1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Aktivis Protes Pengadilan Makar Papua

30 Januari 2012

Pengadilan Negeri Jayapura memulai sidang atas lima aktivis Papua yang terlibat dalam Kongres Rakyat Papua ke III pada 19 oktober 2011 lalu.

Kemiskinan membuat gerakan separatisme muncul di PapuaFoto: AP

Sidang perdana lima aktifis Papua ini  diwarnai aksi unjuk rasa dan pengawalan ketat ratusan aparat.  Forkorus Yoboisembut, Edison  Waromi, Selpius Bobi, Dominikus Sorabut dan Agustinus Kraar,  didakwa  melakukan makar dan terancam sanksi hukuman penjara maksimal 20 tahun. Melalui kuasa hukum, Gustav Kawer,  kelima aktifis menyatakan keberatan “Mereka menolak tuduhan makar atau sejenisnya, dengan alasan apa yang mereka lakukan adalah bagian dari  hak- hak dasar masyarakat. Yang itu sudah dilakukan sejak 1961 yang mereka anggap  sudah merdeka nah yang mereka lakukan dalam Kongres rakyat papua III ini bagian dari pemulihan hak hak mereka”

Para aktivis memprotes persidangan yang dianggap melanggar prinsip kebebasan dalam negara demokrasi. Human Rights Watch HRW, mendesak pemerintah Indonesia membatalkan persidangan dan segera membebaskan kelima aktivis politik Papua itu.

Menurut HRW, sebagai negara demokratis, pemerintah Indonesia tidak boleh menjebloskan seseorang ke penjara hanya karena orang itu mengorganisir unjuk rasa atau menyuarakan pandangan politiknya. Aktivis HRW, Andreas Harsono menegaskan “Secara hukum internasional orang menyatakan pendapat itu dijamin untuk dilakukan sejauh mereka tidak melakukan kekerasan.  Dan  Forkorus dan kawan kawan,  tentu tidak melakukan kekerasan.  Mereka juga minta ijin polisi dan pemerintah Indonesia untuk mengadakan Kongres Papua tersebut. Bahwa aspirasi politik itu dianggap sensitif  itu lain lagi. Dimana mana misalnya di Inggris, orang  Skotlandia ingin merdeka dari United Kingdom  selama mereka tidak mengebom,  tidak membunuh orang ya  sah sah, berunding  saja solusi politik” 

Aparat keamanan Indonesia membubarkan paksa Kongres Rakyat Papua ke III  yang digelar di Jayapura pada Oktober 2011 lalu setelah Kongres tersebut membacakan deklarasi kemerdekaan Negara Federasi Papua  Barat. Sedikitnya 3 orang tewas dan puluhan lainya terluka akibat tindakan represif aparat. Tim Investigasi Komnas HAM menemukan sejumlah bukti adanya pelanggaran HAM oleh aparat keamanan dalam peristiwa itu.

Komnas HAM yang sejak semula menentang pendekatan represif di Papua  juga mengkhawatirkan, pengadilan atas  kelima aktifis Kongres Rakyat  Papua ini, malah akan mengganggu proses dialog damai yang tengah dirintis. Anggota Komnas HAM, Ridha Saleh “Hasil investigasi kami memang ada perbedaan. Sebab jalan yang ditempuh sebagian besar kelompok strategis di Papua adalah dialog, filosofinya untuk menata kembali Papua ke depan. Disisi  lain memang juga ada juga yang menginginkan (meredeka) karena tidak ada respon dari pemerintah Jakarta mereka mengambil sikap itu. Oleh sebab itu pemerintah  harus melihat secara hati hati. Sebaiknya pemerintah Indonesia merespon  berbagai aspirasi yang mendukung dialog itu

Pengadilan untuk kelima aktifis Kongres Rakyat Papua ini akan kembali dilanjutkan pada hari Rabu 8 Februari mendatang. 

Zaki Amrullah

Editor: Andy Budiman

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait