1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Aktivisme Internet Jerman Tergolong Rendah

Stephanie Höppner26 November 2013

Warga Jerman memilih mencari hiburan di internet ketimbang menggunakannya untuk urusan serius, menurut hasil terakhir Indeks Web. Studi edisi 2013 tersebut menaruh Jerman di peringkat ke-16.

Foto: Fotolia/pressmaster

Mengecek prakiraan cuaca menjadi yang pertama kali dilakukan di pagi hari, mengirim email dan mencari kata kunci menggunakan Google sepanjang hari, dan menonton serial televisi favorit pada malam hari: Bagi banyak warga Jerman, internet menjadi teman setia saat waktu luang dan bekerja.

Namun internet juga menawarkan banyak potensi bagi mereka yang ingin aktif secara politik, seperti ditekankan dalam Indeks Web 2013 yang baru-baru ini diterbitkan. Gerakan Musim Semi Arab menunjukkan bagaimana jejaring sosial, blog dan situs pribadi dapat menyatukan orang-orang yang berpikiran sama dan menyoroti kesewenangan.

Indeks Web menghitung kontribusi internet terhadap pembangunan dan hak asasi manusia di 81 negara. Pada peringkat tahun ini, Jerman berada pada posisi ke-16, jauh di belakang Swedia, yang merebut peringkat pertama. Laporan ini dirilis oleh Yayasan World Wide Web yang digagas Tim Berners-Lee tahun 2009. Berners-Lee dianggap sebagai bapak pendiri World Wide Web (WWW).

LOLcat ketimbang aktivisme

"Jerman sangat buruk terutama dalam area sosial seperti misalnya kebijakan lingkungan," kata Jeanette Hofmann, direktur Institut Humboldt untuk Internet dan Masyarakat. Ia menambahkan bahwa organisasi-organisasi politik Jerman tidak mengambil kesempatan yang disediakan internet.

Taddicken: potensi internet untuk memobilisasi pengguna terbuang percumaFoto: Universität Hamburg

Di ranah pribadi, warga Jerman juga tergolong pasif dalam aktivitas online mereka. "Yang menarik, negara-negara seperti Indonesia jauh lebih maju daripada Jerman dalam hal ini," ungkap Hofmann. Menurut perkiraan terakhir, kurang dari 10 persen warga Jerman yang menggunakan Twitter. "Ini menunjukkan bahwa kami masih sedikit enggan kalau berkaitan dengan aplikasi digital baru," jelas Hofmann. Twitter - yang juga dapat dimanfaatkan sebagai sarana ekspresi politik - jarang dipakai untuk tujuan itu di Jerman.

Monika Taddicken, dari Institut Jurnalisme Universitas Hamburg, setuju. "Beberapa tahun lalu, muncul harapan internet dapat memobilisasi pengguna secara politik," ucapnya. Platform sosial seperti Facebook, Google+ dan Twitter diharapkan dapat membentuk ulang dialog politik melalui tawaran kontak langsung dengan para politisi atau diskusi kelompok. "Namun harapan ini terbukti tidak berdasar," tutur Taddicken.

Daripada terlibat secara aktif dengan para politisi di kota masing-masing, banyak warga Jerman memilih melihat video hewan terbaru atau foto-foto liburan. Banyak juga yang mencari kontak langsung dengan orang lain, tambah Hofmann, contohnya lebih memilih bertemu langsung dengan wakil partai setempat dibandingkan terlibat dalam sebuah diskusi di Twitter.

Takut akan sensor?

Indeks Web juga mengangkat sejumlah paradoks sehubungan dengan pengawasan dan sensor. Menurut studi tersebut, negara-negara berkembang lebih cenderung menyensor dan memfilter muatan internet. Di sisi lain, hampir segala muatan secara teori diperbolehkan di negara-negara maju. Meski begitu, karena takut akan pengawasan, warga umumnya membatasi diri sendiri.

Taddicken, sebaliknya, tidak percaya bahwa warga Jerman menyensor diri. Meski muncul skandal spionase NSA dan pembeberan data oleh Edward Snowden yang berbulan-bulan mendominasi berita, ia yakin warga Jerman masih berperilaku sama di dunia maya.

"Kekhawatiran akan privasi terus memegang peran penting di internet, namun tidak jelas bagaimana cara menghindari spionase," papar Taddicken. Publik tidak tahu persis apa yang terjadi pada data yang dikumpulkan - itulah mengapa banyak yang terus melanjutkan aktivitas online seakan tidak ada yang berubah.