1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Hak Asasi ManusiaAmerika Utara

Aktivis HAM Belarus Hingga Iran Raih "Nobel Alternatif"

1 Oktober 2020

Yayasan Right Livelihood Awards di Stockholm, Swedia, berikan penghargaan Nobel Alternatif tahun 2020 kepada pengacara yang tengah dipenjara di Iran hingga aktivis di Belarus.

Bildkombo Gewinner Livelihood Foundation 2020
Potret empat aktivis HAM penerima penghargaan "Nobel Alternatif" tahun 2020

Berikut sejumlah aktivis yang meraih penghargaan Nobel Alternatif pada tahun 2020 berkat kegigihan dan perjuangan mereka:

Ales Bialiatski (Belarusia)

Sviatlana Tsikhanouskaya, Maria Kolesnikova, dan Veronika Tsepkalo dikenal sebagai wajah-wajah oposisi Belarus saat ini. Tetapi, Ales Bialiatski adalah orang yang telah membuat Presiden Alexander Lukashenko tidak bisa tidur selama beberapa dekade akibat pengungkapan kasus pelecehan. 

Aktivis hak asasi manusia (HAM) berusia 58 tahun ini telah memperjuangkan HAM dan kebebasan di Belarus selama separuh hidupnya.

"Tingkat penindasan saat ini sangat tinggi, belum pernah kami lihat sebelumnya. Saat ini kami benar-benar mengalami bencana sosial," kata Bialiatski.

Bialiatski juga menyerukan penghapusan hukuman mati, hukuman yang diberantas di seluruh Eropa kecuali BelarusFoto: HRC Vesna/Right Livelihood Awards 2020

Pada pertengahan 1980-an, saat Belarus masih menjadi bagian dari Uni Soviet, Bialiatski bergabung dengan kelompok bawah tanah untuk memperjuangkan kemerdekaan negara itu. Bialiatski mengorganisasi aksi protes terhadap Stalinisme, sebagai bentuk untuk mengenang para korban penindasan politik. Bialiatski juga pernah masuk penjara sebanyak 25 kali.

Pada tahun 1996, Bialiatski mendirikan pusat hak asasi manusia, Viasna, yang dipimpinnya hingga saat ini. Tujuan awal Viasna terbentuk hanya untuk membantu pengunjuk rasa yang dipenjara, namun kini telah menjelma sebagai LSM terkemuka di Belarus karena berhasil mendokumentasikan pelanggaran HAM secara rinci dan independen, memantau pemilihan umum, dan membela hak untuk bebas berkumpul. Biaya dari segala perjuangan tersebut sangat besar, staf berulang kali ditangkap, didenda, hingga dipukuli.

Lottie Cunningham Wren (Nikaragua)

Lottie Cunningham Wren melihat masyarakat adat Nikaragua tengah sekarat akibat COVID-19 dan putus asa karena tidak mampu menemukan obat yang tepat untuk virus corona.

"Orang-orang percaya COVID-19 hanya demam atau flu, mereka tidak menganggapnya sebagai virus. Para perawat bahkan tidak memiliki parasetamol, itu menyedihkan. Masyarakat merasa dikecewakan oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat," kata Cunningham Wren. Kurang dari 3% penduduk Nikaragua adalah masyarakat adat, yang disebut Miskito, Sumo, dan Rama.

Awalnya seorang perawat, Lottie Cunningham Wren dilatih menjadi seorang pengacara untuk dapat lebih membantu masyarakat adat sebagai seorang advokatFoto: Right Livelihood Foundation

Pengacara berusia 61 tahun, Cunningham Wren adalah Presiden Pusat Keadilan dan Hak Asasi Manusia di Pesisir Atlantik Nikaragua (CEJUDHCAN). Ia berasal dari komunitas Miskito dan pembela yang semangat berjuang untuk masyarakat adat dan Afro-Nikaragua, khususnya ketika menyangkut hak dan sumber daya tanah.

Kesuksesannya tidak berbatas, masyarakat adat di seluruh dunia membutuhkan pertolongannya dalam hal mempertahankan hak atas tanah atau hak ekologi dan budaya. 

Pada tahun 2001, Cunningham Wren berhasil mengamankan hak atas tanah masyarakat adat di Nikaragua di Pengadilan Hak Asasi Manusia Inter-Amerika, dan memaksa pemerintah untuk membatasi dan mengesahkan wilayah adat. Keberhasilan ini menjadi sebuah preseden yang sangat berharga.

Cunningham Wren juga membela hak-hak perempuan adat, menyiapkan program untuk melawan kekerasan dalam rumah tangga dan membantu mengedukasi kaum muda untuk berani angkat suara terkait pelanggaran hak-hak yang mereka alami.

Perjuangan Cunningham Wren adalah duri bagi banyak orang. Akibatnya, ia harus menerima ancaman dan intimidasi hampir setiap hari dan hampir menjadi korban percobaan penculikan pada tahun 2015.

Bryan Stevenson (AS)

Bryan Stevenson baru berusia 16 tahun ketika menyaksikan kejahatan yang mengerikan, yakni kematian kakeknya yang ditikam saat rumahnya dirampok. Para pelaku pembunuhan terhadap kakeknya menerima hukuman penjara seumur hidup.

Sebagai orang yang berduka, Stevenson berkesempatan agar para pelaku menerima hukuman mati tetapi ia tidak mengambilnya.

"Karena kakek saya lebih tua, pembunuhannya tampak sangat kejam," kata Stevenson. "Tapi saya datang dari dunia di mana kami menghargai penebusan daripada balas dendam."

Stevenson dibesarkan di kota kecil Milton di Delaware, AS. Sebagai seorang anak berkulit hitam, haknya tidak sama dengan anak-anak kulit putih. Ia bahkan harus masuk ke ruang praktek dokter gigi melalui pintu belakang. Ia juga harus antre berjam-jam untuk mendapatkan vaksin polio, sementara menyaksikan pasien kulit putih mendapatkan vaksin tanpa harus menunggu.

Bryan Stevenson memperjuangkan hak anak di bawah umur yang dihukum sebagai orang dewasaFoto: Rog and Bee Walker for EJI/Right Livelihood Awards 2020

Stevenson tumbuh menjadi salah satu pengacara hak sipil terkemuka di AS, saat ini sering memanfaatkan waktu luangnya mendatangi gereja Episkopal Metodis Prospect Afrika untuk berdoa, duduk di depan piano atau bernyanyi.

Pelajaran terbesar yang Stevenson pelajari adalah bagaimana seseorang harus bangkit kembali setelah jatuh. Berjuang untuk keadilan dan melawan rasisme sistemik telah menjadi salah satu pencapaian hidupnya

Tahun 1989, Stevenson berhasil mengubah sebuah organisasi yang sekarang dikenal dengan Equal Justice Initiative (EJI), yang membantu para terpidana mati mendapatkan hukuman lebih ringan.

EJI mendanai pembangunan tugu peringatan besar tepat di jantung Ujung Selatan, di Montgomery, Alabama, yang didedikasikan untuk mengenang orang-orang kulit hitam yang diperbudak. Tahun lalu, sebuah film tentang pengacara berusia 60 tahun itu dirilis dengan judul Just Mercy.

Nasrin Sotoudeh (Iran)

Ales Bialiatski, Lottie Cunningham Wren, dan Bryan Stevenson semuanya merayakan pencapaian mereka pada hari Kamis (01/10). Tetapi pemenang keempat "Nobel Alternatif" bisa dibilang adalah orang yang paling berani. Namanya mungkin tidak pernah terdengar sebagai peraih Right Livelihood Awards.

Ia adalah Nasrin Sotoudeh, tahanan politik di Penjara Evin yang terkenal kejam di Teheran, Iran. Setelah dua bulan melakukan mogok makan, belakangan ini berat badan Sotoudeh dilaporkan hanya 47 kilogram.

Nasrin Sotoudeh yang dikenal dengan 'suara hak asasi manusia di Iran' sempat dipindahkan ke perawatan intensif karena kesehatannya yang buruk, tetapi saat ini sudah kembali ke sel penjaraFoto: Arash Ashourinia/CC0 1.0 /Right Livelihood Awards 2020

Kisah Sotoudeh menjadi contoh studi kasus tentang betapa bahayanya membela hak asasi manusia di Iran. Meskipun lulus ujian pada tahun 1995, Sotoudeh harus menunggu delapan tahun sebelum mengantongi izin beroperasi sebagai pengacara hak asasi manusia. 

Pada tahun 2006 ia bergabung dengan gerakan perempuan Iran untuk kampanye "1 Juta Tanda Tangan" untuk mengubah undang-undang yang diskriminatif. Tiga tahun kemudian, peraih Nobel Shirin Ebadi mencari Sotoudeh untuk mewakilinya, setelah seluruh asetnya disita pasca pemilu 2009.

Sotoudeh mewakili jurnalis dan anak-anak di bawah umur yang menghadapi hukuman mati. Pada 2012, Sotoudeh dianugerahi Penghargaan Sakharov untuk Kebebasan Berpikir, oleh Parlemen Eropa, yang menghormati individu dan kelompok orang yang telah mengabdikan hidup mereka untuk membela hak asasi manusia dan kebebasan berpikir.

Pada tahun 2018, Sotoudeh mewakili tiga orang yang disebut "Gadis Jalan Revolusi" yang memprotes aturan tentang mengenakan jilbab dan membuka jilbab mereka di depan umum. 

Sotoudeh ditangkap untuk pertama kalinya pada September 2010, dimasukkan ke sel isolasi dan tidak bisa melihat suami atau anak-anaknya. Sotoudeh berulang kali melakukan mogok makan sebagai protes atas kondisi tersebut.

Pada 2013 berkat tekanan internasional, Sotoudeh dibebaskan. Namun tak lama, ia kembali lagi dipenjara karena dituduh bertindak "melawan keamanan nasional" dan divonis 38 tahun penjara serta 148 cambukan.

Rezim yang berkuasa membebaskan 85.000 tahanan sebagai bentuk tanggung jawab di tengah pandemi COVID-19, tetapi Sotoudeh tetap dipenjara.

Informasi dari akun suaminya, Reza Kahndan, kesehatan dan keselamatan Sotoudeh saat ini seharusnya menjadi perhatian global: "Tindakannya telah memengaruhi orang-orang di negara ini, dan sistem mencoba untuk menekannya. Tetapi sekarang dia sangat lemah, jauh lebih lemah dari yang bisa Anda bayangkan. Kali ini situasinya sangat parah," tulisnya.

Diadaptasi dari bahasa Jerman oleh Mark Hallam. (ha/ae)

 

Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW. Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Oliver Pieper Reporter meliput isu sosial dan politik Jerman dan Amerika Selatan.
Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait