1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Alasan Korea Selatan Kurang Ramah terhadap Lingkungan LGBTQ+

1 April 2024

Sebuah penelitian mengungkap lebih dari 52% orang Korea menentang untuk tinggal berdekatan dengan anggota kelompok LGBTQ+. Menurut pakar, konservatisme seksual menjadi salah satu penyebabnya.

Peserta Seoul Queer Culture Festival
Sejumlah peserta mengikuti acara Seoul Queer Culture Festival yang mendukung hak-hak kelompok LGBTQ. Foto diambil di Seoul, 1 Juli 2023Foto: Anthony Wallace/AFP

Kelompok minoritas seksual di Korea Selatan (Korsel) masih berjuang untuk diterima di tengah masyarakat yang masih konservatif dan dipengaruhi oleh pemikiran Konfusianisme.

Sebuah penelitian terbaru menunjukkan bahwa sebagian besar warga Korsel tidak ingin hidup berdampingan dengan siapa pun yang diidentifikasi sebagai kelompok LGBTQ+. Hal itu juga sejalan dengan tindakan pemerintah Seoul yang baru-baru ini menutup sebuah festival budaya Queer.

"Masyarakat Korea ini cukup unik karena meskipun negara ini punya ekonomi yang berkembang dengan pesat setelah Perang Korea, nilai spiritual bangsa, dan terutama persepsi terhadap nilai seksualitas masih tertinggal jauh di belakang,” kata seorang lesbian berusia 35 tahun, Jung Cueri, yang tinggal di Seoul dan terlibat dalam penyelenggaraan Festival Budaya Queer tahunan di Seoul.

Jung meyakini bahwa bantuan pascaperang dari Amerika Serikat telah membantu perekonomian dan membuat warga Korea dari generasi tersebut iri dengan negara-negara maju, sehingga meminggirkan nilai-nilai seperti keadilan, kesetaraan, hak asasi manusia (HAM), dan konsep kewajaran di antara warga negara.

"Dalam proses tersebut, hak kaum minoritas seperti perempuan, penyandang disabilitas dan orang asing, menjadi kurang penting,” ujar Jung kepada DW.

"Dan sebagai dampaknya, bukan rahasia lagi kalau konflik gender terjadi di masyarakat Korea saat ini, dan hal yang sama juga terjadi dalam isu LGBTQ+,” tambahnya.

Toleransi warga Korsel terhadap LGBTQ+ masih rendah

Jung juga mengatakan kalau toleransi terhadap kelompok LGBTQ+ masih "sangat rendah" di Korea Selatan. Menurutnya, alasannya karena "konservatisme seksual, serangan balik terhadap kesetaraan gender dan kurangnya rasa hormat terhadap perbedaan." Dan bukti terbaru cenderung mendukung kesimpulan tersebut.

Sebuah survei tahunan yang dilakukan oleh Institut Administrasi Publik Korea (Korea Institute of Public Administration), yang dirilis pada tanggal 19 Maret lalu, mengindikasikan bahwa orang Korea menjadi lebih terbuka terhadap orang asing. Hanya 7,2% yang menentang warga negara asing untuk menetap di negara ini, jumlah ini turun 2,8% dari tahun sebelumnya.

Hanya saja, kelompok minoritas seksual jauh lebih tidak diterima, dengan lebih dari 52% orang Korea menentang untuk tinggal berdekatan dengan anggota kelompok LGBTQ+. Perbandingan lainnya, 84% dengan senang hati menyambut para pembelot dari Korea Utara ke dalam komunitas mereka, dan 97% dapat tinggal di antara orang-orang dengan disabilitas mental atau fisik. 

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Satu-satunya kelompok orang yang kurang diterima selain minoritas seksual adalah mantan narapidana. Studi menunjukkan 72% orang Korea tidak menginginkan mereka berada di lingkungan atau tempat kerja mereka.

"Bagi saya, ini adalah warisan masa lalu Konfusianisme Korea, dan meskipun periode sejarah kita sudah lama berlalu, banyak dari sikap tersebut masih kuat dalam masyarakat kita saat ini," kata seorang profesor studi internasional di Universitas Nasional Kongju, Lim Eun-Jung.

"Secara umum, generasi yang lebih tua di sini merasa sulit untuk memahami konsep minoritas seksual, dan hal ini disebabkan oleh pola asuh tradisional dan konservatif serta agama yang mereka anut," jelasnya.

"Ada kelompok-kelompok minoritas lain yang selama bertahun-tahun kurang terwakili di banyak bagian masyarakat kita, contohnya perempuan, imigran, penyandang disabilitas, tetapi saya merasa hal tersebut telah berubah akhir-akhir ini," ujarnya. "Saya berharap hal yang sama juga bisa terjadi pada minoritas seksual."

Permohonan festival queer ditolak pemerintah

Contoh tantangan lain yang dihadapi oleh komunitas LGBTQ+ adalah saat penyelenggara Seoul Queer Culture Festival mengajukan permohonan pada tanggal 15 Maret. Mereka berniat untuk mengadakan acara di Seoul Plaza, di tengah-tengah kota, pada tanggal 1 Juni, tetapi ditolak.

Festival ini telah diselenggarakan antara tahun 2015 dan 2022, sempat terhenti selama dua tahun lantaran pandemi Covid-19. Namun, pemerintah menolak permohonan tersebut tahun lalu dan lebih memilih konser musik untuk anak-anak yang diselenggarakan oleh Christian Television System Culture Foundation.

Penyelenggara festival pun berharap dapat kembali ke alun-alun musim panas ini, tetapi Pemerintah Metropolitan Seoul mengatakan bahwa mereka akan mengadakan acara buku outdoor pada hari yang sama.

Penyelenggara mengkritik keputusan pemerintah kota tersebut, menuduhnya "memonopoli" ruang publik untuk mencegah festival berlangsung di alun-alun. Dalam sebuah pernyataan, pihak penyelenggara mengatakan bahwa keputusan tersebut "menghambat keragaman sosial."

Pembaca Berita Transgender Pertama di Bangladesh

04:19

This browser does not support the video element.

"Mempromosikan Seoul Plaza sebagai ruang terbuka bagi warga adalah penipuan, mengingat kalendernya sudah penuh dengan acara-acara yang diselenggarakan oleh pemerintah kota," kata panitia dalam sebuah pernyataan, menurut laporan dari The Korea Times.

Menurut Jung, keputusan pemerintah kota tersebut berakar pada politik.

"Korea Selatan adalah masyarakat yang saat ini mengalami pergeseran politik ke kanan, polarisasi kesenjangan ekonomi dan konfrontasi dalam masalah gender," katanya.

"Sejak tahun 2014, isu LGBTQ+ telah menjadi salah satu topik terpanas di Korea Selatan."

Kekuatan gabungan dari kelompok politik kanan dan kelompok agama konservatif "telah menemukan persahabatan dan persatuan dalam mengekspresikan penentangan mereka terhadap kelompok LGBT," ujarnya, dengan menunjukkan bahwa meskipun Wali Kota Seoul, Oh Se-hoon, berasal dari partai konservatif Korea Selatan, tetapi di bawah pendahulunya yang lebih sentris, festival ini sulit untuk mendapatkan izin untuk menggunakan area tersebut.

Isu LGBTQ+ jadi komoditas politik

"Dalam sistem politik parlementer Korea Selatan, di mana terdapat banyak partai tapi secara de facto menganut sistem dua partai, mereka mendiskriminasi kelompok LGBTQ+ karena posisi tersebut populer di kalangan kelompok agama konservatif," ujar Jung.

Namun, dia optimis bahwa perubahan itu mungkin terjadi.

"Saya rasa sikap generasi muda Korea semakin membaik," katanya, sambil menunjukkan bahwa individu muda LGBTQ+ "cenderung lebih cepat terbuka kepada keluarga mereka, di tempat kerja dan sekolah dibandingkan generasi saya, karena mereka lebih sadar akan seksualitas mereka melalui media sosial dan paparan terhadap berbagai diskusi yang lebih toleran terhadap orang-orang LGBTQ+."

Dia meyakini, festival budaya dapat membantu menjadi katalisator untuk perubahan lebih lanjut.

"Ini akan menjadi lebih baik," ucapnya. "Dan itulah mengapa penyelenggara dan semua orang yang terlibat dalam festival ini bekerja sangat keras; mereka tahu bahwa masyarakat Korea akan menjadi lebih baik, dan mereka ingin berkontribusi untuk itu."

(mh/gtp)

Julian Ryall Jurnalis di Tokyo, dengan fokus pada isu-isu politik, ekonomi, dan sosial di Jepang dan Korea.
Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait