Aktivis HAM Ditangkap, Jagat Maya Penuh Dukungan dan Desakan
7 Maret 2019
Menyusul ditangkapnya Robertus Robet yang dianggap menghina TNI, jagat internet dipenuhi dukungan untuk Robet. Polisi hari Kamis (6/3) menyatakan pemeriksaan selesai dan Robertus Robet sudah dibolehkan pulang.
Iklan
Peristiwa yang banyak orang klaim sebagai terbungkamnya kebebasan berpendapat di Indonesia terjadi pada seorang aktivis HAM. Robertus Robet, anggota Dewan Pembina Amnesty International Indonesia yang juga dosen Universitas Negeri Jakarta Robet ditangkap di rumahnya Rabu malam (06/03) dan langsung dibawa ke Mabes Polri. Ia diduga memelesetkan mars ABRI saat aksi Kamisan (28/02) di depan Istana Negara, Jakarta. Videonya menyanyikan mars ABRI tersebut pun beredar luas.
"Pada hari Rabu, 6 Maret 2019, pukul 00:30 WIB, telah dilakukan penangkapan terhadap pelaku dugaan tindak pidana penghinaan terhadap penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia," ujar Karo Penmas Polri Brigjen Dedi Prasetyo dalam keterangannya, Kamis (7/3/2019), seperti dilansir detik.com.
Ia dikenakan pasal 28 ayat (2) jo, UU ITE yang mengatur "setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).”
Pemerintahan Terus Berganti, Kapan Kasus Pembunuhan Pejuang HAM Munir Thalib Bisa Terungkap?
Terpidana Pollycarpus telah bebas murni dalam kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia, Munir. Namun hingga kini dalang pembunuhan keji itu masih belum terungkap. Inilah perjalanan panjang pengungkapan kasus itu.
Foto: Suciwati/Omah Munir
7 September 2004
Aktivis hak asasi manusia, Munir Thalib Said, meninggal dunia dalam penerbangan menuju Belanda menggunakan pesawat Garuda.
Foto: A.Berry/AFP/GettyImages
11 November 2004
Hasil penyelidikan otopsi di Belanda menyatakan bahwa Munir tewas setelah menenggak minuman yang ditaburi racun arsenik.
Foto: Colourbox
23 Desember 2004
Presiden Indonesia saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono, mengesahkan tim pencari fakta (TPF) untuk menyelidiki kematian pejuang hak asasi Indonesia ini lewat Keppres no 111 tahun 2004.
Foto: AP
15 Maret 2005
TPF kasus Munir merekomendasi enam nama yang diduga terlibat dalam kasus pembunuhan ini. Empat orang dari Garuda dan dua nama dari Badan Intelejen Negara (BIN).
Foto: picture-alliance
18 Maret 2005
Pollycarpus Budihari Priyanto ditetapkan sebagai salah seorang tersangka.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
27 Juni 2005
Laporan TPF kasus Munir diserahkan dan dibagikan kepada para pejabat berwenang. Demikian dikutip dari Kumparan.
Foto: picture alliance/Sven Simon
28 November 2014
Pollycarpus dibebaskan bersyarat.
Foto: Africa Studio - Fotolia.com
17 Februari 2016
Organisasi HAM KontraS mengajukan laporan TPF kasus Munir agar segera diumumkan. Pada 1 Maret 2016 Sekretariat Negara menyatakan tidak memiliki informasi yang dimaksud.
Foto: G. Siregar
28 April 2016
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengajukan permohonan sengketa informasi publik terkait laporan temuan TPF kasus Munir.
Foto: AFP/Getty Images/Dewira
10 Oktober 2016
Komisi Informasi Publik (KIP) menyatakan bahwa hasil laporan TPF kasus Munir adalah informasi publik dan harus diumumkan.
Foto: AFP/Getty Images/H. Montgomery
25 Oktober 2006
Presiden Indonesia waktu itu, Susilo Bambang Yudhoyono, menggelar konferensi pers terkait hilangnya laporan temuan TPF kasus Munir, yang ada hanya salinannya.
Foto: Olaf Wandruschka - Fotolia.com
16 Februari 2017
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta membatalkan putusan Komisi Informasi Publik (KIP) dan menyatakan Setneg tidak wajib membuka hasil temuan TPF kepada publik.
Foto: picture-alliance/dpa
27 Februari 2017
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS ) mengajukan kasasi atas putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN) tersebut.
Foto: Suciwati/Omah Munir
16 Agustus 2017
Kasasi KontraS ditolak Mahkamah Agung.
Foto: picture-alliance/Ulrich Baumgarten
29 Agustus 2018
Pollycarpus bebas murni. Status terpidana mantan pilot Garuda Indonesia itu berakhir setelah ia menyelesaikan hukumannya selama 10 tahun penjara terkait kasus pembunuhan Munir Said Thalib.
Foto: Fotolia/Sebastian Duda
07 September 2018
14 tahun Munir terbunuh, KontraS, Suciwati, Imparsial, YLBHI, LBH Jakarta, Amnesty Internasional Indonesia, Setara Institut dan AJAR mendesak Presiden dan Kapolri memberikan dukungan yang nyata dan kuat untuk mengungkap kasus pembunuhan Munir. (Sumber: Kumparan, Tempo, KontraS, dll./ap/ml)
Foto: KontraS
16 foto1 | 16
Mengritik Dwifungsi TNI
Dalam video yang beredar, Robet terdengar menyanyikan mars ABRI dengan lirik: "Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, tidak berguna, bubarkan saja, diganti Menwa, kalau perlu diganti pramuka."
Tentang orasinya tersebut, ia telah menyampaikan permohonan maaf dan menegaskan ia tidak bermaksud menghina institusi TNI.
Aksi Kamisan pada 28 Februari silam menyoroti rencana pemerintah untuk menempatkan TNI pada kementerian sipil. Bagi Robet, "menempatkan TNI di kementerian sipil artinya menempatkan TNI di luar fungsi pertahanan yang akan mengganggu profesionalitas TNI seperti telah ditunjukkan di Orde Baru", seperti dinyatakan dalam rilis pers Amnesty International Indonesia.
Peristiwa penangkapan Robertus Robet ini pun memenuhi lini masa jagat maya Indonesia, Kamis (07/03). Hingga berita ini diturunkan, tagar #BebaskanRobet bertengger di trending topic Indonesia di Twitter dengan lebih dari 8800 cuitan.
Berbagai cuitan dukungan untuk Robet disampaikan oleh netizen dari berbagai kalangan.
Allan Nair, jurnalis investigatif AS, mencuit "Sejalan dengan upaya tentara yang sedang berlangsung untuk mengambil kembali kendali di Indonesia, seorang akademisi terkemuka telah ditangkap karena menyanyikan lagu kebebasan yang mengolok-olok mereka"
Dave McRae, pakar Indonesia di Institut Asia, Universitas Melbourne, Australia juga menyampaikan keprihatinannya atas penangkapan Robet dan mendukung sepenuhnya upaya pembebasannya.
Berbagai aktivis dan organisasi HAM juga menyerukan pembebasan Robet dengan turut serta membagikan tautan petisi "Tolak Penangkapan Robertus Robet" di laman change.org.
Hingga berita ini diturunkan, 1836 orang sudah menandatangani petisi tersebut, dari target 2500 tanda tangan.
Petisi yang dimulai oleh Terry Sutansyah itu mendesak Kapolri untuk "bebaskan Robertus Robet tanpa syarat sebab itu semua merupakan bagian dari hak atas kebebasan berpendapat yang tidak boleh dibungkam."
Amnesty International Indonesia menyatakan masih menunggu kepastian apakah Robet akan dilepas atau ditahan. "Kita masih menunggu kepastian apakah setelah 1×24 jam jangka waktu penangkapan akan dilepas atau ditahan," kata Arif Maulana saat dihubungi DW.
Kepolisian hari Kamis (7/3) mengatakan pemeriksaan Robertus Robet sudah selesai dan dia sudah dipulangkan. Kompas Online melaporkan Robertus Robet terlihat keluar dari Gedung Bareskrim Mabes Polri, Jakarta Selatan, sekitar pukul 14.25 WIB, didampingi tim kuasa hukumnya beserta Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo. Robertus sempat memberikan keterangan kepada wartawan dan meminta maaf atas orasinya yang dinilai polisi menghina institusi TNI.
na/hp (dari berbagai sumber)
Tanpa Sensor: Perempuan Muslim Berbicara Soal HAM
Dalam buku berjudul Usensurert (Tanpa Sensor) penulis dan wartawan Norwegia Birgitte C. Huitfeldt menunjukkan hidup perempuan Muslim dalam dunia Islam.
Foto: Nawal El Saadawi
Mendambakan Kebebasan di Mesir
Buku itu diawali dengan penuturan dokter perempuan asal Mesir Nawal El Saadawi, yang juga penulis dan aktivis hak perempuan. Es Saadai menjelaskan, mengapa perempuan di Timur Tengah belum berhasil dalam perjuangan mereka: "Dalam sistem patriarkal, imperial dan militer, perempuan tidak bisa bebas. Kami dikekang oleh kekuasaan bukan keadilan, oleh demokrasi palsu, bukan kebebasan."
Foto: Nawal El Saadawi
Psikolog Asal Suriah dalam Pengasingan
Pakar psikologi Rafah Nached ditangkap September 2011 di Damaskus, ketika ia ingin membantu demonstran anti Assad yang menderita trauma. Dua bulan kemudian ia dibebaskan. Ia kemudian tinggal di Paris dalam pengasingan. "Masyarakat Arab menolak perubahan, karena siapapun yang tidak sepaham dengan masa, dianggap ateis dan tidak normal", kata Rafah Nached dalam buku yang ditulis Huitfeldts.
Foto: Liberation
Demokrasi Adalah Kehendak Rakyat
Shirin Ebadi adalah pengacara asal Iran, yang berjuang bagi hak-hak perempuan, anak-anak dan pengungsi. Akibatnya, pemerintah dan polisi di Iran mengancam Ebadi. 2003 ia mendapat Nobel Perdamaian. "Bagi demokrasi tidak ada Barat dan Timur. Demokrasi adalah kehendak rakyat. Jadi saya tidak mengakui ide adanya model demokrasi yang berbeda-beda," katanya.
Foto: Shirin Ebadi
Perdamaian antara Israel dan Palestina
"Pendudukan adalah sifat pria, terutama pendudukan militer. Konflik antara Israel dan Palestina diakibatkan manusia, dan kita sebagai perempuan harus mengakhiri konflik itu," demikian dikatakan anggota parlemen Palestina, Hanan Ashrawi, yang juga aktivis dan ilmuwan. Ashrawi memberikan sumbangan penting bagi perdamaian Israel-Palestina.
Foto: Hanan Ashrawi
Rasa Takut Pria terhadap Perempuan di Yaman
Amal Basha adalah feminis asal Yaman. Dalam indeks PBB tentang kesetaraan antara perempuan dan pria, negaranya ada di posisi bawah. Hak perempuan Yaman di bidang ekonomi, sosial dan budaya dibatasi hukum Shariah. Penyebabnya? "Pria takut kepada perempuan, karena perempuan adalah suara kebebasan. Perempuan tidak tertarik untuk berperang, karena perempuan bukan pedagang senjata," kata Amal Basha.
Foto: Salzburg Global Seminar
Pembunuhan Kehormatan di Yordania
Di Yordania, aktivis HAM dan feminis serta wartawan penyelidik Rana Husseini menulis tentang kekerasan terhadap perempuan. "Masyarakat Yordania
menyalahkan perempuan untuk segalanya. Membiarkan diri diperkosa dan dilecehkan, karena lahirkan anak, karena seks yang tak memuaskan, juga kalau suami tidak setia. Daftarnya masih panjang lagi." Itu penjelasannya bagi pembunuhan dengan alasan kehormatan.
Foto: Rana Husseini
Secercah Harapan di Libya?
Untuk mengakhiri perang saudara yang terus berlangsung di Libya, pria dan perempuan harus mengubah sikap, demikian pendapat Hajer Sharief, staf PBB asal Libya. "Kalau orang menengok ke rumah-rumah, orang bisa melihat para ibu, yang mengirim putra mereka ke medan perang. Walaupun ibu itu sendiri tidak mengangkat senjata, mereka ikut mendorong spiral kekerasan di Libya." Penulis: Jan Tomes (ml/hp)