1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Aksi teror di Rusia

2 September 2004

Drama penyanderaan di sebuah sekolah di bagian republik Rusia, Ossetia Utara, tampaknya belum juga berakhir. Perundingan antara para teroris dan aparat keamanan juga belum menghasilkan kemajuan. Para penyandera yang bersenjata berat menolak suplai air minum dan makanan untuk para sandera. Para penyandera menuntut pembebasan rekan-rekan Chechnya yang ditahan di republik tetangga Ingusetia. Karena krisis tsb , Presiden Rusia membatalkan kunjungan ke Turki , yang direncanakan untuk hari Kamis.

Harian Jerman Financial Times dalam tajuknya menanggapi aksi penyanderaan di Rusia:

Kenyataan bahwa para teroris menggunakan anak-anak sekolah sebagai tameng , menimbulkan rasa jijik. Juga kali ini Putin akan bersikap keras dan tidak akan memenuhi tuntutannya. Putin bukanlah tokoh yang mudah berkompromi, karena itu dikhawatirkan , penyanderaan itu akan berakhir dengan aksi berdarah. Ingat saja tindakan pasukan Rusia dalam kasus penyerangan terhadap teater di Moskow dua tahun yang lalu. Jadi , apakah akan terjadi lagi pertumpahan darah? Kini anak-anak yang menjadi sasaran para teroris. Siapa yang selama ini masih punya sedikit simpati untuk perjuangan para gerilyawan Chechnya, kini akan mengutuk mereka. Banyak warga Rusia karena amarahnya justru akan mendekati Putin. Pada pandangan pertama, itu dapat dimengerti. Namun rupanya tidak disadari, Putin telah gagal dengan politik Chechnya.

Sebaliknya harian Belanda de Volkskrant yang menganggap popularitas Putin menurun, menyoroti situasi politik di Rusia. Kami baca komentarnya:

Pondamen di atas mana Presiden Rusia membangun basis kekuasaannya menunjukkan retakan pertama. Popularitasnya menurun, khususnya di mata rakyat. Proses ini telah dimulai sejak beberapa waktu, sebelum terjadinya serangan terbaru. Parlemen sebulan lalu mensahkan paket berisikan sejumlah reformasi sosial yang radikal, yang merugikan warga lanjut usia, para penyandang cacad dan veteran. Stabiltas dan ketenangan berbalik menjadi ketidak-pastian. Juga para investor dan kalangan ekonomi resah. Tokoh liberal Ryschkow menyamakan stabilitas di bawah Putin dengan situasi di bawah pimpinan Uni Soviet Leonid Breschnew pada tahun 70-an. Rakyat mendambakan stabilitas, namun keadaan sebenarnya sangat tidak stabil.

Surat kabar konservatif Norwegia Aftenposten mengajak untuk memahami logika terorisme:

Irak, Rusia atau Israel. Anak-anak, orang dewasa, perempuan atau laki-laki. Bagi para teroris semua itu tidak ada bedanya. Di mata para teroris, kota, negara mana pun, pokoknya semua tujuan dan sarana adalah legitim. Aksi para teroris juga terdorong oleh logika yang aneh, yang mungkin tidak dapat dipahami oleh orang lain. Meski demikian hendaknya kita memahami jalan pikirannya, untuk dapat menghentikan atau menghadapi terorisme. Di hari-hari belakangan jelas terungkap, beberapa kelompok teroris bekerjasama erat dalam sebuah jaringan, yang lainnya melakukan aksinya sendiri , atau sebagai organisasi tanpa kaitan internasional.

Harian Austria Kurier namun menganggap Presiden AS George W Bush dan Presiden Rusia Wladimir Putin, bertanggung jawab untuk aksi teror di hari-hari belakangan ini:

Putin mengatakan, serangan balasannya ditujukan kepada kawasan selatan Rusia, atas nama dunia beradab yang menentang para teroris Muslim. Namun rakyat – warga biasa dan aparat keamanan yang dikirim ke medan perang – membayar dengan nyawanya. Seperti juga warga Amerika dan Irak di Irak. Meski pun Presiden AS dalam konvensi partai republik dielu-elukan sebagai pejuang anti-teror, ia dikonfrontasikan dengan berita-berita seram bahwa situasi dunia semakin berbahaya, bukan semakin aman.