1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Indonesia Dilanda 'Epidemi' Kekerasan Seksual

19 Juli 2019

Data Komnas Perempuan tahun 2018 mengungkapkan kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia meningkat 14 persen dibanding tahun sebelumnya. Ini terjadi baik di ranah personal maupun publik. 

Symbolbild Gewalt gegen Frauen
Foto: picture-alliance/dpa/M. Gambarini

Para aktivis telah memperingatkan maraknya kekerasan dan pelecehan seksual yang dialami perempuan di Indonesia. Diketahui beberapa waktu terakhir ini terjadi kasus kekerasan dalam rumah tangga yang begitu parah. Bahkan tak sedikit dijumpai kasus para suami yang akhirnya membunuh istri karena menolak berhubungan badan.

Belum lama terjadi pada awal Juli di Jakarta Utara, AN (37) tega menggorok tenggorokan istrinya FA (34) di depan kedua anaknya yang masih di bawah umur karena menolak untuk melakukan hubungan badan.

Kemudian pada Minggu (14/07) di Sukabumi, AM (43) tega membacok suaminya (MA, 47). AM diketahui depresi karena baru saja melahirkan anak ketiga dan kerap dimintai berhubungan badan oleh sang suami.

"Hasil penyelidikan sementara, suaminya terus merayu dan minta dilayani hubungan badan, padahal istrinya baru dua bulan melahirkan, dan air susu ibu (ASI) kering," ungkap Kapolsek Cikidang AKP Sunarto seperti dikutip dari Tribunnews.com.

Dianggap sepele

“Cerita itu sangat mengejutkan, satu karena mereka cukup brutal, tetapi pada saat yang sama saya terkejut bahwa tidak banyak media yang mengangkatnya,” ujar aktor sekaligus aktivis perempuan Hannah Al-Rashid dilansir The Guardian.

Hannah pun berpendapat bahwa di Indonesia, kasus permerkosaan dalam pernikahan masih sesuatu yang tidak diakui oleh banyak orang dan dianggap hal sepele.

Berdasarkan data Komnas Perempuan tahun 2018, terdapat 406.178 kasus kekerasan yang dialami perempuan Indonesia. Jumlah ini meningkat dibanding tahun sebelumnya sebesar 348.466 kasus. Jenis yang paling menonjol yaitu kekerasan di dalam ranah personal (rumah tangga) yang mencapai 71 persen atau sebanyak 9.367 kasus. 

Dalam ranah personal kekerasan fisik dan kekerasan seksual seperti perkosaan dalam perkawinan masih mendominasi. Perkosaan dalam perkawinan terjadi ketika hubungan seksual antara pasangan suami istri dilakukan dengan cara kekerasan, paksaan, ancaman atau dengan cara yang tidak dikehendaki pasangan masing-masing. 

Kekerasan seksual ini berpotensi meninggalkan trauma fisik dan mental yang mendalam terhadap sang korban. Trauma ini lebih parah jika kekerasan yang dialami korban diketahui anak mereka.

"Kasus ini terkadang dianggap sepele padahal sebenarnya ini kasus yang penting, sayangnya korban tidak menganggap itu bentuk pemerkosaan yang dilakukan suaminya," ujar komisioner Komnas Perempuan, Adriana Venny, dikutip dari Kompas.com.

Menurutnya pihak kepolisian kadang menganggap sepele laporan pemerkosaan terhadap istri. "Mereka (polisi) mengira kasus pemerkosaan itu bisa diselesaikan secara kekeluargaan,” papar Adriana.

Waspada pelecehan di ruang publik

Selain di ranah personal, kekerasan seksual yang dialami perempuan juga rawan terjadi ranah publik. Setidaknya ada 2.448 kasus kekerasan seksual yang dialami perempuan Indonesia di ruang publik.

Hasil survei nasional sejumlah organisasi hak-hak perempuan seperti Hollaback! Jakarta, perEMPUan, Lentera Sintas Indonesia, Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta (JFDG), dan Change.org Indonesia, menunjukkan lokasi yang paling sering tejadi pelecehan seksual yaitu di jalan umum.

Dari 62.000 responden, sebanyak 60 persen mengatakan pernah mengalami pelecehan seksual dalam bentuk verbal seperti komentar atas bentuk tubuh, dan lebih dari setengah yang mengalaminya masih di bawah umur. Sementara itu fakta yang mengejutkan lainnya, pelecehan seksual terhadap perempuan lebih sering terjadi saat siang hari (35 persen) dibandingkan malam hari (21 persen).

Bahkan 51 persen yang mengalaminya adalah perempuan yang memakai rok atau celana panjang, baju lengan panjang, serta hijab. Survei ini mematahkan stigma bahwa pelecehan seksual marak terjadi saat malam hari dan karena korban memakai pakaian yang cenderung terbuka.

Masih dari The Guardian, salah satu penggagas survei dari organisasi perEMPUan, Rika Rosvianti, mengatakan hasil survey menunjukkan terjadinya pelecehan seksual di ruang publik murni karena niat si pelaku. 

"Tidak ada korban yang 'mengundang' untuk dilecehkan. Tidak seharusnya korban yang mengalami pelecehan seksual ini disalahkan karena kejahatan yang dilakukan orang lain," ujar Rika.

Hasil survey juga menunjukkan terdapat lima transportasi publik yang menjadi tempat paling sering terjadinya pelecehan seksual, seperti bus (36 persen), angkutan umum (30 persen), KRL (18 persen), ojek dan taksi online (18 persen), serta ojek dan taksi konvensional (6 persen).

Rika menegaskan penting bagi perempuan untuk melakukan tindakan pencegahan pelecehan seksual di ruang publik, seperti melipat tangan di depan dada saat di keramaian, kabari kerabat ketika hendak menggunakan layanan tranportasi umum. Selain itu, jangan takut untuk menegur orang yang terlihat mencurigakan, dan selalu waspada saat mendengarkan musik atau bermain telepon genggam saat berada di jalan.

rap/ae (dari berbagai sumber)