Kong, Taiwan juga menerima sejumlah demonstran Hong Kong yang melarikan diri karena khawatir kejaran aparat keamanan Cina. Beberapa kantor berita Taiwan pertengahan Juli melaporkan bahwa puluhan aktivis unjuk rasa dari Hong Kong telah tiba di Taiwan. (hp/as)