1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KesehatanIndonesia

Inovasi dari Indonesia: E-Nose untuk Deteksi Penyakit TBC

7 Juli 2023

Mengetahui lebih dekat e-Nose, alat deteksi TBC lebih cepat dan mudah, satu-satunya penelitian dari Indonesia yang diperkenalkan di pertemuan penerima Hadiah Nobel di Lindau, Jerman.

Antonia Morita Iswari Saktiawati saat melakukan presentasi e-Nose di Lindau, Jerman
Antonia Morita Iswari Saktiawati saat melakukan presentasi e-Nose untuk deteksi TBC di Lindau, Jerman. Hadirin sesama ilmuwan dan peneliti tampak antusias dengan temuannyaFoto: Iman Baruna/DW

Dengan penuh percaya diri, Antonia Morita Iswari Saktiawati naik ke podium Next Gen Science Sessions di Lindau Nobel Laureate Meetings ke-72 di Lindau, Jerman. Ia lalu mempresentasikan hasil risetnya. Dari sekitar 600 peserta, hanya 45 peneliti yang dipilih tampil di panggung ini, dan Morita menjadi satu-satunya perwakilan dari Indonesia.

Di hadapan para ilmuwan dari berbagai negara, peneliti dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta itu menjelaskan mengenai electonic nose, atau yang ia sebut e-Nose, inovasi yang awalnya dikembangkan untuk mendeteksi Tuberkulosis (TBC).

Berikut perbincangan Antonia Morita dengan DW Indonesia di Lindau, Jerman, terkait apa yang membuat pengembangan e-Nose  tidak hanya penting untuk Indonesia, tapi juga negara lain di dunia.

DW Indonesia: Bagaimana hingga akhirnya Anda terpilih menjadi salah satu pembicara di Next Gen Science. Mengapa inovasi Anda dinggap penting untuk disampaikan di forum internasional?

Antonia Morita: Sebenarnya kami sebagai peneliti muda disuruh untuk mengajukan abstrak (penelitian). Studi saya tentang inovasi alat diagnostik dalam penyakit infeksi. Ini sesuatu yang inovatif, jadi ada nilai kebaruannya. Saya rasa karena sekarang 'kan sedang zamannya teknologi, dan salah satu topik dalam Nobel Laureate ini 'kan adalah AI, perkembangan artificial intelligence. Jadi mungkin dianggap cocok menjawab permasalahan yang ada. 

Awalnya e-Nose dikembangkan untuk mendiagnosis Tuberkulosis, namun saat pandemi digunakan menjadi alat diagnosis COVID-19Foto: Iman Baruna/DW

Apa sebenarnya e-Nose ini?

Electoric Nose ini digunakan untuk mendiagnosis penyakit lewat aroma tubuh atau napas. Untuk menggunakannya, seseorang perlu bernafas ke dalam kantong yang menampung udara yang terkoneksi ke alat e-Nose. Data ini lalu terkoneksi ke laptop. Kecerdasan buatan di laptop akan menganalisis data dan memberi tahu kita apakah seseorang sakit atau tidak.

Apa yang menjadi temuan menarik dari riset Anda terkait e-Nose?

Jadi kalau kita mau mendiagnosis atau men-screening penyakit, biasanya alatnya besar dan hanya tersedia di pusat pelayanan kesehatan, misalnya Puskesmas. Padahal di Indonesia banyak sekali orang yang tinggal di daerah-daerah terpencil. Untuk ke Puskesmas saja harus jalan jauh, padahal mereka dalam kondisi sakit. Jadinya sering tidak mampu datang, akhirnya tidak terdiagnosis, tidak dapat terapi, dan meninggal. Pertama, permasalahan jarak. 

Kedua, alat-alat untuk mendiagnosis itu biasanya harganya tidak murah atau memerlukan petugas yang terlatih untuk mengoperasikannya. Misalnya untuk TB, kultur (biakan bakteri) itu mahal sekali dan hanya tersedia di laboratorium atau RS besar, atau apus dahak mikroskopis, harus pakai mikroskop, dan harus ada petugas kesehatan khusus yang mengoperasikannya. Jadi tetap tidak menguntungkan.

Ketiga adalah masalah efek samping. Salah satu alat skrining TB adalah menggunakan foto Rontgen, di mana efek sampingnya adalah paparan radiasi, sehingga tidak aman. Pasien yang ingin mendapatkan pemeriksaan itu juga harus datang ke pusat kesehatan. Makanya kami berusaha menemukan suatu inovasi alat skrining. Ke depannya, kami merencanakan agar hasil pemeriksaan di rumah, bisa dibaca atau dikirimkan lewat ponsel genggam ke petugas di Puskesmas.  

Peneliti Indonesia di Lindau Nobel Laureate Meetings

01:00

This browser does not support the video element.

Bagaimana e-Nose bisa bermanfaat untuk mengatasi penyebaran tuberkulosis?

Hasil pemeriksaan di rumah, bisa dibaca oleh petugas di pusat kesehatan masyarakat, jadi mereka bisa tahu di daerah ini ada yang positif TB. Petugas dari pusat kesehatan akan datang ke rumah orang itu. Ini lebih praktis.

Tidak hanya soal jarak, tapi juga masalah budaya. Kadang orang yang mau ke pusat kesehatan masih menunggu persetujuan keluarga, sehingga jumlah yang terlambat didiagnosis sangat besar. Jadi, tujuan kami membuat inovasi alat diagnosis ini adalah untuk (menciptakan) alat yang murah, portable atau mudah dibawa, dan mudah digunakan secara mandiri.

Seberapa besar signifikansinya untuk menekan penyebaran TB, jika alat ini bisa digunakan secara mandiri?

Permasalahan utama kenapa kasus TB tidak turun adalah karena diagnosisnya lama sekali, dengan berbagai macam alasan tadi. Nah, selama dia belum terdiagnosis, dia akan menyebar ke lebih banyak orang. Semakin cepat kita bisa menskrining, maka asumsinya, diagnosisnya akan lebih cepat daripada menunggu orang datang ke pusat kesehatan.

Jadi alat e-Nose ini bisa menyelesaikan masalah tersebut. Membuat diagnosis lebih cepat, maka kita bisa mengurangi angka penyebaran penyakit. pasien juga lebih cepat dapat terapi, dan angka kesembuhan lebih tinggi. 

E-Nose ini awalnya dikembangkan untuk TB, lalu akhirnya dipakai untuk diagnosis COVID-19. Berdasarkan pengalaman saat pandemi, bagaimana efektivitas e-Nose ini?

Ada 4.820 e-Nose yang didistribusikan. Saat ini, kami masih dalam fase awal pengembangan, jadi masih melatih alat untuk bisa mendiagnosis secara sensitif dan spesifik. Kalau untuk fase pelatihan (hasilnya) bagus. Sekarang tantangannya adalah fase validasi. Pada tahapan ini, alat itu sekarang diperintahkan untuk menebak. Kira-kira orang yang datang itu positif atau negatif? Sekarang kami sedang mengembangkan supaya faktor-faktor yang mempengaruhi keakuratan alat bisa masuk ke otaknya alat ini, misalnya perbedaan etnis, makanan, lingkungan, dan lain sebagainya. 

Bagaimana keakuratan alat ini menguji varian-varian COVID-19 baru yang terus berkembang?

Kami sudah mendapat sampel-sampel dari varian baru seperti yang terakhir varian terakhir XBB. Tapi memang belum terlalu banyak kasusnya. Jadi intinya semakin banyak variasi kasus, semakin banyak varian yang bisa dideteksi alat ini. Semakian dia terpapar maka dia semakin pintar dan bisa mendeteksi.

Alat ini baru digunakan di Indonesia, seperti apa tahap pengembangan berikutnya?

Kami berharap bisa bikin alat yang mudah dan murah, jadi bisa dipakai orang secara mandiri. Mungkin nanti bayangannya seperti alat tes kehamilan. Tapi untuk sekarang, memang alatnya masih besar, dan masih perlu listrik. Nantinya mungkin bisa pakai baterai. Karena kita tahu di daerah terpencil, listrik sering mati. Untuk sekarang, yang penting akurat dulu. Jika sudah akurat, nanti dipikirkan praktikalnya. Ini adalah temuan tim. Saya dari sisi medisnya, nanti dari tim fisika yang dipimpin oleh Prof Kuwat yang merakit sensor dan alatnya. 

Inovasi ini ditampilkan di forum internasional, adakah prospek kerja sama dengan negara lain?

Sebenarnya untuk COVID-19, kami sudah mau mulai (bekerja sama) dengan Malaysia dan Filipina. Untuk TB, yang tertarik untuk kerja sama adalah Afrika Selatan. Namun, sekarang kami fokusnya untuk Indonesia dulu, khususnya untuk tuberkulosis. Indonesia adalah negara dengan beban tuberkulosis kedua terbesar di dunia. Kalau kita mau memperluas ke negara lain, maka harus ke negara-negara dengan kasus yang tinggi, dan kurang lebih kondisi sosial ekonominya sama dengan Indonesia, salah satunya Afrika Selatan.

Bila dikaitkan dengan perubahan iklim, apa yang harus diantisipasi terkait berkembangnya penyakit infeksi di masa depan?

Sebagai dampak perubahan iklim, maka terjadi bencana. Pada saat bencana, daya tahan tubuh turun karena orang tidur di tenda, lalu diare karena air tidak bersih, atau kurang nutrisi. Setiap kali daya tahan (tubuh) turun, maka kasus infeksi termasuk TB bisa meningkat.

Yang jelas, perubahan iklim itu menyebabkan udara semakin panas, semakin lembab. Jika semakin lembab, TB semakin suka berkembang. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa perubahan iklim itu membuat penyakit infeksi yang tadinya tidak ada jadi ada. Yang dulu sudah hampir hilang, datang kembali. Karena itu di daerah tropis, penyakit-penyakit infeksi memang perlu diwaspadai. (ae)

Wawancara untuk DW Indonesia oleh Tonggie Siregar dan telah diedit sesuai konteks.

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait